Perjumpaanku dengan pribadi-pribadi dan permenunganku atas rentetan peristiwa...
Thursday, December 20, 2007
Tiga belas tahun lalu, Pracimantoro adalah wilayah kering susah air. Mungkin kini masih sama. Tanah putih berpadas yang licin saat diguyur hujan, tapi penuh dengan daun-daun jati yang meranggas kala kemarau tiba. Orang-orangnya yang ramah bertutur dengan bahasa Jawa yang sedialek dengan Gunung Kidul.
Mengabdikan diri bagi Injil di bumi Pracimantoro, mencatatkan kisah-kisah menawan. Atas dawuh Pak John Eddy (gembala kami), saya dan Pak Saiman ketiban sampur untuk menyiapkan acara Natal. Biasanya Natal dirayakan di gereja pusat, lalu juga di pos-pos PI di Mudal, Lebak dan Eromoko. Ke Mudal dan Eromoko, sarana transportasi relatif mudah didapat. Tapi ke Lebak, saya dan Pak Saiman lebih sering berjalan kaki menyusuri ladang-ladang berpadas. Jadilah ular, belalang dan tikus ladang yang kami jumpai. Kalaupun ada tumpangan, biasanya truk warga sepulang mengangkut sapi.
Saya bikin dekorasi sederhana dan seadanya. Selembar background kain dengan tema yang terpajang, lalu pohon terang dari pucuk cemara yang dihiasi kapas dan kertas emas. Waktu acara berlangsung, tetangga dan aparat desa diundang. Pak Lurah memberi kata sambutan. Kala itu Pemilu 1997 menjelang dan Pak Lurah menggunakannya sebagai kesempatan 'curi start' kampanye. Dia bilang, "Saya mendukung orang Kristen, karena orang Kristen mendukung pemerintah. Buktinya, setiap Natal selalu ada pohon terang yang menyerupai beringin." Tepuk tangan membahana. Tapi Pak Lurah kebangetan ngawurnya. Apa hubungan antara cemara dan beringin? Yang satu 'lancip' menjulang, satunya lagi kan 'kribo' mirip rambut Ahmad Albar? Ah, namanya juga kampanye, pasti semua dihubung-hubungkan. Jangan-jangan tidak menyikat gigi juga dianjurkan, karena gigi kuning sama dengan warna kebanggaan Golkar... Aya-aya wae...
Hidangan khas seusai acara adalah nasi dengan oseng tempe dan secuil ayam goreng yang dibungkus daun jati. Sensasi gurihnya tidak kalah dengan ayam goreng Ny. Suharti. Serius. Sesudahnya menyeruput teh manis hangat yang menambah 'mak nyusss..' Pracimantoro, suatu kali aku kan datang lagi...
Tuesday, December 18, 2007
Ketika musim Natal tiba, apa yang paling menyita waktu Anda? Membongkar kembali pohon terang di dalam dus yang tersimpan di sudut gudang? Mengeluarkan kaset-kaset atau CD lagu-lagu Natal dari tempatnya dan memutarnya lagi? Memasang perhiasan-perhiasan berbentuk kaos kaki, bulatan daun atau pernak-pernik bernuansa merah-hijau? Atau apa?
Suatu ketika, Seniman Jadug Ferianto sempat melontarkan uneg-unegnya mengenai cara orang merayakan Natal di era modern ini. "Telah terjadi pengkhianatan terhadap pesan kesederhanaan yang ditinggalkan Natal yang pertama," ujarnya bermaksud mengoreksi perayaan Natal yang kental dengan hura-hura. Apa yang dinyatakan adik Butet Kartaredjasa itu ada benarnya. Sekarang Natal memang telah bersentuhan dengan modernitas dengan segala konsekuensi yang terkandung di dalamnya. Ia telah menjadi ladang subur bagi konsumerisme dan menjadi bancakan bagi kapitalisme yang rakus. Natal adalah komoditi tahunan untuk mendatangkan keuntungan yang sayang jika dilewatkan. Apa boleh buat...
Natal pada awalnya adalah sebuah berita sederhana yang agung. Sederhana karena apa yang disampaikan malaikat kepada Maria tidak kompleks seperti perkataan filsuf yang mbulet. Agung karena isi berita itu merupakan proklamasi tentang Yesus yang akan menjadi Raja atas umat-Nya. Berita itu menyatakan tentang Allah yang, meminjam istilah Katon Bagaskara, sudi turun ke bumi (Deus Adventus) dan juga Allah yang mau menyatakan-menyingkapkan diri-Nya (Deus Revelatus) kepada manusia. Di hiruk-pikuk perayaan Natal tahun ini, pesan itu jangan sampai bergeser... SELAMAT NATAL!
Monday, December 17, 2007
Raden Ngabei Pawiro Wikarto & Ny.
Thursday, November 29, 2007
Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi. (Filipi 3:2)
Anthony de Mello menuliskan kisah klasik tentang telur rajawali yang dierami induk ayam. Akhirnya telur itu menetas, dan jadilah anak rajawali itu anggota komunitas ayam. Karena dia berpikir bahwa dirinya ayam, ia berperilaku layaknya ayam. Meskipun jelas bahwa struktur fisiknya berbeda, tetap saja ia merasa bahwa dirinya ayam. Mengais tanah dengan cakarnya untuk mencari makan. Berciap-ciap layaknya anak-anak ayam yang lain. Demikianlah ia bertumbuh dalam ‘keyakinan diri’ sebagai ayam.
Hingga suatu kali ia bertemu dengan anak rajawali yang lain yang sedang belajar terbang. “Hai, apa yang sedang kamu lakukan?” tanyanya. “Oh, sebagai anak rajawali aku sedang belajar terbang. Bagaimana dengan engkau kawan, apakah engkau sudah bisa terbang?” timpalnya. “Terbang?? Aku adalah ayam. Kehidupan kami di darat, jadi tidak perlu terbang dan memang aku tidak bisa terbang” jawabnya mantap. Sontak sesamanya itu terkekeh karena jawaban itu. Ia kemudian berusaha meyakinkan anak rajawali itu tentang posisinya sebenarnya. Ia berusaha keras dan kemudian berhasil mengajaknya untuk sama-sama belajar terbang. Ia mengubah pola pikir anak rajawali yang merasa ayam itu.
Cerita itu bertutur tentang pikiran sebagai medan perang yang sebenarnya. Kemenangan atau kekalahan terletak dalam wilayah ini. Tidak jarang orang Kristen ‘bermasalah’ dalam bidang ini. Mereka sering berpikir tentang kekalahan, kegagalan dan hal-hal negatif yang lain. Karena itu kedamaian pikiran tidak pernah dialami. Mulai hari ini, mari kita taklukkan pikiran agar kita tidak kalah sebelum bertanding menghadapi banyaknya tantangan di depan kita. [JP]
Sesudah dia bangkitlah Samgar bin Anat; ia menewaskan orang Filistin dengan tongkat penghalau lembu, enam ratus orang banyaknya. (Hakim-hakim 3:31)
Pak Ris adalah guru Bahasa Jerman semasa saya SMA. Seperti kebanyakan guru lainnya, sosoknya sederhana dan bersahaja. Ia juga dikenal sebagai guru yang tegas dan berdisiplin tinggi. Karakter itu pulalah yang berusaha ditransferkannya ke setiap murid dalam berbagai kesempatan, di dalam maupun di luar kelas.
Saya teringat dengan kisah buku bututnya. Apa yang menarik? Setiap berdiri di depan kelas, ia tak pernah meninggalkan buku pelajaran Bahasa Jerman yang telah usang. Boleh dikata, buku itu adalah ‘jimat’nya. Warnanya sudah lusuh, covernya pun sudah tak ada lagi. Hanya halaman-halamannya yang masih utuh, itupun dengan robekan kecil di sana-sini. Pak Ris mengisahkan bahwa buku itulah yang berjasa mengantarkannya sebagai sarjana. Buku itu juga yang membuatnya fasih berbahasa Jerman dan menjadikannya pemandu wisata di waktu senggangnya. Bahkan, buku itu juga yang membawanya terbang berkali-kali untuk berkunjung ke negeri Adolf Hitler itu.
Makanya ia getol untuk menanamkan kecintaan terhadap buku kepada kami murid-muridnya. “Karena Bapak berhasil melalui buku ini, Bapak ingin agar kalian juga mengalami keberhasilan karena mencintai buku,” begitu ia berpetuah.
Keterbatasan tidak menghalangi Pak Ris untuk bisa hidup di atas rata-rata. Sebaliknya, ia malah menggunakan keterbatasan itu untuk kehidupan yang lebih berarti. Karena itu Sahabat NK, inilah waktunya berhenti memberi alasan tidak memberi yang terbaik karena berbagai keterbatasan yang kita miliki. Buktinya, dengan buku bututnya Pak Ris bisa… [JP]
Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah mereka-rekakannya untuk kebaikan,… (Kejadian 50:20)
Seorang pemuda merasa sangat bahagia lantaran keinginannya akan segera terkabul. Sebentar lagi ia akan tergabung dengan ratusan pemuda yang lain untuk membela negara dengan mengikuti wajib militer. Setiap hari dia berolah fisik untuk mempersiapkannya. Dengan disiplin tinggi ia menjalani latihan-latihan ditunjang dengan perubahan pola makan. Sebutir telur dan segelas susu di pagi hari dan menu makanan sehat di siang dan malam hari.
Suatu kali ketika sedang jogging di jalan raya, ia mengalami kecelakaan. Ia menjadi korban tabrak lari dari sebuah mobil yang dikemudikan sopir ugal-ugalan. Luka-lukanya tergolong parah dan ia harus menginap di rumah sakit beberapa hari. Terdapat patah tulang yang serius di kaki kanan dan tangan kirinya. Betapa ia menyesal dengan nasibnya itu. Bahkan berkali-kali ia menyalahkan Tuhan. “Mengapa kesempatan untuk membela bangsa Kauambil dariku dengan kecelakaan ini, ya Tuhan?” serunya. Dan ia terus mengisi hari-harinya dengan ratap dan sumpah-serapah.
