Thursday, December 18, 2008


PARADE SERIBU WAJAH
Ke manapun kita melakukan perjalanan, gambar-gambar yang "menjual diri" para calon anggota legislatif akan bermunculan. Ada yang menggunakan baliho besar karena didukung modal segunung. Ada yang memasang spanduk karena duitnya pas-pasan. Caleg yang relatif cekak kantongnya memunculkan dirinya dalam leaflet dan selebaran.
Di dekat kantor, ada caleg yang beriklan di bawah poster monyet XL punya. Saya kadang-kadang sulit membedakan mana caleg dan mana monyet. Habis mirip sih... Maksudnya sama-sama 'ga usah mikirrrrr...' Ntar kalo sudah jadi nggota dewan, ga usah mikir nasib rakyat yang menjadi konstituennya. Pikiran satu-satunya adalah bagaimana caranya bisa balik modal. Itu saja.
Saya kuatir terhadap masa depan negeri ini yang menyerahkan nasibnya kepada para caleg itu. Pasalnya? Ehmmm... mereka ini kurang beretika dan berestetika. Kurang beretika karena tanpa kulonuwun memasang poster di pagar tembok rumah orang. Tentu saja tak berestetika karena poster, spanduk dan baliho itu telah merusak keindahan pemandangan. Satu lagi, mereka ini tidak kreatif sama sekali. Seakan-akan hanya satu cara berkampanye. Satu pasang spanduk, semuaaaaaa ikut. Lha kalo bangsa ini dipercayakan kepada mereka, apa jadinya? Kreatif dikit napa....

Tuesday, December 16, 2008

LIA EDAN, EH... EDEN DAN AGAMA KITA

Lia Eden bikin heboh (lagi). Mantan perangkai bunga yang membaiat diri menjadi Jibril Ruhul Kudus ini kembali berurusan dengan polisi dengan sangkaan penodaan agama. Ia dan komunitas God's Kingdom-nya menyerukan pembubaran agama-agama yang ada. Seperti biasa, pro-kontra lantas menyeruak.

Barangkali kasus Lia Eden ini mewakili kegelisahan beberapa orang terhadap realitas hidup beragama yang selama ini dipraktekkan pemeluknya. Wajah agama yang seharusnya penuh kasih dan menjadi pengayom, telah berubah menjadi sangar dan cenderung bengis. Orang beragama untuk kemudian membenci kelompok lain. Umat lain selalu dianggap keliru, sesat dan layak menghuni neraka. Eksklusif. Jika perlu umat lain dibinasakan.

Ini memang pekerjaan rumah bagi agama-agama yang hingga kini belum terselesaikan. Rohaniwan perlu mendengungkan lebih kencang perihal kedewasaan beragama bagi siapa yang menganutnya. Berpadunya ajaran dalam ranah teoritis dengan aplikasinya dalam dunia nyata perlu ditekankan kembali dengan garis bawah tebal.

Inilah koreksi yang pernah dilakukan Yesus ketika melihat praktek beragama Ahli Taurat dan Orang Farisi. Yesus yang tidak datang untuk mendirikan agama menyatakan bahwa kemunafikan telah membekap kehidupan beragama kaum yang dianggap rohaniwan pada zamannya itu. Itu sebabnya Yesus merevolusi praktek demikian dengan ANUGRAH KESELAMATAN yang ditawarkan melalui karya penebusanNya yang amat mulia itu.

Lia Eden dengan kerajaan Tuhan yang diklaimnya itu bukanlah esensi permasalahannya. Yang jauh lebih penting adalah apakah dengan beragama kita bisa mengasihi Tuhan dan sesama? Paket ini tidak terpisahkan. Mengasihi Allah dan sesama adalah dua sisi mata uang. Kalau kita mengaku membela kebenaran tetapi menggebuk sesama yang berbeda keyakinan, itu namanya inkonsisten.

Mari beragama dengan elegan, egaliter, toleran...

Wednesday, December 03, 2008

MAU PILIH YANG MANA?
Apa Mas Trisno Bachir juga mengubah style rambutnya seperti ini?

Laksamana Sukardi dan Roy Janis lagi latihan tanda tangan kala menciptakan logo partai...

Pakdhe Wiranto sering lewat Pantura waktu pulang kampung [mudik].

Tokoh kesayangan Mbak Mega dan Mas Pram adalah: Batman!

Aneh juga ya? Pak JK kan saudagar, bukan orang kantoran....


Kala perut lapar, partai ini bisa menjadi pemenang. Tifatul Sembiring mungkin nyambi buka restoran untuk menghidupi partainya?

Thursday, November 27, 2008

ANTARA TONALAN & MERLION PARK


Tak perlu pusing menghubungkan kedua tempat di atas, hanya akan menghabiskan energi. Hanya, saya perlu sedikit menjelaskan. Tonalan adalah sebuah kampung kecil, 12km ke arah barat Jogjakarta. Di situlah saya lahir dan dibesarkan. Kampung yang sederhana dengan sebagian besar penduduknya adalah petani. Selebihnya pekerja pabrik dan beberapa guru.

Sedang Merlion Park adalah sebuah tempat terkenal di Singapura yang wajib dikunjungi oleh wisatawan. Rasanya belum ke Singapura kalau belum berfoto di kompleks patung singa di wilayah Raffless City itu. Jadi sudah jelas tidak ada hubungannya sama sekali.

Tapi dua tempat itu menjadi istimewa dalam perjalanan hidup saya. Melalui sejarah pribadi, kedua tempat berbeda jarak itu menjadi terhubung. Saya yang lahir di Tonalan setidaknya pernah menginjakkan kaki di Merlion. Pergi ke luar negeri merupakan impian banyak orang kampung, salah satunya saya. Bangga. Ing atase wong ndeso koq bisa ke luar negeri. Pilihannya biasanya kalo ngga jadi TKI, ya naik haji.