Hari berganti, bulan berlalu. Rekan seangkatan pemuda itu yang sudah masuk wajib militer dijadwalkan berlatih terjun payung. Naas, pesawat yang mereka tumpangi mengalami masalah dan akhirnya jatuh di sebuah lembah. Awak pesawat dan seluruh penumpangnya tewas. Berita tentang keceleakaan itu segera tersebar ke seantero negeri. Dan pemuda yang kaki dan lengannya masih terbalut gip itu mendengar kabar tersebut. Lalu ia mulai mengubah sungutannya dengan ucapan syukur. Jika saja ia jadi ikut wajib militer, mungkin nasibnya akan sama dengan rekan-rekannya yang celaka itu.
Tuhan acap mengijinkan sesuatu terjadi di dalam hidup umat-Nya. Terkadang tidak semuanya bisa dipahami seketika dan memerlukan proses seperti kisah di atas. Yang diperlukan adalah keyakinan bahwa Tuhan tidak mencelakai kita dan pasti merencanakan segala yang baik. [JP]
Monday, November 19, 2007
Ini pengalaman pertama naik 'burung besi' sesudah tiga puluh tahun lebih hidup di dunia (halah..). Pengalaman ini menjadi istimewa karena pertemuan dengan beberapa mahasiswa yang pernah kuajar di Banjarbaru, Kalsel. Ada Wiwitro yang kini jadi dosen di sebuah STT. Hebat juga kau Wit... Lalu ketemu dengan Daud Tua Pattinaya (semoga tidak salah tulis nama) yang kini jadi Pol PP di kantor walikota Banjarbaru. Awalnya sempat kuciwa karena kayaknya ga ada hubungan antara sekolah teologi dengan Pol PP. Tapi mendengarnya menjadi ketua pemuda di gereja membawa kelegaan tersendiri. Bertemu Livingstone selalu menyegarkan. Batu hidup yang kecil itu memang masih kocak, sama seperti ketika ngabodor di kelas atau asrama. Terima kasih karena menemaniku tidur beberapa malam. Living bercerita tentang mantan-mantan murid yang pernah kuajar, yang kini tersebar di ladang pelayanan belantara Borneo. Sungguh membanggakan.
Seminggu sebelumnya, ada wisudaan di Hyper Square. Duduk di meja hijau menyaksikan 40 lebih wisudawan/wati membuatku tak kuasa menahan tangis. Sebait doa kunaikkan untuk mereka yang sudah lulus. Selamat berjuang dan melayani. Setidaknya aku sudah menginvestasikan sesuatu dalam hidup kalian. See you all at the top!
Sunday, November 18, 2007
Yakobus 1:14 Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya.
“Ayo ikut lomba mancing!” ajak teman saya suatu ketika. Sebenarnya saya tidak hobby memancing. Tetapi karena ajakan teman saya itu bertepatan dengan hari libur, akhirnya saya berangkat menenaminya. Peristiwanya sudah lebih dari sepuluh tahun lalu. Kala itu, lomba diadakan untuk memeringati 50 tahun Indonesia merdeka. Seekor Gurame sebesar bantal bayi diperebutkan puluhan peserta. Siapa yang berhasil mendapatkannya akan dinobatkan sebagai juara.
Pemenangnya adalah seorang bapak yang menggunakan umpan yang lain daripada yang lain. Jika orang lain menggunakan cacing atau pelet, ia menggunakan donat sebagai pemikat ikan yang akan dipancingnya. Dan ia berhasil. Waktu bertanya di dalam hati mengapa akhirnya ia memenangi lomba itu, imajinasi saya mulai berjalan.
Saya membayangkan gurame itu sedang berenang kian-kemari di bawah permukaan kolam. Tiba-tiba perhatiannya tertuju kepada benda-benda yang masuk ke dalam kolam. Ia mulai mendekati salah satunya. “Ehmmm… cacing. Ah, kemarin teman yang lain mendadak hilang ketika mencaploknya,” katanya dalam hati. Ia memutuskan untuk meninggalkannya. Hal yang sama ia lakukan ketika mengampiri pelet. Tetapi ia mulai terseret dan terpikat ketika yang dijumpainya adalah donat. Ia lalu mencoba mencaploknya dan hasil akhirnya bisa ditebak: ia terperangkap.
Iblis juga jago dalam hal jebak-menjebak begini. Ia tahu persis di mana letak kelemahan kita, lalu mengolahnya menjadi bahan yang setiap saat dilontarkan untuk menyeret dan memikat kita. Yang perlu kita lakukan adalah untuk sadar dan berjaga senantiasa menghadapi segala kemungkinan jebakan. Waspadalah… Waspadalah… (JP)
Markus 6:31 “Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahat seketika!”
Rutinitas yang dikerjakan setiap hari dapat menimbulkan kebosanan. Jika tidak disiasati, kondisi ini biasanya berpengaruh terhadap kinerja seseorang. Produktivitas kemudian menurun, dan pada tingkat tertentu, kebosanan bisa mendatangkan stress. Solusinya?
Ada kalanya ‘mundur’ adalah sebuah pilihan. Dalam istilah yang lain, kita membutuhkan retreat. Dari satu sisi, mungkin retreat adalah sebuah langkah mundur. Kesibukan pekerjaan ditinggalkan, urusan-urusan kantor dilupakan (sejenak) dan otak sebagai ‘mesin berpikir’ didinginkan untuk sementara waktu.
Retreat tentu tidak harus selalu dipahami sebagai sebuah kegiatan menyewa sebuah villa di dataran tinggi tertentu, dikoordinir sejumlah panitia dan menghadirkan pembicara tertentu sesuai jadwal yang tersusun. Jika begini, jangan-jangan retreat juga sudah menjadi rutinitas? Mengundurkan diri sejenak bahkan dapat dilakukan di tempat kita bekerja. Sekedar melakukan relaksasi di tempat duduk, melihat lalu-lintas dari ketinggian jendela kantor, memutar musik kegemaran atau melanjutkan games di ponsel pada level berikutnya.
Orang mungkin menilainya sebagai dua langkah kemunduran. Tetapi kekuatan baru yang didapat sesudahnya justru akan membuatnya menjadi maju tiga langkah. Kalau retreat adalah sebuah kebutuhan, mengapa Anda tidak memilihnya kini? (JP)
Yakobus 1:12 Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia.
Ada mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah bagi setiap orang yang bertahan dalam pencobaan. Kata ‘bertahan’ berasal dari istilah ‘hupomone’ yang menggambarkan sebuah ketenangan di tengah situasi yang kacau balau. Bisa juga berarti kemampuan memikul beban hingga titik atau tujuan tertentu. Dari pemahaman itu, setidaknya kita bisa merenungkan beberapa hal dalam menghadapi pencobaan;
Pertama, ketenangan. Kepanikan mungkin adalah respon yang wajar sesaat setelah pencobaan kita alami. Tetapi membiarkannya menguasai kita dalam kondisi seperti itu jelas tidak menguntungkan. Kejernihan berpikir untuk mencari jalan keluar atau berdiam diri mendengar solusi dari Tuhan, bisa jadi akan jauh dari kenyataan. Secara negatif, tidak menutup kemungkinan juga kita akhirnya mengambil sebuah keputusan yang salah. Bagaimana kita bisa menghadapi dan mengalahkan pencobaan jika begitu?
Kedua, ketekunan. Berbeda dengan bermain sulap, menghadapi pencobaan adalah melewati realitas hidup. Untuk menyelesaikannya tidak bisa hanya dengan menggunakan rumus simsalabim abrakadabra! Dibutuhkan ketekunan dan keuletan seperti seseorang yang sedang memikul beban sampai tujuan tertentu. Di sanalah kemudian beban itu diletakkan. Artinya, memang ada waktu yang harus dilalui.
Ketiga, harapan. Tidak selamanya pencobaan itu akan menjadi pergumulan kita. Pasti ada saat untuk berhenti dan kita selesaikan. Malah Tuhan sendiri menjanjikan mahkota kehidupan sebagai hasil akhirnya. Dan harapan itulah yang turut menyuntikkan kekuatan baru bagi kita. (JP)
Matius 5:16 Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.
Konon, minuman energi paling laris terjual di kompleks pelacuran dan klub-klub malam. Karena itu Dadang (sebut saja begitu) aktif mengunjungi tempat-tempat itu. Tentu bukan untuk melakukan hal-hal yang tidak senonoh, tetapi profesinya sebagai sales minuman energi mengharuskannya bertindak demikian. Saking seringnya Dadang mengunjungi lokalisasi dan tempat hiburan malam itu, ia sampai hafal dengan para pengunjungnya. Beberapa bahkan telah dikenalnya.
Di sisi lain, Dadang adalah seorang di ‘persimpangan jalan’ dan sedang mempertimbangkan untuk memeluk Kristen. Ia rajin mempelajari kekristenan dari buku-buku dan kaset khotbah, meskipun belum memberanikan diri berkunjung ke gereja. Sampai suatu kali ia memutuskan untuk pergi ke gereja di suatu hari Minggu karena keyakinan imannya yang semakin menebal.
Tetapi kenyataan berbicara lain dan malah terjadi antiklimaks. Ia malah kemudian memutuskan untuk urung menjadi pengikut Kristus. Pasalnya, orang-orang yang dijumpai dan dikenalnya di lokalisasi itu, adalah orang-orang yang sama yang ditemuinya di gereja. Astaga!
Sayang sekali… Karena tersandung dengan perbuatan orang-orang Kristen yang tidak berubah itu, satu jiwa terhilang. Kisah di atas tentu menjadi warning bagi kita semua agar dalam setiap segi hidup selalu memancarkan terang Kristus. Dengan begitu tidak ada orang yang tersandung ketika melihat kehidupan kita, sebaliknya mereka malah terberkati. [JP]
Wednesday, October 31, 2007
“…engkau tidak dingin dan tidak panas… Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku” (Wahyu 3:14-16)
Banyak orang yang puas dengan hasil yang pas-pasan. Jika dia adalah pelajar, maka dia puas jika sudah lulus, meski dengan nilai ‘mepet’. Jika dia adalah karyawan, mentalitas Asal Bapak Senang (ABS) biasanya yang menjadi semangat kerjanya. Tidak terlalu penting apakah hasil karyanya memuaskan atau tidak. Dari sinilah kemudian semangat ‘asal’ itu berasal. Asal selesai, asal lulus, asal dikerjakan, asal…. asal…
Tetapi, mestikah semangat ini juga terbawa dalam kekristenan kita? Sepanjang yang kita pelajari, tidak pernah satu kalipun Alkitab mengajarkan kepada kita tentang setengah hati, sekenanya, apalagi asal-asalan. Sebaliknya kita justru sering menjumpai istilah segenap hati, segenap kekuatan, dan seterusnya. Singkatnya, apa yang kita kerjakan haruslah yang terbaik, lebih dari yang diharapkan banyak orang.
Kita tidak dapat membayangkan kalau Tuhan juga mengerjakan semua karya-Nya secara asal-asalan. Apa jadinya jika keselamatan yang dianugerahkan kepada kita dikerjakan-Nya setengah-setengah? Bagaimana jadinya jika mujizat yang dilakukan-Nya tidak sempurna? Kita beruntung memiliki Tuhan yang tidak melakukan sesuatu dengan sembarangan, tetapi selalu mengerjakan yang terbaik dan sempurna.
Jika demikian Sahabat, kita tentu juga harus memiliki tekad untuk tidak mengerjakan sesuatu, entah itu pelayanan atau pekerjaan kita, dengan pas-pasan. Tuhan menghendaki hasil terbaik sebagaimana telah Ia teladankan. Ia mau supaya kita lepas dari belenggu ‘pas-pasan’ karena yang terbaik bisa kita berikan. [JP]
“Tetapi Yesus menegor roh jahat itu dengan keras dan menyembuhkan anak itu, lalu mengembalikannya kepada ayahnya.” (Lukas 9:42b)
Pak Diman, sebut saja begitu, sudah lama menderita penyakit paru-paru yang kronis. Segala cara sudah ditempuh untuk mengupayakan kesembuhan. Dokter sudah didatangi, orang pintar juga dikunjungi, juga dengan terapi pengobatan alternatif. Alih-alih mendapat kesembuhan, Pak Diman malah semakin menderita karena kondisi keuangannya yang semakin terkuras. Tenaganya juga terforsir karena masing-masing ahli penyembuh itu memberikan syarat-syarat tertentu untuk dipenuhi.
Berbeda dengan Tuhan Yesus, Dia hanya menekankan satu syarat sebelum seseorang disembuhkan: beriman dan percaya. Ketika seorang lumpuh memiliki iman di dalam hatinya, Tuhan menyembuhkannya (Luk 5:20-25). Dalam catatan Alkitab, Yesus adalah Penyembuh kreatif yang tidak terpaku pada satu metode tertentu saja. Ia menggunakan berbagai macam cara untuk membuat seseorang celik dari kebutaannya, berjalan dari kelumpuhannya dan mendengar dari ketuliannya.
Di sinilah letak perbedaan antara Yesus dengan para penyembuh yang lain. Sementara orang lain lebih banyak menekankan syarat tanpa menjamin kesembuhan, sebaliknya Yesus justru menuntut satu syarat dipenuhi. Sesudah itu karya ajaib kesembuhan ilahi akan dikerjakan-Nya.
Dengan demikian Sahabat, kita bisa belajar bahwa untuk mendapat kesembuhan ilahi, hal paling mendasar yang harus dimiliki seseorang adalah percaya dan beriman kepada-Nya sebagai Penyembuh yang kreatif. [JP]
“Dan oleh rasul-rasul diadakan banyak tanda dan mujizat di antara orang banyak… Dan makin lama bertambahlah jumlah orang yang percaya kepada Tuhan…” (Kisah Para Rasul 5:12, 14)
Peter Youngren suatu kali memimpin sebuah KKR bertajuk Bandung Festival. Orang banyak telah memadati stadion tempat berlangsungnya acara. Sebagian dari mereka bahkan berasal dari luar kota Bandung. Meski sempat menuai kontroversi, tetapi banyak orang yang disembuhkan dari penyakitnya ketika mengikuti KKR itu. Orang-orang yang datang dengan tongkat penyangga, tiba-tiba berdiri tanpa bantuan alat itu. Belasan kursi roda tampak dikumpulkan di sudut panggung karena penggunanya sudah bisa berjalan. Lebih banyak orang lagi bersaksi ke atas panggung, menyatakan bahwa mereka telah bebas dari kebutaan, kebisuan dan telinga yang tak mendengar.
Singkatnya, Allah bekerja dengan luar biasa untuk membebaskan orang-orang yang menderita. Masalah mengerjakan kesembuhan ilahi dan juga mujizat yang lain, Allah memang ‘ahli’nya. Tidak ada pribadi lain yang semahakuasa Dia. Hanya Yesus satu-satunya. Tetapi bagaimanapun mujizat kesembuhan itu sendiri adalah sarana untuk menyatakan misi-Nya yang sesungguhnya: agar lebih banyak orang lagi percaya kepada-Nya.
Sahabat, mujizat adalah karya kreatif Allah yang dinyatakan kepada manusia. Melaluinya Allah memberi penegasan bahwa bagi-Nya tidak ada sesuatupun yang tidak bisa dikerjakan. Hanya saja, manusia sering lupa dan memberi penekanan berlebih kepada mujizat itu sehingga mengesampingkan hal yang terpenting yaitu agar manusia percaya kepada-Nya.
Mujizat adalah sebuah momentum awal bagi orang yang tidak percaya agar`kemudian mengenal Yesus dan menyembah-Nya. Amat disayangkan jika kita hanya menekankan mujizat, tetapi lupa fokus utamanya. [JP]
Tuesday, August 14, 2007
Merah-Putih harus dikibarkan, umbul-umbul dinaikkan. Tapi, masihkah perayaan kemerdekaan ini punya makna bagi kita?
Setidaknya sejak National Prayer Conference (NPC) 2003, orang Kristen terlihat mulai intens mendoakan Indonesia. Dikoordinir Jaringan Doa Nasional (JDN), gerakan doa ini kemudian juga merambah skala yang lebih kecil dengan dibentuknya JDS, Jaringan Doa Sekota. Bahkan, NPC kembali digelar 2005 lalu. Inti permohonannya seragam: agar bangsa ini dipulihkan dan mengalami transformasi. Dan hingga kini, kita masih terus menunggu.
Belajar dari Nehemia
Cukupkah hanya doa-doa yang dinaikkan? Nehemia segera duduk dan menangis serta berkabung demi mendengar Yerusalem yang porak poranda (Neh 1:4). Ia menjadi wakil yang menghadap Tuhan untuk memohonkan transformasi bagi kotanya. Dan, di Yerusalem belum terjadi apa-apa setelah Nehemia berdoa. Kota itu bertahap berubah ketika Nehemia menggalang solidaritas untuk mulai melakukan sesuatu.
Koordinasi dan networking segera dilakukan. Deskripsi kerja dibagikan kepada orang-orang yang tepat. Delegasi tugas dinyatakan dengan jelas. Pekerjaan segera dimulai. Bukan tanpa tantangan, proyek itu ternyata tak berlangsung mulus. Ada usaha-usaha untuk menggagalkannya. Tetapi niat untuk mempersembahkan yang terbaik bagi kotanya telanjur membuncah di dada. Nehemia maju tak gentar.
Seberapa Berartikah?
Tidak semua kita dipanggil untuk pelayanan ‘pembangunan tembok’ seperti Nehemia. Namun bukan berarti bahwa kita tidak bisa berbuat sesuatu bagi bangsa ini. Agar air mata kita tak sia-sia tercucur ketika menangisi bangsa ini, kita perlu memikirkan langkah-langkah praktisnya. Tak perlu muluk-muluk, sebab perbuatan sekecil apapun lebih berarti daripada bualan pidato.
Bangsa ini kelewat besar. Populasinya telah menembus angka 220 juta. Ribuan pulau-pulau yang menyusunnya. Banyak suku yang menghuni wilayahnya. Tapi kenyataan pahit sedang dialami. Prestasi jarang diraih, malah bencana, teror, dan kemiskinan yang terus didapat. Tak mungkin segala persoalan ini diselesaikan segelintir orang di pemerintahan Jakarta.
Nah, bukankah ini sebuah kesempatan bagi kita? Kita tidak hanya mengisi bulan kemerdekaan ini dengan ‘makan kerupuk’ dan ‘panjat pinang’. Bendera yang kita kibarkan mustinya seiring dengan semangat yang kita kobarkan untuk membangun kembali Indonesia.