Seenak, seteratur dan seindah apapun di negeri orang, ternyata tidak bisa menghilangkan magnitude Tonalan. Di Singapura tidak ada sambel tomat dan trasi kesukaan. Semua makanan terasa gimana gitu... Tidak juga ada telo godhog/goreng. Semua sudut dibombardir Burger King, Subway, atau McDonald. Di Singapura bisa melihat gedung-gedung jangkung sepanjang perjalanan, di Tonalan hanya hamparan sawah.


Matur nuwun Gusti karena saya diberi kesempatan untuk memiliki cerita buat anak cucu....
B U N G L O N

“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (2 Timotius 3:16)

Tahukah Anda tentang binatang Brochocela Jubata? Sedikit di antara kita yang pernah mendengarnya. Tetapi jika Bunglon yang disebut, sebagian besar kita sudah sangat akrab dengannya. Ya, brochocela jubata tidak lain adalah bunglon, binatang yang namanya kerap dipakai untuk menggambarkan orang yang mencari keuntungan dengan cara berkompromi.
Bunglon memang memiliki kebiasaan mimikri, yaitu aktifitas menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi di sekitarnya. Warna kulitnya akan berubah merah, coklat, hijau atau kehitaman jika memang menyesuaikan dengan tempatnya berada. Bunglon berubah oleh lingkungan sekitar. Fungsi penyamaran ini sering disebut juga dengan kamuflase untuk tujuan penyamaran.

Kalau perubahan warna kulit bunglon lebih disebabkan karena faktor dari luar ke dalam (outside in), perubahan dalam diri orang percaya lebih disebabkan oleh kuasa firman yang bekerja di dalam hatinya. Perubahan itu kemudian mengalir keluar (inside out) dan dirasakan oleh orang lain juga. Kalau kamuflase bunglon bertujuan melindungi diri dengan penyamaran, orang percaya justru dituntut untuk menunjukkan perubahan hidup kepada orang lain sebagai sarana kesaksian.

Sahabat, perubahan adalah sebuah tuntutan yang tidak bisa ditawar. Dunia di sekitar kita membutuhkan model atau teladan agar mereka juga berubah sesuai kehendak Tuhan. Dan kita dipanggil sebagai garam dan terang agar dengan perubahan kita, nama Bapa Surgawi dipermuliakan. Seperti Ksatria Baja Hitam, mari kita “Berubah….!” [JP]
‘DEPARTEMEN DOA NASIONAL’

“Tetaplah berdoa.” (1 Tesalonika 5:17)

Tentu saja ini hanya sebuah kelakar. Masak sih, untuk urusan doa pemerintah harus membentuk sebuah departemen? Suatu kali terjadi percakapan antara Mas Celathu (tokoh rekaan Butet Kartaredjasa dalam kolom “Celathu” di harian Suara Merdeka Minggu) dengan isterinya, Mbakyu Celathu.

Mbakyu Celathu berujar, “Pakne, saya mau usul ke pemerintah kalau Departemen Agama dibubarkan atau dilebur saja dengan Departemen Perhubungan.” “Lho, apa ada hubungannya to Bu? Departemen Agama itu kan ngurusi bidang keagamaan, lalu Departemen Perhubungan ngurusi masalah transportasi. Kan ngga nyambung kalau digabung?” sergah Mas Celathu. Mbakyu segera menangkis, “Lha itu buktinya… Departemen Perhubungan dengan sukses telah meningkatkan kerohanian masyarakat. Orang di negeri kita ini kan jadi rajin berdoa sebelum naik kendaraan umum lantaran kondisi sarana transportasi yang buruk dan makin memprihatinkan. Naik pesawat takut jatuh, naik kereta takut anjlok, naik taxi takut dirampok. Lha ini kan mengambil ‘jatah’ Departemen Agama to Pakne? Lebih baik Depag dibubarkan saja…” Mas Celathu pun tercenung mengiyakan dalam hati.

Sahabat, bagaimanapun doa adalah masalah prifat, sangat pribadi. Tidak bisa dicampuri oleh pihak manapun sebab ini bentuk hubungan manusia dengan Penciptanya. Bagi kehidupan Kristen, doa adalah tempat dimana kekuatan hidup didapatkan kembali. Namun kenyataannya banyak orang percaya yang enggan melakukannya. Alasannya berderet, belum sempat, tidak ada waktu, hingga dengan jujur mengakui kalau malas melakukannya. Doa baru akan ditingkatkan saat mengalami kondisi yang serba terjepit. Dalam kondisi normal, aktifitas berkomunikasi dengan Allah ini lantas ditinggalkan.

Jika kita menyadari betapa bergunanya doa untuk mengokohkan kehidupan, pasti dengan kerelaan bahkan sebagai kebutuhan, kita akan melakukannya. [JP]
KUNO YANG TAK LEKANG

Apa yang kita bisa buat dengan dengan naskah-naskah kuno yang kita miliki? Hal yang paling sering kita lakukan adalah menyimpannya di gudang belakang bagian paling pojok. Sesekali saja kita membukanya, itupun jika ada data penting yang kita butuhkan. Untuk itu kita harus berjuang dengan tebalnya debu dan mungkin juga binatang-binatang semacam kecoa dan tikus ketika membongkarnya.

Saya pribadi suka mengkoleksi edisi khusus sebuah majalah mingguan nasional. Sepanjang ingatan, saya memulainya pada awal tahun 2000. Kebiasan itu masih saya lakukan hingga kini. Begitu ada edisi khusus muncul, biasanya saya langsung membelinya. Ada topik-topik yang menarik, tetapi ada juga hal-hal yang tak saya mengerti banyak. Yang penting saya punya koleksi. Edisi-edisi khusus itu biasanya menyoroti hal yang sedang hangat dibicarakan orang atau berkaitan dengan peristiwa-peristiwa khusus. Suatu ketika saat sudah kehilangan momentum, edisi khusus itu sudah tak menarik lagi.