Doa-doa harus terus dilanjutkan. Permohonan kepada Allah agar berbuat sesuatu musti terus dijalankan. Tentu ditambah dengan karya nyata yang kita lakukan. Kita tidak rindu tepuk tangan atau penghargaan. Bukan juga sebuah podium sebagai bukti ketenaran. Motivasinya satu: agar nama Bapa di Surga dipermuliakan melalui perbuatan baik yang kita lakukan. Waktunya untuk berhenti dari banyak bicara, saatnya untuk mulai bekerja. Merdeka!!!***
Wednesday, August 08, 2007
Tempo hari saya nonton sebuah debat publik di salah satu stasiun TV. Ada sebuah kalimat menggelitik yang terlontar, "Hal itu sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, jika calon kepala daerah itu bla...bla...bla..." Sepintas mungkin kalimat itu tidak janggal, tetapi jika dicermati mendalam akan membuat kita mengernyitkan dahi. Mungkin yang dimaksud adalah "sudah bukan rahasia lagi" alias "sudah menjadi rahasia umum." Kalau sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, jadi rahasia siapa donk?
Seorang pemimpin ibadah suatu kali mengucapkan kalimat undangan bagi seseorang untuk menutup kebaktian. "Dengan hormat, kami undang Ibu Ilsye untuk menutup kita dalam doa." Saya yang sedang khusyuk jadi sedikit terganggu karena mendengar frase yang saya cetak tebal itu. Sampai selesai ibadah saya masih berpikir bagaimana caranya Ibu Ilsye menutup kita dalam doa. Bukankah lebih pas kalau undangan itu berbunyi, "Dengan hormat, kami undang Ibu Ilsye untuk menaikkan doa penutup dalam ibadah ini."?
Salah kaprah lain yang masih sering terdengar adalah tentang "waktu dan tempat, kami persilakan." Mustinya, "waktu dan tempat, kami serahkan." Ah, masih banyak daftar yang bisa dibuat tentang hal itu. Apa mau dilanjutkan? Cape deh....!***
Tuesday, August 07, 2007
Saat kabel dan selang-selang itu membelitmu
Sunday, August 05, 2007
“…tetapi kepada siapapun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi, dan apapun yang Kuperintahkan kepadamu, haruslah kausampaikan.” (Yeremia 1:7)
Charles Faidiban (53) adalah potret seorang pendidik yang penuh pengabdian. Ia tak pernah membayangkan jika harus menjadi seorang kepala sekolah sekaligus guru yang hanya memiliki satu murid. Ya, Anda tidak salah baca: hanya satu murid! Ia adalah seorang guru di Kepulauan Mapia, sebuah gugus kepulauan terluar di atas wilayah Manokwari, Papua. Awalnya memang ada lima orang murid yang diajarnya, namun keempat diantaranya ‘mengundurkan diri’ karena ikut pindah orang tuanya ke luar pulau itu. Tinggalah Alen (6), satu-satunya murid yang ia ajar kini.
Hari-hari Charles pun menjadi sepi. Tapi ia tak hendak meninggalkan profesinya itu. Segala upaya untuk tetap bisa mengabdi di dunia pendidikan ia jalani. Ia membujuk masyarakat yang menyekolahkan anaknya di luar Mapia untuk mempercayakan pendidikan anak-anaknya kepada Charles. Bagi Charles sekolah itu adalah masa depan Mapia. Makanya ia mati-matian mempertahankan kelangsungannya.
Dalam dunia pelayanan kepada Tuhan, kiranya kisah di atas adalah sebuah cermin bahwa untuk mengabdi, ada harga yang harus dibayar. Tak jarang harga yang mahal yang musti diberikan. Nabi Yeremia misalnya. Bertahun-tahun ia mengabdi untuk menyelamatkan Israel bangsanya. Tetapi tak satupun orang yang mau mendengar nubuatannya. Semuanya dianggap angin lalu. Tetapi karena sudah terpanggil, Yeremia tetap setia di jalur pengabdiannya.
Dalam bentuk dan wilayah yang berbeda, kita masing-masing terpanggil untuk melayani dan mengabdikan diri kepada Tuhan. Ada pertanyaan yang menggelayuti kita: pengabdian macam apakah yang sudah kita berikan bagi-Nya? [JP]
“Inilah yang kami megahkan,… bahwa hidup kami di dunia ini, khususnya dalam hubungan dengan kamu, diwarnai ketulusan dan kemurnian dari Allah…” (2 Korintus 1:12)
Bung Hatta, proklamator kemerdekaan RI, dikenal sebagai negarawan dan pendiri bangsa yang yang berwatak jujur dan disiplin. Ialah yang pertama-tama memperkenalkan koperasi kepada masyarakat, sehingga ia dijuluki Bapak Koperasi Indonesia. Menurutnya sebuah perkumpulan akan berjalan lancar jika ada iuran anggotanya. Selanjutnya, sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin itulah yang menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta. Konon, Hatta rela tak membeli sepatu baru demi kelancaran membayar iuran lembaga yang dirintisnya.
Kedisiplinan amat berkaitan dengan konsistensi. Orang yang disiplin adalah orang yang konsisten terhadap apa yang telah disepakati bersama. Ia memegang teguh setiap aturan, meskipun tidak selalu harus berarti kaku (sakleg). Apalagi kalau sudah berbicara tentang aturan yang ditetapkan Tuhan.
Harus diakui bahwa kita hidup dan tinggal di tengah-tengah masyarakat yang tingkat kedisiplinannya sangat rendah. Ketidakdisiplinan itu telah membudaya. Inilah yang kemudian semakin memperparah keadaan. Kalau kita mengambil pilihan untuk mendisiplin diri, malah menjadi bahwan tertawaan. Aneh rasanya kalau tak melanggar lampu lalu-lintas. Aneh rasanya menyeberang di zebra cross atau jembatan penyeberangan. Dan sekian lagi keanehan-keanehan yang lain…
Adalah sebuah masalah besar jika ‘budaya’ itu kita bawa-bawa ke dalam ladang pelayanan. Alih-alih memperbaiki keadaan, kita malah akan mengulang dan menyebarluaskan kejelekan itu dalam pelayanan. Bukankah seharusnya sebaliknya Sahabat? Di tengah dunia yang benkok ini, kedisiplinan Bung Hatta layak kita teladani. [JP]
“Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga.” (2 Korintus 9:6)
Sahabat, salah satu cara untuk mengelola keuangan dengan baik adalah dengan memilih investasi yang tepat. Cara ini pulalah yang dipilih banyak orang untuk mengamankan masa depan dengan uangnya.
Menurut Eko Endarto, seorang konsultan perencana keuangan, ada banyak jenis investasi yang bisa dipilih. “Dalam hukum investasi dikenal adanya perbandingan lurus antara risiko dan hasil yang dijanjikan. Jadi jika janji hasil yang diberikan sangat tinggi, biasanya risiko yang menyertai investasi itu juga tinggi,” ungkap Eko. Selanjutnya, pengelola situs http://www.perencanakeuangan.com/ itu mendorong agar setiap kita berhati-hati berinvestasi.
Seorang kerabat baru saja mendapat uang hasil penjualan rumah. Sedianya ia akan menggunakannya untuk mencicil rumah baru di tempat yang lebih strategis. Dalam prosesnya ia kemudian berubah pikiran. Sekali waktu ketika berjalan-jalan, ia tertarik dengan seperangkat home theater seri terbaru yang sedang didiscount harganya. Iapun memutuskan untuk membelinya dan segera memajang di rumah kontrakannya. Dan hingga kini, ia tak juga bisa mencicil rumah idamannya.
Memiliki uang dan membelanjakannya untuk kesenangan pribadi tentu tak salah. Hanya saja ia telah salah memilih berinvestasi. Jika kelak dijual, harga barang elektronik cenderung mengalami penurunan yang cukup drastis dari harga belinya. Tuhan melimpahkan berkat agar kita bisa mempertanggungjawabkannya. Investasikanlah berkat itu secara benar agar dengan cara demikian kita dapati sebagai penatalayan yang setia. [JP]
“Pada waktu itu jika orang berkata kepada kamu: Lihat, Mesias ada di sini, atau Mesias ada di sana, jangan kamu percaya.” (Matius 24:23)
Masa depan Reno menjadi tak jelas gara-gara terlibat dengan aliran miring yang menyatakan tentang kedatangan Kristus pada 10 November 2003. Daripada melanjutkan sekolahnya, Reno lebih memilih bergabung dengan 280an orang yang lain di Baleendah, Bandung Selatan untuk diangkat Tuhan. Ketika hari yang ditunggu tiba, Reno memang benar-benar diangkat. Sayangnya bukan oleh Tuhan Yesus, tetapi ‘diangkat’ polisi ke sebuah truk dan dibawa ke panti rehabilitasi. Tragis betul nasib pemuda yang belum juga menyelesaikan SMU-nya itu.
Peristiwa penyesatan yang berhubungan dengan kedatangan Yesus adalah ‘sejarah yang berulang.’ Sudah puluhan kali banyak nabi palsu yang muncul dan menubuatkan hari kedatangan Tuhan. Tak satupun diantara nubuat itu yang menjadi kenyataan, semuanya meleset. Memang mengherankan jika kemudian masih ada orang yang mencoba meramalkannya lagi. Anehnya lagi, selalu saja ada orang yang percaya dan tersesat. Rapuhnya iman dan minimnya pemahaman terhadap Kitab Suci adalah faktor utama mengapa penyesatan terjadi. Orang yang rapuh imannya dan tak banyak mengerti kebenaran mudah sekali diombang-ambingkan angin pengajaran yang sumbang.