Dalam hal inilah saya kemudian semakin mengagumi Alkitab. Kitab tebal dengan dua perjanjian [lama dan baru] ini tetap menunjukkan eksistensinya meskipun zaman terus berubah, musim selalu berganti dan dalam waktu yang cepat bergulir. Ia laksana bunglon yang menyesuaikan diri dengan kondisi. Ia seperti Pangeran Melar yang lentur/fleksibel dalam konteks manapun. Kalau ada buku yang paling laris sepanjang sejarah –meski mungkin tak pernah dicatat buku rekor Guinness– tidak lain adalah Alkitab, Firman Allah yang Hidup.

Isi Alkitab tak pernah lekang meski telah ditulis ribuan tahun. Buku yang ditulis oleh 40 orang dalam kurun waktu hampir 1500 tahun ini memuat sejumlah besar informasi yang akurat dan tetap relevan. Meski bukan buku sejarah, tetapi Alkitab tidak ngawur ketika mencatat sejarah. Meski bukan buku geografi, tetapi data-data geografisnya selalu tepat. Berita Alkitab yang paling penting, yaitu penebusan, berlaku sepanjang zaman. Berita ini dibutuhkan manusia secara universal dan terus-menerus.

Firman Tuhan tidak pernah menjadi ketinggalan zaman. Berbeda dengan telepon genggam kita yang akan disebut usang hanya dalam hitungan tahun, bahkan bulan, setelah muncul seri terbaru. Alkitab tetap menjadi relevan dalam zaman apapun. Generasi berganti, hukum berubah, kebudayaan mengalami degradasi, tetapi hanya Alkitab yang mampu bertahan.

Alkitab terbukti telah mengalami berbagai macam ujian. Berkali-kali, sepanjang masa, Alkitab berusaha dimusnahkan tetapi masih ada hingga kini. Orang-orang yang menyebarkannya dipenjara dan dibunuh, tetapi firman Tuhan tak terpenjara dan tetap hidup. Ia memang kuno, tetapi tak pernah lekang.

Jika sedemikian luar biasanya Alkitab yang kita miliki, mengapa tak kemudian kita membagikan kebenaran yang tercatat di dalamnya? Sayang jika kita sendiri yang menikmati sebab masih banyak orang yang membutuhkan di luar sana.***
TEBAR FIRMAN MELALUI TULISAN

“Sesuai dengan kasih karunia Allah, yang dianugerahkan kepadaku, aku sebagai seorang yang ahli bangunan yang cakap meletakkan dasar, dan orang lain membangun terus di atasnya. Tetapi tiap-tiap orang harus memperhatikan, bagaimana ia harus membangun di atasnya.” (1 Korintus 3:10)

Seorang pemimpin redaksi sebuah majalah rohani bulanan memberikan kesaksian. “Melayani Dia melalui tulisan memang menggoreskan suka-duka tersendiri. Di Indonesia, budaya tutur (lisan) masih lebih dihargai daripada budaya tulisan. Orang Indonesia lebih suka mendengarkan dongeng daripada membaca,” begitu katanya bernada mengeluh.

Tetapi Sang Pemred melanjutkan bahwa melayani melalui pena adalah sebuah panggilan mulia. Hasilnya mungkin tidak segera bisa dinikmati. Ia menyepertikan pelayanan ini sebagaimana aktifitas menabur yang menuainya entah berlangsung kapan. Yang namanya panggilan memang harus dihidupi dan dinikmati. Dan untuk itu ia telah mendapatkan hasilnya.

Suatu kali datang sepucuk surat di meja redaksi. Ternyata surat itu dikirim oleh seorang narapidana yang meringkuk di Nusakambangan, yang sering disebut sebagai Alcatras-nya Indonesia. Tentu ini adalah sebuah surprise. Yang lebih mengejutkan adalah isi surat itu. Kira-kira berbunyi, “Terimakasih banyak atas tulisan-tulisan di majalah lusuh yang telah mengubahkan hidup saya. Majalah yang robek-robek, tidak bercover dan kotor itu telah membersihkan hati saya. Saya memiliki semangat hidup lagi sejak berjumpa Yesus melalui tulisan Anda. Tuhan memberkati!”

Pemimpin redaksi itupun menitikkan air mata. Selama ini ia berdoa agar Tuhan mengurapi setiap tulisannya dan menjadi berkat bagi pembacanya. Ia rindu ‘berkhotbah’ dan berbagi firman melalui tulisannya. Ia mengalami jawaban doanya melalui surat seorang narapidana itu.
Setiap cara bisa dipakai Tuhan untuk menjangkau jiwa-jiwa terhilang. Sahabat NK, apapun yang kita bisa lakukan untuk membagikan firmanNya, mari kita lakukan dengan kerelaan dan kesungguhan. Tuhan pasti menyertai. [JP]
JEJAK-JEJAK PEMBAGI ALKITAB ITU...

“Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!” (Roma 10:15b)

Nun di wilayah Luwu, Sulawesi Tengah, tersebutlah kecamatan Seko yang amat terpencil. Wilayah yang terisolir itu dihuni sub-suku Toraja yang mayoritas beragama Kristen. Karena kondisi yang terpencil itu, orang-orang di Seko mengalami berbagai macam hambatan. Salah satunya adalah tidak tersedianya Alkitab untuk memenuhi kebutuhan rohani jemaat.

Melihat kondisi tersebut, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) mengutus sebuah tim untuk mengirim 5000 eksemplar Alkitab. Untuk masuk ke wilayah Seko, tidak semudah yang kita bayangkan. Medan dengan jalan setapak berlumpur sangat menyulitkan proses pengiriman Alkitab. Adakalanya bukan manusia yang naik motor, jika terjebak lumpur, motorlah yang harus diangkat manusia. Biaya ojek bisa mencapai Rp. 500.000,-/orang. Hampir sama dengan tiket pesawat terbang bukan? Bahkan jika musim penghujan tiba, biaya itu bisa naik menjadi Rp. 700.000,- hingga Rp. 1.000.000.- untuk jarak tempuh 125 km. Beberapa kali sungai tanpa jembatan harus dilalui. Kalaupun ada jembatan, sport jantung harus dialami karena kondisi jembatan yang memprihatinkan. Sepeda motor melewati papan sempit yang rapuh dengan batu-batu terjal di bawahnya. Tidak jarang jarak 2 km bisa ditepuh dalam 2 jam karena medannya yang berat. Setiap tukang ojek melengkapi dirinya dengan spare part kendaraan dan persediaan bahan bakar.

Kondisi serba terbatas dan membahayakan itu ternyata tidak menghalangi tim LAI untuk tetap pergi dan membagikan Firman Tuhan berupa Alkitab. Kerinduan untuk berbagi berkat telah membuat mereka mengatasi rasa takut. Bisa saja mereka kecelakaan, sakit di perjalanan atau bahkan meregang nyawa. Tetapi itu semua tidak menghalangi niat mulia mereka untuk berbagi kabar baik.

Sahabat NK, ada banyak orang di sekitar kita yang juga membutuhkan Alkitab. Tidakkah kita tergerak untuk memberikannya kepada mereka? Alangkah indahnya jejak-jejak orang yang membagikan firmanNya. [JP]
NGANTUK BERAT

“Berbahagialah orang-orang yang memegang peringatan-peringatanNya, yang mencari di dengan segenap hati,...” (Mazmur 119:2)

Seorang anak Sekolah Minggu bertanya, “Kak, mengapa setiap membaca Alkitab, pasti deh saya mengantuk?” Guru Sekolah Minggunya memberi beberapa alternatif jawaban. “Pertama, mungkin kamu kurang tidur waktu baca Alkitab, sehingga kamu mengantuk. Kedua, kamu baca Alkitab dalam waktu yang tidak pas. Misalnya kamu baca Alkitab pada malam hari sesudah seharian lelah sekolah, bikin PR dan bermain. Ketiga, kamu baca Alkitabnya terlalu panjang. Sebaiknya 1-2 pasal saja supaya kamu tidak bosan. Keempat, mungkin karena kamu kurang mencintai Alkitab. Kamu lebih suka dengan komik atau majalah anak kesukaanmu,” papar guru SM itu.

Saya pribadi tertohok dengan jawaban keempat sang guru. Rasanya kecintaan saya terhadap Alkitab selama ini memang meluntur. Koran, majalah dan buku-buku kesukaan menggeser posisi Alkitab dari tempat terbaik di hati saya. Kalau pun membaca Alkitab, dasar utamanya lebih sering karena kewajiban saja, bukan didasari oleh kecintaan.

Sikap kita terhadap Alkitab rupanya sangat menentukan apakah Alkitab itu sendiri menjadi membosankan atau tidak. Jika kita menganggapnya sebagai ‘surat cinta’ Tuhan, tentunya kita akan membaca berulang-ulang. Kita tidak pernah merasa bosan dengannya, kalau perlu membacanya siang-malam.

Jerry MacGregor dan Marie Prys berhasil mencatat “1001 Fakta Mengejutkan tentang Alkitab.” Mereka kemudian membukukan temuannya itu dengan judul yang sama. Saya terkesima ketika membacanya. Betapa Alkitab yang kita miliki memiliki kekayaan yang luar biasa. Dalam hati ini lantas timbul sebuah keyakinan bahwa pasti masih banyak fakta lagi yang belum terungkap. Pasti lebih dari angka 1001, tentu saja jika kita mencintai dan membacanya setiap hari. Mari berjanji agar ketika membaca Alkitab, kita tak ngantuk lagi. [JP]
PETUAH BIJAK DARI TEGAL

“Dan aku berdoa, agar persekutuanmu di dalam iman turut mengerjakan pengetahuan akan yang baik di antara kita untuk Kristus.” (Filemon 1:6)

Dalam sebuah kesempatan, saya menyaksikan tayangan singkat tentang aktifitas sebuah gereja di Tegal yang ingin berbuat sesuatu bagi kotanya. Pdt. John Ruslie, gembala gereja itu, ‘turun gunung’ memimpin langsung jemaatnya untuk membersihkan selokan dan gorong-gorong di depan gereja yang menjadi simpul banjir ketika musim penghujan tiba. Lalu apa istimewanya kerja bakti yang dilakukan warga gereja itu? Bukankah jemaat gereja lain bisa melakukannya, bahkan dengan aktifitas lain yang lebih besar?

Yang istimewa adalah dampaknya! Kerja bakti itu telah menarik perhatian seseorang untuk meliput beritanya dan memasukkannya ke sebuah surat kabar lokal. Alhasil, berita jemaat gereja yang membersihkan selokan untuk mengatasi banjir itu sampai ke meja pemerintah kota. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, muncul sebuah instruksi untuk membersihkan selokan di seantero kota. Gerakan kecil warga jemaat itu telah menginspirasi pemerintah dan unsur masyarakat untuk melakukan gerakan yang sama. Jadilah selokan dan gorong-gorong di Tegal bersih dan bebas dari mampet. Banjir berlalu, keindahan kota dituai.

Dari kisah di atas kita belajar bahwa Tuhan acap memakai kita untuk menjadi jawaban doa. Air yang menggenang di depan gereja itu ternyata tidak cukup dihadapi dengan seruan di ruang (menara) doa. Ada aksi nyata yang harus dilakukan untuk sebuah perubahan segera sesudah doa-doa dinaikkan. Dalam konteks ini, berdoa dan bekerja mendapatkan ‘tempat pertemuan’. Ada kalanya kita cukup hanya berdoa karena memang tanpa daya. Tetapi Tuhan lebih banyak mengajar kita untuk mulai mengayunkan langkah sebagai tindakan iman. Apakah Anda belum mendapat jawaban doa? Jangan-jangan karena Anda belum bekerja… [JP]
KUBURAN KERAKUSAN

“Maka tempat itu dinamakan "Kuburan Kerakusan", karena di situ dikuburkan orang-orang yang mati karena rakus.” (Bilangan 11:34)