Untuk itulah sikap dan pemahaman yang benar tentang kedatangan-Nya kedua kali menjadi penting. Berkali-kali Yesus sendiri mengungkapkan bahwa kita harus berjaga-jaga terhadap penyesatan yang akan mendahului kedatangan-Nya. Pada bagian lain Dia mengisyaratkan perlunya pelayanan terbaik dari kita agar pada waktunya ‘gelar’ sebagai hamba yang setia itu melekat pada kita. Tak perlu pusing dan sibuk mengutak-atik waktu kedatangan-Nya. Lebih baik waktu yang ada digunakan untuk memberikan persiapan terbaik dalam menyambut-Nya. Setuju? [JP]
“Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pedang bermata dua manapun;...” (Ibrani 4:12)
Senjata yang sangat familiar bagi para pejuang di era penjajahan adalah bambu runcing. Kelengkapan perang tradisional ini kemudian menjadi simbol heroisme di tanah air. Di beberapa tempat diabadikan menjadi monumen, mengisi koleksi pajangan ruang-ruang musium dan ‘digunakan kembali’ pada peringatan kemerdekaan RI pada bulan Agustus.
Sahabat, kita sudah bisa membayangkan apa jadinya jika seseorang masuk dalam medan pertempuran tanpa senjata. Kemungkinan terbesar adalah dia akan menjadi bulan-bulanan musuh dan tewas mengenaskan. Kita tahu bahwa senjata, sekecil dan sesederhana apapun itu, adalah piranti yang tidak boleh ditinggalkan dalam berperang. Jadi, dalam peperangan, senjata adalah hal yang wajib hukumnya.
Alkitab menyebut sebuah senjata yang sangat ampuh dalam peperangan rohani. Senjata itu adalah pedang Roh; firman Allah. Bahkan keampuhannya telah dibuktikan sendiri oleh Tuhan Yesus saat menghadapi pencobaan iblis. Dia tidak menggunakan senjata lain kecuali rangkaian kata, “Ada tertulis…” Tiga kali pencobaan datang, tiga kali pula Yesus menggunakan ‘jurus’ yang sama itu.
Bagaimana agar kita bisa menggunakan senjata itu? Tidak ada cara lain kecuali kita memiliki ketekunan untuk mendalami dan menelitinya. Bukan itu saja, firman itu harus hidup dan kita hidupi. Dengan cara itu kita memiliki kesiapan dan kelengkapan untuk menghadapi musuh dalam peperangan rohani. [JP]
“Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu, hai hambaku yang baik dan setia;…” (Matius 25:21)
Tersebutlah seorang profesor di Jepang yang memiliki seekor anjing kesayangan. Hubungan pemilik dan hewan peliharaan itu sudah terjalin cukup lama. Profesor itu tinggal sendiri dan tak memiliki keluarga lagi. Hanya anjing itulah yang menjadi teman hidup mengisi hari tuanya.
Setiap hari, profesor itu tugas mengajar di kampus yang terletak di kota lain. Karena jarak yang cukup jauh, ia selalu menggunakan jasa angkutan kereta api. Pagi-pagi benar ia sudah berangkat dari rumahnya diantar anjingnya itu. Hingga sore hari ketika sang profesor pulang, anjing itu tak beranjak dari stasiun. Ia setia menunggu tuannya di sana. Begitulah kejadian itu selalu berulang setiap hari.
Hingga suatu hari, sang profesor mendapat serangan jantung mendadak ketika mengajar. Meski sudah dilarikan ke rumah sakit, namun nyawanya tak tertolong. Meninggallah profesor tua itu. Anehnya, anjing kesayangannya masih menunggunya di stasiun. Sampai berhari-hari, bahkan berbulan-bulan mondar-mandir di stasiun itu untuk menunggu kedatangan tuannya. Akhirnya, anjing itupun mati di stasiun. Tentu ini sebuah pelajaran berharga tentang kesetiaan bagi kita. Konon, di stasiun itu lalu dibangun patung anjing untuk mengingatkan harga kesetiaan kepada setiap pengunjungnya.
Kadang memang kita ‘diberi pelajaran’ oleh binatang. Salah satunya ketika berbicara mengenai kesetiaan. Anjing dalam kisah di atas tak mudah berpaling dan berubah setia. Ia setia meskipun sebenarnya harapan untuk bertemu tuannya sudah tidak ada lagi. Bagaimana kadar kesetiaan kita sebagai hamba kepada Tuhan, Sang Pemilik hidup? [JP]
“Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, …” (Pengkhotbah 9:10)
Karena gemar dengan pecel lele, makanan khas Jawa Timur itu, saya kerap berkeliling di seantero kota untuk berwisata kuliner. Saya mencoba membandingkan masakan dan cara penyajian makanan yang murah meriah ini dari masing-masing warung tenda yang saya sambangi. Hasilnya? Tidak terlalu jauh berbeda menurut saya. Rasa dan cara menyajikannya pun terkesan begitu-begitu saja, hampir tidak ada variasi sama sekali.
Namun dari sekian banyak warung pecel lele yang pernah saya datangi, ada satu yang cukup berkesan. Sampai hari ini saya masih menjadi salah satu pelanggannya. Apa pasal? Jawabnya singkat: karena pelayanan terbaiknya. Penjual warung itu selalu menuruti permintaan setiap pembelinya, termasuk saya. Ada kalanya saya ingin sambel yang lebih pedas dari biasanya. Di waktu lain, saya ingin bumbu yang agak asin. Di warung itu saya selalu mendapatkan apa yang saya minta. Pokoknya 'mak nyuusus...' Sementara di warung yang lain, tak jarang omelan penjual yang saya terima. Pemilik warung itu tak pernah terlihat mengeluh karena keinginan saya. Yang selalu dia lakukan adalah melayani, melayani dan melayani. Itu saja. Barangkali ia memegang teguh prinsip dalam dunia dagang bahwa pembeli adalah raja. Tak heran kalau warung itu menjadi begitu laris.
Bagaimana dengan pelayanan kita, Sahabat? Godaan untuk melayani sekenanya memang sering muncul dan menggangu. “Ah, begini saja sudah cukup. Untuk gereja dan sesama yang biasa-biasa saja lah…” demikian kita sering bergumam dalam hati. Tak pelak banyak jemaat yang menjadi kecewa karena aksi tidak simpatik tersebut. Kita acap melayani setengah hati dan tanpa persiapan matang. Sudah waktunya kita memberi pelayanan terbaik di dalam gereja, agar setiap orang (terutama jiwa-jiwa baru) menjadi kerasan untuk beribadah di dalamnya. Kalau tukang pecel lele saja bisa, mengapa kita tidak? [JP]
Thursday, June 07, 2007
Apalah arti sebuah spanduk? Hanya beberapa meter kain yang dibentangkan di sisi-sisi jalan. Dari segi keawetan, pastilah spanduk tak bakal bertahan lama. Karena terpaan panas dan deraan hujan, ia menjadi kain yang begitu rentan. Lusuh lantas robek begitu saja.
Beberapa teman sekampung -entah karena kreatif atau karena miskin, tipis sekali batasnya- sering memanfaatkan spanduk sebagai bahan celana pendek. Tetangga yang lain menggunakannya untuk menutup kedai mie ayamnya.
Spanduk, bagi sebagai orang adalah sarana penyaluran ekspresi. Setidaknya jika kita melihatnya pada peristiwa demonstrasi. Tulisan-tulisan pada spanduk yang terbentang merupakan ekspresi tuntutan dan aspirasi. Meskipun kadang-kadang melanggar keharusan berbahasa yang baik dan benar, sudah sah rasanya demonstrasi digulirkan dengan spanduk sebagai aksesoris utamanya.
Spanduk juga menjadi wadah pelampiasan kemarahan. Di sudut-sudut kota saya lihat spanduk-spanduk terpampang berbunyi, "JANGAN ANCAM AMIEN RAIS!" Kita tentu mahfum, bahwa kejadian ini merupakan buntut lakon gelut yang dimainkan Amien Rais dan Presiden SBY. Karena tidak tahu harus marah kepada siapa, ya sudah... pasang spanduk saja. Ehmm, mungkin suatu kali Anda sedang marahan dengan istri atau suami. Apakah terpikir dalam benak Anda untuk membentangkan spanduk di pagar depan rumah? Bunyinya bagaimana?
Yang lain menggunakan spanduk sebagai ajang promosi. Yang satu ini isinya lebih informatif, bahkan tak jarang ditambah dengan bualan-bualan semanis kembang gula untuk menarik peminat. Bagi para calon pemimpin yang narsis, spanduk dipakai sebagai tempat memampang foto dirinya dibumbui dengan janji-janji. Maaf, kalau yang ini sangat memuakkan! Geuleuh... Ndessso!
Sudahlah... wong mereka bikin spanduk juga ngga minta duit dari kita koq. Biarkan saja. Asal jangan mereka tidak mendikte kita untuk memasang spanduk di atas pohon. Selain karena tidak etis, ya... karena kita memang tidak bisa memanjat pohon. Lho?***
Wednesday, May 09, 2007
“Terhormatlah seseorang, jika ia menjauhi perbantahan, tetapi setiap orang bodoh membiarkan amarahnya meledak.” (Amsal 20:3)
Suatu ketika saya sedang menikmati nasi uduk di sebuah kedai di Bandung. Sementara saya makan, seseorang di meja sebelah sedang melakukan pembicaraan melalui telepon genggamnya. Awalnya nada bicaranya datar dan biasa-biasa saja. Entah mengapa kemudian nada bicaranya berangsur meninggi. Ia tampak marah dengan lawan bicaranya di ujung telepon. “Sudah, sekarang begini saja. Kamu pilih aku atau sahabatmu itu? Putuskan sekarang! Aku ngga mau nunggu lama-lama!” ujarnya geram. Sejurus kemudian, praaangggg…. Ia membanting gelas yang sejak tadi dipegangnya.
Semua mata kemudian tertuju kepada pria yang marah itu. Tak ketinggalan pemilik kedai yang meminta agar ia mengganti gelas miliknya yang pecah dibanting. Pria itu nampak merogoh uang dari sakunya dan kemudian ngeloyor pergi. Mukanya merah, mungkin menahan malu bercampur marah.