Keserakahan adalah salah satu sifat negatif manusia yang amat menghancurkan. Karena digerakkan oleh keserakahan, manusia bisa melakukan hal-hal yang merugikan orang lain. Nilai-nilai sosial dan persahabatan hancur. Jabatan untuk mengabdi, disalahgunakan menjadi sarana mengeruk keuntungan pribadi. Kehidupan moral-spiritual diabaikan begitu saja, dianggap tidak berarti sama sekali.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cukup berprestasi dalam membongkar kasus korupsi di Indonesia. Yang lebih mencengangkan adalah begitu banyak anggota DPR yang ditangkap karena kasus korupsi tersebut. Anggota dewan mustinya menjadi teladan karena kedudukannya yang terhormat, tetapi inilah wajah negeri ini yang masih harus berjuang menghadapi kerakusan bangsa sendiri. Dari manakah akar korupsi? Karena manusia tidak bisa mencukupkan diri dengan apa yang ada. Meskipun gaji sudah ada, ‘penghasilan’ tambahan diupayakan dengan segala cara. Alhasil, korupsi yang menjadi pilihannya. Dengan melupakan bahwa hal itu adalah kejahatan, keuntungan besar dapat diperoleh dalam waktu yang relatif singkat. Inilah bentuk kerakusan manusia.

Bangsa Israel pernah dihukum Tuhan karena watak rakusnya. Tuhan ingin menyatakan pemeliharaanNya memlaui manna dan burung puyuh. IA memerintahkan agar bangsa Israel mengambil secukupnya karena pemeliharaanNya akan muncul setiap hari. Dasar bangsa rakus, bukannya mentaati perintah Tuhan, mereka malah mengumpulkan sebanyak-banyaknya demi memuaskan kerakusan. Alih-alih menjadi berkat dan mengenyangkan, tindakan itu justru mengantarkan mereka kepada kuburan kerakusan.

Begitu pula dalam hal berdoa. Orang Kristen sering terjebak dalam doa yang berfokus hanya pada kebutuhan pribadinya. Semuanya untuk aku, demi aku dan bagi aku. Kiranya apa yang kita renungkan di atas membawa kita kepada pemahaman bahwa kerakusan, apapun bentuknya, adalah sebuah ketidakpercayaan kepada Tuhan. Mulailah berdoa untuk kepentingan orang lain juga. [JP]
“BAWA PAPA SAYA PULANG, TUHAN...”

“Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.” (Yakobus 5:16b)

Sebait doa dinaikkan seorang anak kecil ketika ayahnya berpamitan ke luar kota kepadanya. Ia berkata lirih, “Tuhan... tolong bawa papa saya pulang ke rumah!” Pria itu, sebut saja Pak Andy, bersyukur dengan kepolosan anaknya, tanpa tahu bahwa doa yang dinaikkan anaknya itu akan berarti beberapa hari kemudian.

Pak Andy bergegas pergi karena ia telah berjanji bertemu dengan rekan bisnisnya di sebuah kota. Sesampai di kota tujuan, ia menginap di sebuah hotel sebelum keesokan harinya melakukan sebuah kontrak bisnis bernilai milyaran rupiah. Malam itu seorang pemuda berbadan tegap mengetuk kamar hotelnya ketika ia sedang berdoa dan membaca firman. Pemuda itu mengaku sebagai suruhan rekan bisnis untuk menjemputnya besok pagi. Pak Andy mengucapkan terima kasih sambil menepuk bahu pemuda itu, “Terima kasih banyak, saya tunggu besok pagi. Tuhan memberkati Anda!”

Keesokan harinya, pemuda itu menepati janji untuk menjemput Pak Andy. Perjalanan terasa lama dan tak segera sampai ke tempat tujuan. Di tengah perjalanan, pemuda itu berkata, “Sebenarnya saya adalah orang suruhan untuk mencelakai Bapak supaya kontrak bisnis bernilai milyaran itu batal. Tapi saya berubah pikitan semalam ketika Bapak menepuk pundak saya. Saya melihat Bapak orang baik.” Pemuda itu melanjutkan ceritanya panjang lebar tentang rencana jahat rekan bisnisnya untuk menghabisi nyawa Pak Andy. Akhirnya pemuda itu membawa Pak Andy kembali ke hotel dan menyarankan agar ia segera pulang ke rumahnya.
Di sepanjang perjalanan ke rumah, barulah ia menyadari arti doa anaknya yang masih kecil. Ia tidak bisa membayangkan jika anaknya tidak berdoa, mungkin yang pulang ke rumah tinggal namanya.

Doa sederhana yang dinaikkan dengan kepolosan itu ternyata amat berkuasa. Dalam setiap kesempatan berdoalah dengan kesungguhan sambil terus berharap agar kuasanya dinyatakan. [JP]

Tuesday, November 25, 2008

NATAL YANG MEMESONA

Cobalah hitung, sudah berapa kali kita merayakan Natal selama hidup? Natal yang ke berapakah tahun ini? Kita kesulitan untuk mengingatnya bukan?

Tetapi dari sekian kali perayaan Natal kita lakukan, ada sebuah pertanyaan yang jauh lebih penting ketimbang mengurus masalah jumlah. Pertanyaan itu adalah: Masih memesonakah Natal setiap kali kita berjumpa dengannya di akhir tahun? Kita tentu sepakat bahwa sesuatu yang berulang, apalagi berlangsung periodik, cenderung membuat kita bosan. Termasuk jika itu adalah hal-hal berbau rohani seperti Natal. Kita menyanyikan ‘Malam Kudus’ lagi, menjadi panitia lagi, menyusun pohon terang lagi, begitu seterusnya.