Kita tentu pernah mengalami kemarahan yang memenuhi hati. Tak jarang bahkan sampai meluap-luap. Dan dengan kemarahan itu, kita menjadi ‘bodoh’ dan melakukan tindakan-tindakan yang merugikan. Lalu tibalah penyesalan yang selalu datang belakangan.
Kemarahan memang merupakan salah satu emosi negatif dalam diri kita yang perlu dikendalikan. Diperlukan ‘manajemen kemarahan’ agar kita tidak terjebak dalam tindakan-tindakan bodoh yang memalukan. Dibutuhkan kelemahlembutan ilahi untuk mengatasi ledakan amarah yang kadang datang mengunjungi kita. Selamat mengatur kemarahan! [JP]
“Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat…” (Yohanes 15:15)
Charlotte’s Web adalah sebuah film layar lebar yang pernah diangkat oleh rumah produksi Hanna-Barbera Production pada 1973. Kini film yang berkisah tentang seekor babi yang menawarkan persahabatan sejati itu, dirilis kembali. Kisahnya dimulai dengan seorang anak kecil bernama Fern yang menyelamatkan babi yang baru saja lahir. Fern memberi nama babi kecil itu Wilbur. Sejak saat itu Fern selalu memandikan Wilbur, memberinya susu, bahkan mendongengkan kisah sebelum Wilbur tidur.
Seiring waktu berjalan, Wilbur menjadi semakin besar dan harus tinggal di dalam kandang selayaknya binatang yang lain. Ia kemudian tinggal dengan sepasang angsa, sepasang sapi, 5 ekor kambing dan seekor tikus. Di antara binatang-binatang itu, tersebutlah Charlotte, seekor laba-laba yang sangat dijauhi oleh binatang yang lain. Terinspirasi oleh pengalamannya diterima oleh Fern, hanya Wilbur-lah yang mau menerima dan bersahabat dengan Charlotte. Dengan segala upaya, Wilbur mencoba memberi pengertian kepada binatang yang lain agar mau menerima Charlotte. Singkat cerita, laba-laba itu diterima kehadirannya oleh semua binatang di kandang itu. Semuanya terjadi berkat kegigihan Wilbur untuk menjadi mediator.
Persahabatan adalah sebuah nilai luhur yang ditekankan Alkitab. Suatu ketika, Yesus menyatakan sebuah hubungan ‘baru’ antara diri-Nya dengan murid-murid-Nya. “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, “ kata-Nya “Tetapi Aku menyebut kamu sahabat!” Ia telah memberi teladan bahwa salah satu peranan seorang sahabat akan muncul menjadi juru damai. Kita yang berdosa akhirnya memiliki persahabatan dengan Allah sebagai dampak persahabatan kita dengan Kristus. Sungguh sebuah kehormatan untuk menjadi seorang sahabat Allah. [JP]
“Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.” (Keluaran 20:12)
Pengalaman menunggui isteri yang melahirkan, membekaskan pengalaman bathin yang mendalam bagi saya. Ada sebuah perjuangan antara hidup dan mati dalam peristiwa itu. Imajinasi saya segera melayang kembali ke puluhan tahun silam ketika ibu melahirkan saya. Meski hanya bisa membayangkan, tetapi tergambar jelas betapa beratnya perjuangan seorang ibu ketika melahirkan anaknya. Dari sana, sikap hormat saya terhadap orang tua semakin bertumbuh. Saya sadar bahwa kehadiran saya di muka bumi, selain karena faktor kehendak Tuhan, adalah karena jasa mereka juga.
Pada saat yang lain saya juga teringat akan kisah-kisah tragis seorang anak yang tega menganiaya, bahkan hingga membunuh orang tuanya. Ironisnya, kebanyakan dari kasus itu bermula dari permasalahan yang sepele. Dari masalah meminta uang sekolah, minta dibelikan motor atau juga permintaan terhadap hal-hal lain yang sebenarnya sekunder. Hanya dengan alasan-alasan itu, jiwa orang-orang yang dikasihi bisa melayang.
Almarhum Pdt. Eka Darmaputera pernah berujar, “Bagaimanapun mereka adalah orang tua kita. Bukan saja tatkala kita masih bayi lemah yang belum dewasa, tetapi karena kini juga ketika tubuh mereka telah berangsur-angsur melemah dan berbalik bergantung kepada kasih dan pemeliharaan kita.” Kita tidak pernah behenti menjadi anak dari orang tua kita. Merekapun tidak pernah bisa lari dari kenyataan bahwa ita adalah anak-anaknya. Tidak ada pilihan lain.
Sahabat, orang tua, seburuk apapun mereka, adalah pribadi-pribadi yang layak dihormati. Bukan karena usia dan jasa mereka, tetapi karena Tuhan menghendakinya. Anda sudah melakukannya? [JP]
“Demikian juga kamu hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang.” (1 Petrus 3:7)
Menurut UU No. 23 tahun 2004, yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah “perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.” Menurut sebuah survey, kasus kekerasan dalam rumah tangga memang terus merangkak naik angkanya dari tahun ke tahun. Apakah hal itu terjadi dalam rumah tangga Kristen? Meski tak dapat dipastikan jumlahnya, tentu saja hal itu terjadi dalam keluarga Kristen.
Beberapa tahun lalu, penyanyi Nur Afni Octavia melaporkan suaminya -yang notabene hamba Tuhan- ke pihak kepolisian. Pasalnya, bukannya mendapat perlindungan, ia malah sering ketiban bogem mentah dari orang yang seharusnya mengasihinya itu. Waktu melapor pun, sudut-sudut wajahnya masih tampak lebam membiru. Ironisnya, peristiwa penganiayaan itu terjadi seusai perayaan ulang tahunnya. Ternyata, kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi di manapun dan kapanpun.
Sahabat, menurut Petrus istri adalah ‘teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan.’ Sejak awal, Alkitab tidak pernah memosisikan istri sebagai ‘sparing partner’ dalam bertinju. Ia tidak dihadirkan di dalam rumah tangga untuk dianiaya, melainkan untuk dihormati sebagai kaum yang lebih lemah.
Karena itu jika suami tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga, alasan utamanya bukan karena takut terjerat undang-undang. Tetapi karena ketaatan kepada perintah Allah melalui firman-Nya. Bukankah begitu? [JP]
Thursday, March 29, 2007
Bekerja adalah cinta yang mengejawantah. Dan jika kau tiada sanggup bekerja dengan cinta, hanya dengan enggan, maka baiklah engkau meninggalkannya, kemudian duduk di depan gapura candi, dan meminta sedekah dari mereka yang bekerja dengan cinta. (Kahlil Gibran)
Kalimat di atas adalah penggalan syair yang ditulis Kahlil Gibran, seorang penyair kenamaan dari Libanon dalam salah satu karya fenomenalnya, ‘Sang Nabi’. Syair itu mengisyaratkan bahwa pekerjaan adalah aktivitas yang harus dijalani dengan rasa cinta. Bahkan, pekerjaan adalah perwujudan dari rasa cinta itu sendiri.
BEKERJA; HAKIKAT HIDUP MANUSIA
Sebagian orang menganggap bahwa bekerja adalah kutuk yang ditimpakan kepada manusia karena dosanya. Jika tidak ada dosa dalam sejarah manusia, pastilah pekerjaan tak diperlukan. Segala kebutuhan akan datang dengan sendirinya bagi manusia yang hidup dan tinggal di Eden. Benarkah? Kejadian 2:15 menegaskan sebuah fakta yang berbeda. Bekerja adalah sesuatu yang telah diamanatkan Allah sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Kata “mengusahakan” dan “memelihara” taman dipakai Allah untuk memberi mandat bagi manusia yang diciptakan-Nya.
Memang sesudah peristiwa kejatuhan ada kutuk yang ditimpakan berkaitan dengan pekerjaan. Tuhan berkata bahwa, “Dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu… Dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu…” (Kej. 3:17, 19). Tetapi ini bukan petunjuk bahwa pekerjaan baru dimulai sesudah kejatuhan manusia ke dalam dosa. Intinya, Allah menciptakan manusia untuk bekerja, bukan untuk menganggur dan santai berpangku tangan.
MENCINTAI PEKERJAAN
Jika bekerja adalah hakikat hidup, apa yang kemudian kita harus lakukan terhadapnya? ‘Love what you do and do what you love’ pantas menjadi slogan kita dalam menjalani pekerjaan. Hanya cinta yang akan menggerakkan kita untuk menghasilkan yang terbaik dalam pekerjaan. Kasih sebagai dasar terhadap apa yang kita kerjakan jangan pernah digeser oleh niat sekedar mencari sesuap nasi atau bahkan kerakusan untuk menguasai lebih banyak materi.
Kasih di sini juga tidak sedang bermaksud mengedepankan perasaan. Dalam kekristenan, kasih adalah sebuah komitmen. Cinta adalah sebuah keputusan, entah enak atau tidak rasanya. Kedewasaan kita dalam kasih itu kemudian diukur dari tanggung jawab kita terhadap mempertahankan komitmen. Dan dalam konteks ini, seberapa bertanggung jawabkah kita terhadap apa yang kita kerjakan?