Itulah sebabnya kita perlu memiliki ‘kecerdikan’ khusus agar bisa mengantisipasi kebosanan. Jawaban untuk itu, tidak lain adalah kreatifitas. Semakin kreatifitas mewarnai Natal yang kita rayakan, semakin kita bisa menjauhkan kejenuhan. Jika kita merayakan Natal dengan cara yang itu-itu saja, bisa dipastikan Natal tidak akan memesona. Sesuatu yang baru perlu dicoba meski tidak harus mengorbankan nilai-nilai dari peristiwa kelahiran Sang Juru Selamat. Dalam hal ini ‘cara’ kita lakukan sebagai siasat mengatasi kejenuhan.

Yang jauh lebih penting dari itu semua adalah sikap hati. Ini hal paling esensial yang patut kita cermati. Sebagus dan semenarik apapun acara Natal, kalau sikap hati belum beres, rasanya tidak akan banyak menolong. Paling-paling hanya membekaskan kesan temporal yang sebentar lagi kita lupakan.

Allah yang merendahkan diri-Nya menjadi manusia, lahir dalam kesederhanaan, menyatakan anugrah keselamatan dan berjanji menyertai senantiasa; bukankah itu sesuatu yang amat sangat mengagumkan dan memesona? Selamat Natal! Selamat berjuang dan membawa semangatnya di ladang pelayanan!***

_________________
Sepagi ini sudah memposting tulisan Natal? Nyuwun pangapunten, ini pesenane cah-cah untuk membuat sambutan pada buku acara Natal STT Kharisma.

Saturday, November 22, 2008

PRESIDEN GUYONAN

Entah karena fanatik terhadap Butet atau karena saking menikmati, saya melahap Presiden Guyonan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Sepanjang terbang Jakarta - Batam, di atas Ferry ke Singapura dan habis G4 Station Mackenzie Rd, tempatku menginap.
Buku ini adalah kumpulan essai Butet pada Kolom Celathu di harian Suara Merdeka, korane wong Jawa Tengah. Ia dengan jenaka menangkap realitas yang sedang terjadi dan menyuguhkan kepada pembaca sebagai pendapat Mas Celathu, yang tidak lain adalah dirinya. Banyak pesan yang tertangkap dalam buku ini. Tetapi yang paling mengesankan adalah perhatian Butet terhadap keluarga. Diam-diam 'Presiden SBY' ini seorang figur yang mengasihi keluarganya, tentu dengan caranya sendiri.
Baginya, keluarga adalah tempat belajar banyak hal. Tempat menyemai ide-ide kreatif yang kelak menjadi modalnya sebagai pengecer cangkem. Tempat bersosialisasi dengan istri dan anak-anak yang memungkinkan sikap tenggang rasa terbangun setiap hari. Butet ternyata menikmati dunia fathering dan parenting juga. Perhatianya kepada keluarga itu muncul dalam berbagai bentuk di sebagian besar essainya.
Selebihnya Butet banyak 'berkicau' tentang dunia sosial politik, dunia yang juga tak kalah diminatinya. Saya sudah merekomendasikan buku ini ke beberapa teman. Syukur-syukur mereka mau beli. Syukur-syukur lagi kalau Butet membaca tulisan ini dan menyisihkan sedikit royaltinya buat saya. Halah....

Tuesday, November 04, 2008

MENGAGUMI BUTET

Kekagumanku kepada Butet bermula nun di awal 80-an. Kala itu ibu yang guru tari di sebuah SMP, masih nyantrik di Padepokan Pak Bagong. Kalau Butet muncul, ibu sering berbisik, "Itu Mas Butet, salah satu putrane Pak Bagong." Kadang ibu juga acap bertutur tentang putra-putri Pak Bagong yang lain.

Dalam sebuah kesempatan, aku diajak ibu mampir nyoto Pak Marto di Sonosewu. Rupanya Butet sudah nangkring di salah satu sudut menikmati sedapnya soto. Ibu berbisik kembali, "Itu Mas Butet. Kamu masih ingat to? Itu lho putrane Pak Bagong." Aku mengangguk setuju, meski hanya mengingat Butet sebatas putrane Pak Bagong, penari terkenal itu. Tidak lebih.

Belasan tahun sesudahnya kekagumanku kepada Butet semakin mengkristal karena terpengaruh caranya menulis di media massa. Ia selalu menggunakan sindiran-sindiran nakal yang disebutnya dengan 'guyon parikena' khas Jogja. Ia mengkombinasikan bahasa populer, kadang ilmiah dengan sentuhan jargon-jargon berbahasa Jawa yang kental. Kelihatan sekali bahwa Butet berdarah Jawa (meskipun namanya Butet) yang otaknya encer dan wawasannya luas.

'Pertemuan' berikutnya dengan Butet acap terjadi di Bundaran UGM, Bulaksumur. Kala itu ia sering berorasi di kerumunan demonstrasi mahasiswa untuk menggulingkan Soeharto, tokoh yang ditirukannya dengan amat piawai. Dari panggung demonstrasi, Butet aku 'nikmati' di panggung teater dan monolog. Penampilannya, baik dengan Gandrik, Koma atau Kua Etnika, sama-sama ciamik. Dia cerdas berperan sebagai tukang kritik. Cangkemnya lancar mengucapkan tuntutan skenario. Dalam hal ini ia menghidupi amsal dalam blog pribadinya, "Gunakan cangkem secara baik dan benar..."

Butet merindukan kematian tanpa merepotkan. Akankah ia meraihnya? Rasanya agak jauh dari harapan. Kebiasaannya mengisap rokok tiga bungkus sehari dan kegemarannya menyantap daging kambing dengan segala varian cara memasaknya, bisa jadi hambatan untuk meraih cita-citanya itu. Agaknya kematiannya akan merepotkan, atau setidaknya ia sendiri bisa repot mati dengan hobinya itu.

Bagiku Butet tetap mengagumkan. Bangsa ini berhutang banyak pada seniman yang satu ini. Selamat (terus) berkarya Butet, tetap gunakan cangkem dengan baik dan benar. Mudah-mudahan bisa mati tanpa merepotkan....

Wednesday, October 15, 2008

SEKALI LAGI TENTANG KEGIGIHAN

Bulan September lalu, Pak Then Willing dan Ibu Jo Hana, istrinya, diwisuda di STT Kharisma dengan gelar Magister Teologi (M.Th.). Ada sesuatu yang istimewa, bukan karena gelarnya, bukan juga karena pasangan suami istri ini diwisuda bersama. Pak Willing adalah seorang penyandang tuna netra dan inilah yang membuat upacara penganugerahan gelar itu menjadi istimewa.
Suatu kali ketika berkesempatan mengajarnya, Pak Willing tampak sibuk menorehkan alat tulis khusunya ke atas selembar kertas. Ia membuat catatannya dengan huruf braille. Dibantu istrinya, ia juga rajin mengerjakan tugas dengan nilai yang bagus. Sembari belajar dan mengerjakan tugasnya sendiri, Bu Hana setia mendampingi suaminya itu, termasuk dalam pengetikan dan pengerjaan tugas-tugas kuliahnya.

Kegigihan pasangan ini akhirnya membuahkan hasil. Mereka lulus dan diwisuda. Ini sebuah pelajaran berharga bagi mereka yang dikaruniai fisik lebih sempurna, tetapi belum juga menyelesaikan tugasnya. Sudah begitu pandai menyusun alasan lagi. Kegigihan Pak Willing dan Bu Hana kiranya memacu kita kembali untuk tetap semangat menyelesaikan tanggung jawab kita.***

Friday, September 19, 2008

TOLERANSI YES, SINKRETISME NO!

“Demikianlah bagi orang Yahudi aku akan menjadi seperti orang yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi.” (1 Korintus 9:20)

Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di tengah masyarakat Jawa yang ‘Abangan’, sulit rasanya melepaskan diri dari tradisi-tradisi yang berkembang di lingkungan saya. Acapkali saya mengikuti tradisi-tradisi itu dan mulai menghubungkan dengan keyakinan Kristen yang saya pegang. Ada yang dengan tegas bisa ditolak, tetapi tak jarang juga yang harus bermain di wilayah abu-abu.

Salah satunya adalah kenduri. Kebiasaan membagi-bagikan makanan tertentu ini selalu terjadi setiap ada tetangga kampung punya hajatan. Entah itu pernikahan, sunatan, syukuran atau kematian. Biasanya kenduri menjadi penanda berakhirnya hajatan. Keluarga kami yang satu-satunya Kristen di kampung selalu diundang untuk hadir. Suatu kali saya mewakili orang tua saya yang berhalangan untuk mengikuti kenduri.

Sebelum makanan dibagikan untuk dibawa pulang oleh peserta kenduri, Pak Kaum (pemimpin doa) akan mempersembahkan makanan itu terlebih dahulu kepada para leluhur yang dipercaya di kampung kami. Sementara mereka berdoa demikian, saya menaikkan doa yang berbeda kepada Tuhan Yesus meskipun dalam hati. Saya berdoa, “Tuhan, sucikanlah makanan ini. Saya tidak mempersembahkan kepada siapapun, tetapi saya bersyukur karena makanan ini berasal dari padaMu.” Dan dengan damai sejahtera saya bisa menikmati makanan tanpa harus menyinggung perasaan orang yang memberikannya. Ada orang-orang yang ekstrim dengan membuang makanan itu, dan menurut saya ini kurang bijaksana.

Toleransi harus kita berikan kepada setiap penganut kepercayaan apapun. Sebagai orang Kristen kita harus bisa bergaul dan bermasyarakat dengan mereka. Yang tidak boleh terjadi adalah mencampur-adukkan (sinkretisme) keyakinan Kristen kita dengan keyakinan mereka. Toleransi Yes, Sinkretisme No! [JP]
KILLING ME SOFTLY...

“Ajaran orang bijak adalah sumber kehidupan, sehingga orang terhindar dari jerat-jerat maut.” (Amsal 13:14)

Saya pernah mendengar kisah bagaimana sesorang membunuh kodok untuk dijadikan swieke. Sebuah panci besar disiapkan dengan ¾ air di dalamnya. Panci itu lantas diletakkan di atas kompor. Kodok yang masih hidup dimasukkan ke dalam panci itu. Mereka senang karena bisa berenang di panci. Ketika api mulai dinyalakan, kodok-kodok itu merasa lebih hangat dan lebih nyaman berenang. Mereka tidak sadar bahwa lama-kelamaan air akan mendidih dan pada suhu tertentu matilah mereka kepanasan di dalam panci itu. Binatang amphibi itu tinggal menunggu waktu dikuliti.

Sahabat NK, tahukah Anda metode ‘membunuh pelan-pelan’ ini adalah strategi Iblis bagi orang-orang percaya? Pada awalnya kita dininabobokan dengan hal-hal yang kelihatannya enak. Iblis memberi tempat nyaman untuk memancing agar kita tertarik. Lalu ia memberi kenikmatan lebih hingga kita terlena dan akhirnya pada titik tertentu kita ditelikung. Pada saat tersebut, kita baru sadar bahwa kita telah dijerat Iblis.

Begitupun dengan masalah iman dan keyakinan yang kita pegang. Iblis kadang-kadang menawarkan keyakinan lain yang sepertinya tidak berbeda dengan kekristenan. Sama-sama mengajarkan kebaikan dan kasih. Sama-sama punya tujuan yang baik. Tidak jarang akhirnya orang Kristen yang belum dewasa rohani akan tertipu oleh ajaran-ajaran palsu itu.

Karena itu jangan mudah terbujuk iming-iming sesuatu yang kelihatannya baik padahal ujungnya adalah kejahatan. Seperti kata sebuah lagu “Killing me softly with this song...”, sebenarnya kita juga sedang menyerahkan diri untuk dibunuh pelan-pelan jika mulai berkompromi dengan Iblis. Hindari bujukan ajaran-ajaran palsu, sebaliknya semakin mendalami Alkitab akan menjadi benteng perlindungan yang aman. Telitilah ajaran yang asli dan murni, maka dengan mudah yang palsu akan kita ketahui. [JP]
TERIMA KASIH

”Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita...” (Efesus 5:20)

Kita paling tidak suka dengan orang yang tidak tahu berterima kasih. Mungkin Anda pernah mengalaminya sendiri. Suatu kali Anda memberikan sesuatu kepada orang lain, tetapi alih-alih berterima kasih, orang tersebut malah menipu Anda dan menikam dari belakang. Apa yang Anda rasakan? Jengkel dan kesal bukan? Sesudah itu kemudian Anda berjanji untuk tidak mau berhubungan dengan orang itu lagi.