MENJADI TERANG DI DUNIA KERJA
Bagi kaum opportunis, pekerjaan adalah kesempatan mengeruk keuntungan semata. Bagi laki-laki kebanyakan, pekerjaan adalah sarana mempertahankan gengsi. Bagi si pemalas, pekerjaan adalah hantu menakutkan. Lalu bagi orang Kristen? Jika panggilan ‘jangan menjadi serupa dengan dunia ini’ dipahami dengan jelas, bekerja adalah sebuah kesempatan emas untuk mengaktualisasikan diri sebagai pelita. Ada tuntutan untuk menghidupi nilai-nilai luhur yang diteladankan Yesus. Jika dunia bekerja dengan culas, kekristenan wajib hadir dengan integritas. Bila dunia mengajarkan tentang bekerja sekenanya, ‘excellent service’lah yang harus dibawa orang percaya. Itu baru namanya berbeda. Dengan cara demikian, terang kita makin berpendar menyingkirkan kegelapan.*** [JP]
Siapakah di antara kamu yang mempunyai seratus ekor domba, dan jikalau ia kehilangan seekor di antaranya, tidak meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari yang sesat itu sampai menemukannya? (Lukas 15:4)
Beberapa hari setelah ayahnya dikuburkan, seorang pemuda nampak sibuk dengan secarik kertas yang berisi tulisan almarhum ayahnya. Secarik kertas itu rupanya berisi wasiat terakhir. Di kertas itu tertulis, “Maafkan Papa karena belum sempat mengantarmu ke gerbang keberhasilan Nak. Papa hanya bisa meninggalkan sebatang emas yang tersimpan di gudang. Papa berharap emas itu bermanfaat bagi sekolah dan masa depanmu. Papa.”
Bergegas pemuda itu mencari kunci gudang. Ketika dibuka, ternyata gudang itu penuh dengan barang-barang bekas yang tak terpakai. Ban-ban bekas, rongsokan kulkas dan televisi, koran-koran dan majalah yang menggunung. Semuanya berdebu dan dihiasi sarang laba-laba di sana-sini. Hati pemuda itu mulai ciut. “Benarkah wasiat Papa itu? Di manakah emas batangan yang dia janjikan itu? Semuanya hanya barang-barang bekas di sini,” gumamnya dalam hati.
Pemuda itu gamang untuk membereskan barang-barang bekas itu. Meski bekas dan kotor, bukan berarti benda-benda itu tak berharga. Sayang jika harus menjual kulkas dan TV peninggalan Papanya. Majalah dan koran itu juga masih menyimpan segudang informasi. Tapi ketika mengingat emas batangan yang jauh lebih berharga, ia berubah sikap. Sendirian ia bersihkan gudang itu. Ia membongkar tumpukan-tumpukannya hingga menemukan emas batangan yang diwasiatkan Papanya. Dan ia menemukannya.
Begitulah kehidupan kita di hadapan Tuhan. Karena anugrah-Nya, kita ini ibarat emas yang tersimpan di dalam gudang. Untuk menemukannya, diperlukan kerelaan untuk membongkar benda-benda lain yang menimbunnya. Seandainya hanya satu saja orang berdosa di dunia ini –dan orang itu adalah kita– Dia pasti tetap akan mencari dan menyelamatkan kita. [JP]
Engkau bukan mendustai manusia, tetapi mendustai Allah.
(Kisah Para Rasul 1:4)
Berbekal ketapel yang terkalung di lehernya, Tono bergegas menuju sawah untuk mengusir burung-burung yang sering memakan padi yang ditanam ayahnya. Di kantong celana kanan dan kirinya telah terisi batu-batu kecil yang akan digunakannya sebagai ‘peluru’ bagi ketapelnya. Hingga menjelang sore, tak satupun burung yang berhasil dibidiknya. Semuanya meleset.
Tiba-tiba melintaslah sekawanan bebek milik tetangganya di atas pematang sawah. Karena kesal, Tono akhirnya mengarahkan bidikan ketapelnya kepada kawanan bebek itu. Siuuutttttt… jeeepppp! Batu kecil itu melesat dan tepat mengenai kepala seekor bebek. Sebenarnya Tono tak bermaksud membunuh, tetapi kepalang basah bebek yang mati itupun dibawanya pulang. “Ah, tak ada yang melihat. Bisa buat lauk nanti malam, lumayan…” pikirnya.
Kisahnya belum berhenti sampai di situ. Keesokan harinya di sekolah, ketika Tono sedang jajan, tiba-tiba Andi menghampirinya. “Ton, traktir dong. Aku lagi ngga punya duit nih,” pinta Andi iba. “Enak aja, bayar sendiri,” jawab Tono. Andi lalu berujar, “Kalau kamu ngga mau nraktir, kulaporkan tentang bebek yang kemarin kau ketapel itu!” Tono terperanjat. Ternyata aksinya diketahui Andi, salah seorang temannya. Sejak saat itu, setiap hari Tono harus mentraktir Andi karena takut dibeberkan rahasianya. Ketidakjujurannya telah membuatnya diperbudak.
Demikian juga dalam kehidupan kita. Kadang-kadang kita merasa ‘aman’ ketika berbuat dosa, seolah-olah tidak ada yang tahu. Kita tak sadar kalau ada ‘sepasang mata’ yang mengawasi kita setiap waktu tanpa terlelap. Sahabat, mari jaga kejujuran kita di manapun Tuhan mempercayakan tanggung jawab kepada kita. [JP]
Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercayai. (1 Korintus 4:2)
Jika Allah memberikan keluarga yang harmonis, kehidupan yang nyaman, teman-teman yang baik dan bisnis yang lancar; itu semua adalah anugrah yang tak terkira. Dalam kondisi serba kecukupan seperti itu, kesetiaan kemudian diuji. Manusia cenderung –meskipun tidak selalu- melupakan Tuhan jika kondisi kehidupannya baik-baik saja.
Banyak orang mengalami ketika naik sampai di puncak justru kehilangan kendali dan keseimbangan. Siklusnya biasanya diawali dengan kesombongan. Dilanjutkan dengan perselingkuhan atau mengonsumsi obat-obat terlarang. Kemudian keluarga berantakan, jatuh sakit dan terpuruk kembali ke titik paling rendah. Harta hasil bisnis bertahun-tahun bukannya dinikmati, sebaliknya ‘disetorkan’ secara rutin ke rumah sakit. Entah itu untuk menebus obat, perawatan berkala atau cuci darah.
Apa yang kita miliki hanyalah titipan. Kita ingat satu prinsip: Allah adalah Pemilik, kita adalah pengelola. Kita sering tidak bertanggung jawab atas harta kita karena kita merasa sebagi pemiliknya. Kita berpikir bahwa kita bisa membeli segala-galanya. Harta tak akan bisa membeli kesehatan, keharmonisan keluarga dan persahabatan; sebanyak apapun kita mengumpulkannya.
Sahabat, suatu kali kelak kita akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kita buat dengan harta titipan itu. Jika waktu itu tiba, sudah siapkah kita memberikan laporan kepada ‘Tuan Sang Pemilik harta?’ [JP]
Wednesday, March 28, 2007
Banyak orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia, siapakah menemukannya? Orang benar yang bersih kelakuannya - berbahagialah keturunannya. (Amsal 20:6-7)
Manakah yang lebih ‘rohani’ menurut Anda: menghitung uang di bank atau menghitung uang persembahan di gereja? Membereskan aula RT sesudah rapat selesai atau membereskan ruang gereja seusai ibadah? Memasak untuk pesanan catering atau memasak untuk menyediakan konsumsi kerja bakti di gereja? Silakan mengambil waktu sejenak untuk merenungkannya. Anda sudah mendapat jawaban?
Kita sering menilai spiritualitas berdasarkan tempatnya. Kalau seseorang dan aktivitasnya dikaitkan dengan gereja atau pelayanan, kita langsung memastikan bahwa itu ‘rohani’. Sebaliknya jika tidak ada hubungannya dengan gereja, kita sebut sebagai ‘duniawi – sekuler – jahat’. Apakah memang harus ada pembedaan semacam itu?
Tuhan Yesus mengajar bahwa segala sesuatu berkaitan erat dengan hati. Itulah sumber dari setiap hal yang kita katakan dan lakukan. Berdoa tentu hal yang baik, tetapi jika berdoa kemudian menjadi ajang pamer, masalahnya akan jadi lain. Tuhan Yesus mengecam orang Farisi dan ahli Taurat yang berdoa di pinggir-pinggir jalan. Memberi sedekah juga hal yang baik. Tetapi jika memberi sedekah dipakai sebagai alat untuk menyombongkan diri akan jadi tidak rohani sama sekali. Sebaliknya jika kita menghitung uang di bank dengan jujur, membereskan aula RT dengan tidak bersungut-sungut dan memasak yang paling enak sesuai dengan pesanan pelanggan, Tuhan dipermuliakan melaluinya.
Rohani tidaknya apa yang kita lakukan tidak ditentukan oleh tempatnya. Yang paling baik untuk menguji semuanya adalah dikembalikan kepada hati nurani masing-masing. [JP]
Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinganmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. (Filipi 4:6)
Sepeninggal suaminya, Sontiar Manurung diliputi duka dan kecewa. Bagaimana tidak? Sementara tidak ada warisan yang ditinggalkan suaminya, ia harus membesarkan dan membiayai hidup keempat orang anaknya. “Bingung, ada sedikit putus asa dan tidak tahu bagaimana lagi,” ujarnya. Kesedihan bertambah ketika harus terusir dari rumah kontrakkannya. Ia sudah memohon kepada si pemilik rumah, tetapi hasilnya nihil.
Hidup harus tetap dijalani dan dihadapi. Dengan tekad menyekolahkan anak-anak setinggi mungkin, ia kemudian menjadi pedagang buah di bilangan Cililitan, Jakarta. Dengan berjualan buah, meski sering menghadapi usiran petugas tramtib, ternyata cukup untuk menyambung hidup. Pelan namun pasti, jalan hidupnya mulai berubah. Ia terus berdoa dan melibatkan Allah dalam pekerjaannya itu. Akhirnya rumah pun berhasil didapatkan. Putra-putrinya diantarnya menjadi sarjana. Semuanya adalah hasil dari ketekunan, kerja keras dan tentu saja penyerahannya kepada Tuhan.
Kita tentu sering mendengar ungkapan pengkhotbah, “Jika kita turun tangan, maka Allah angkat tangan. Tetapi jika kita angkat tangan, Allah turun tangan.” Maknanya jelas, bahwa kita harus melibatkan Allah dalam setiap perkara yang kita alami. Usaha dan perjuangan tanpa penyertaan-Nya tidak akan menghasilkan buah yang berarti. Tidak jarang bahkan kita tidak mendapatkan hasil sama sekali.
Sahabat, dalam setiap profesi yang Anda jalani sekarang, libatkanlah Allah. Ia mampu memberikan arahan jitu dan pertolongan sempurna atas apa yang harus kita lakukan. [JP]
Thursday, February 22, 2007
Anda mungkin pernah memiliki pengalaman buruk mengenai pelayanan publik di negeri ini. Anda sedang berada di sebuah bank atau rumah sakit. Betapa jengkelnya Anda ketika berharap mendapat pelayanan prima, tetapi para pegawai itu malah asyik ngobrol. Atau kinerja yang sangat lamban disertai dengan birokrasi yang kompleks. Alih-alih segera mendapat apa yang diinginkan, Anda malah dipingpong kesana-kemari. Anda lalu bergumam, “Payah! Mentalitas macam apa ini? Dasar…”
KEBUTUHAN AKAN KARAKTER
Kondisi di atas memang tak mudah diselesaikan. Buktinya hingga kini masalah mentalitas dan absennya karakter masih menjadi problem utama yang membelit bangsa ini. Pemerintahan sudah berkali-kali diganti, lembaga pemberantas korupsi sudah dibentuk, kinerja pendayagunaan aparatur sudah digenjot. Hasilnya? Megap-megap, untuk tidak menyebutnya nihil sama sekali!
Pada dasawarsa 90-an sempat muncul sebuah buku bertajuk “The Seven Habits of Highly Effective People” karangan Stephen R. Covey. Buku ini laris karena menawarkan sesuatu yang baru. Pembinaan profesional yang sebelumnya cenderung menekankan kompetensi, ‘dijungkirbalikkan’ Covey dengan mengusung pembinaan yang menekankan karakter. Pendekatan ‘Seven Habits’ memang lebih menekankan kualitas yang membentuk karakter agar memiliki tujuan hidup, punya prinsip dan mandiri sebagi pribadi unggul. Dari sini kemudian orang terbangun dan tergugah untuk berpikir tentang CHARACTER BUILDING (pembentukan karakter).
Mungkinkah caracter building terjadi dalam diri kita yang sudah jatuh ke dalam dosa sehingga kehilangan kemuliaan Allah? Perjanjian Baru mendorong orang percaya untuk bertumbuh dalam hidup barunya (Ibr 12:1-3). Perubahan dan pertumbuhan karakter, dengan demikian, hanya dapat terjadi di dalam diri orang yang telah dibaharui Roh Kristus melalui kelahiran baru.
DI MANA KARAKTER ITU?
Mari kita tarik konteks pembicaraan kepada pembentukan karakter diri kita sendiri. Terus menyalahkan orang lain juga tidak memberi apa-apa dalam penyelesaian masalah. Jika memang lingkungan sudah sulit diubah, kitalah yang harus berubah. Seorang motivator pernah bergurau dengan sopir pribadinya. Dalam sebuah perjalanan yang begitu crowded-macet-kacau, seorang sopir angkot mengemudikan mobilnya sembarangan. Sopir pribadi motivator itu lantas berkata, “Baru nyetir angkot saja sudah begitu. Bagaimana nanti kalau nyetir taksi atau mobil pribadi?” “Justru karena gaya nyetirnya seperti itu, maka dia hanya jadi sopir angkot,” timpal sang motivator.
Pernyataan sang motivator benar. Karakter ternyata menentukan tingkat kapasitas dan tanggung jawab. Jika kita semakin bertumbuh di dalam karakter, semakin kita dipercaya orang. Semakin karakter kita serupa dengan Kristus, semakin orang lain diberkati melalui hidup kita. Orang sudah jenuh dengan banyaknya orang pinter yang membuat keblinger. Atau orang berakal yang sukanya akal-akalan. Sekarang orang bertanya, “Di manakah orang yang berkarakter?” Beranikah kita memberi jawaban “Ya, sayalah orangnya” atas pertanyaan itu?
Sementara harta dan kekayaan ditinggalkan ketika maut menjemput, karakter justru akan kita bawa dalam pertanggungjawaban di hadapan tahta-Nya. Itu sebabnya, investasi kekal ini mau tidak mau harus menjadi prioritas dalam hidup kita. Mari membangun karakter yang semakin hari, semakin serupa Kristus.*** [JP]
Sunday, February 04, 2007
Di dunia penat dan sesak ini
Selamat Datang, Ngger... Cah Bagus
Sebenarnya Bapakmu ini ngga tega Jer...
Selang-selang dan kabel itu seperti membelit-melilitmu
Hidungmu memerah
Kepalamu tak bebas bergerak
Tangan-kakimu terkekang
Tapi itu demi kebaikanmu Jer...
Bapakmu tau betapa berat perjuanganmu
Megap-megap nafasmu
Lengkingan jerit tangismu
Bertahanlah Jer...
Itu hanya sebentar
Jadikanlah sebagai tempat berlatih
sebab perjuangan hidupmu baru saja dimulai
Aku, Bapakmu, juga Ibumu...
Berdoa menangis untukmu
Kamu malah akan menjadi orang yang kuat dan tegar
Dan bukan jadi orang cengeng
Menjerit-menangis-merontalah Jer...
Itu ekspresi kekuatanmu...
Friday, January 26, 2007
Akan tetapi Allah menunjukkan kasihNya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa. (Roma 5:8)
Menjelang pemilihan umum 1999, pamor Megawati naik. Banyak orang yang mengharapkannya akan menjadi nahkoda yang menyelamatkan perahu bangsa. Akhirnya, partai yang dipimpinnya memang memenangi pemilu pada tahun itu. Ia didukung banyak orang yang terkenal dengan fanatismenya. Hanya saja, ia gagal duduk di kursi RI-1 karena permainan politik Poros Tengah kala itu.
Cerita tentang fanatisme pendukung Megawati memang beragam. Mulai dari slogan “Pejah-gesang nderek Mbak Mega” (hidup mati tetap ikut Mba Mega), cap jempol darah hingga kerelaan ‘memasang badan’ bagi siapa pun yang berani mengusik putri Bung Karno itu. Bahkan ada sekelompok tukang becak yang rela mengayuh becaknya dari Surabaya ke Semarang, ketika Partai ‘Moncong Putih’ itu berkongres. Semuanya demi Megawati. Untuk orang seperti dia, banyak orang yang menyerahkan nyawanya.
Tetapi tahukah Anda bahwa Kristus rela mati untuk kita? Bukan pada saat kita berada dalam posisi benar dan baik di hadapan-Nya, tetapi waktu kita sedang berada di dalam dosa. Untuk orang baik, apalagi untuk orang benar, banyak orang yang rela mati. Dan itu hal yang wajar. Tetapi yang mau mati untuk orang berdosa seperti kita, hanya Yesus yang melakukannya.
Itulah karya keselamatan yang dikerjakan-Nya. Semuanya dipuncaki di atas kayu salib Golgota. Salib yang kasar, duri dan paku yang tajam, cambukan yang menyesah tiada henti. Belum lagi pukulan, hinaan dan tombak yang menghujam. Itulah jalan yang dipilih-Nya untuk menyelematkan kita. Semuanya untuk menunjukkan betapa berharganya kita di hadapan-Nya. Selamat Paskah! [JP]
Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. (Kolose 3:23)
Masih ingat Mbah Maridjan? Pada periode Mei – Juni tahun 2006 lalu, namanya menghiasi berbagai media, cetak maupun elektronik. Kakek renta ini menjadi pesohor karena aktifitasnya menjaga Gunung Merapi di Cangkringan, Jogja. Amuk Merapi yang memuntahkan awan panas tak menyurutkan langkahnya untuk tetap menjaga gunung api teraktif di dunia itu.
Tentu saja pilihannya itu mengundang bahaya. Awan panas yang suhunya ratusan derajat celcius itu bisa kapan saja melumat tubuhnya. Setidaknya dua orang anggota tim SAR tewas dihajar awan panas dalam krisis Merapi tahun lalu. Tubuh dua relawan itu gosong terpanggang awan panas saat terjebak di dalam bunker. Tetapi Mbah Maridjan adalah potret seseorang yang setia terhadap panggilan hidupnya. Sejak ditugasi sebagai kuncen (juru kunci) Merapi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, ia telah memilih pengabdian sebagai jalan hidupnya. Ia sama sekali tak berniat untuk meninggalkan tanggung jawabnya itu.
Ketika semua orang diperintahkan ‘turun’ untuk mengungsi karena Merapi memuntahkan Wedhus Gembel, Mbah Maridjan justru memilih untuk ‘naik’ mengamat-amati Merapi. Bahkan bujukan dengan dalih bertemu Presiden SBY pun ia abaikan. Pilihan yang aneh, bahkan konyol bagi sebagian orang. “Kalau saya ikut-ikutan turun, saya diketawain anak-anak kecil. Wong saya sudah ditugasi oleh Ngarso Dalem (Sri Sultan) untuk menjaga Merapi, jadi saya harus laksanakan tugas itu sebaik-baiknya,” papar bintang iklan minuman berenergi ini kepada wartawan.
Demikianlah Mbah Maridjan yang membaktikan dirinya secara total untuk panggilan hidupnya. Dalam ranah pembaktian hidup kita kepada Yesus Kristus, apakah kita melakukan totalitas yang sama? Bukankah Dia adalah Tuhan di atas segala tuan yang layak menerima persembahan terbaik? [JP]