Jika kita telisik lebih jauh, ada ‘filosofi’ yang mendalam dalam kata terima kasih itu sendiri. Kata itu tersusun dari dua kata ‘terima’ dan ‘kasih’. Pada saat seseorang memberikan sesuatu kepada kita, kita kemudian mengatakan ucapan ini. Artinya kita memang sedang menerima sesuatu, tetapi pada saat yang sama kita juga harus rela untuk menyalurkannya lagi. Kita tidak menerima untuk menikmatinya sendiri, tetapi untuk membagikannya kepada orang lain.

Kita tentu pernah mendengar tentang perbedaan Danau Galilea dan Laut Mati. Meskipun dialiri oleh sungai yang sama (Yordan), tetapi keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Tidak ada kehidupan di Laut Mati karena air hanya ditampung saja dan tidak mengalir lagi. Kadar garamnya menjadi sangat tinggi. Sementara Danau Galilea mengalirkannya ke sungai-sungai yang lebih kecil. Dari sanalah kemudian kehidupan bagi hewan air dan tetumbuhan di sekitarnya dimulai.

Tentu ini pelajaran menarik bagi kita. Bahwa sesuatu yang tidak dinikmati sendiri adalah kekuatan untuk menghidupi pihak lain. Sementara kerakusan dan keserakahan menyebabkan kematian bagi pihak lain. Saya percaya bahwa inilah rahasia hidup berkelimpahan di hadapan Allah; yaitu jika kita menjadi orang yang tahu berterima kasih. Sahabat, terima kasih karena Anda telah membaca renungan ini. [JP]
CAPER

“Susulah yang kuberikan kepadamu, bukanlah makanan keras, sebab kamu belum dapat menerimanya. Dan sekarangpun kamu belum dapat menerimanya.” (1 Korintus 3:2)

Anda pasti pernah mendengar istilah dalam judul di atas. Coba amati dan ucapkan sekali lagi. Ya, ‘caper’ alias cari perhatian. Suatu kali saya mengamati seorang anak tetangga saya yang dikenal cukup nakal. Kebiasaan buruknya adalah menangis dan meronta di tempat umum setiap kali menginginkan sesuatu untuk dimiliki. Tangisan di tempat umum itu rupanya telah menjadi senjata yang ampuh baginya. Ketika ia menangis, kadang disertai dengan bergulung-gulung, orang tuanya merasa malu sehingga terpaksa membelikan apa yang diinginkan anaknya.

Namanya juga anak-anak. Ia belum bisa berpikir tentang bagaimana beratnya mencari uang. Kadang-kadang uang juga tidak selalu cukup karena sudah dialokasikan untuk hal-hal tertentu. Anehnya lagi kalau sudah dapat mainan baru dan ia melihat teman lain yang punya mainan yang sama, keinginan untuk memiliki muncul lagi. Jadi satu saja belum cukup. Demikianlah anak-anak yang selalu memusatkan segala sesuatu pada dirinya sendiri. Ia tidak peduli dengan kondisi sekeliling karena segala sesuatu adalah untuk dirinya. Semua akan berubah secara alami jika didikan orang tuanya menyertai dalam perjalanannya menjadi dewasa.

Kepada anak-anak rohaninya di Korintus, Paulus melakukan hal yang sama. Ia menegur mereka agar tidak terus-menerus menjadi bayi rohani, tetapi harus berangsur-angsur bertumbuh menjadi dewasa di dalam Kristus. Pribadi yang dewasa di dalam Kristus tidak lagi memusatkan segala sesuatu pada dirinya dan mencari perhatian orang lain, sebaliknya pusat hidupnya adalah untuk menyengkan Kristus. Pusat perhatiannya adalah Kristus.

Sahabat, ada sebuah pertanyaan menggelitik, “Are you growing up or you just growing old?” Anda bertumbuh dewasa atau hanya sekedar menjadi tua? Mari renungkan bersama jawabannya. [JP]

Wednesday, September 03, 2008

NARSIS

“Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah.” (Filipi 1:21-22)

Narsisme adalah perasaan mengasihi diri sendiri secara berlebihan. Hal ini bisa disebabkan olah beberapa hal, salah satunya adalah merasa bahwa dirinyalah pusat kehidupan. Segala sesuatu adalah tentang dirinya. Menurut Dharmayanti Utoyo Lubis, MA., Ph.D., seorang psikolog, narsisme menyerang sebagian besar remaja. Mengapa demikian? Karena remaja cenderung memiliki sifat self conscious, alias perhatian yang mendalam terhadap dirinya sendiri.

Simaklah pengakuan Cecil (bukan nama sebenarnya) yang masih berseragam biru-putih berikut, “Aku suka aja lihat mukaku di foto. Ih... Cantik banget. Pokoknya fotogenik abisss... Bagian-bagian tubuhku yang lain juga keren lho kalau difoto.” Ia memajang fotonya di setiap tepat yang memungkinkan. Kamar, dompet, layar telepon selular, situs pertemanan dan blog pribadinya dipenuhi foto-fotonya. Dan remaja SMP itu akhirnya terlibat dalam produksi foto-foto porno. Anda yang memiliki anak remaja putri, perlu berhati-ati dalam hal ini.

Celakanya, orang sulit membedakan antara percaya diri dan narsis. Keduanya memang beda tipis. Bahkan ‘penyakit cinta diri’ ini telah menghinggapi orang-orang yang bukan remaja lagi. Kalau sudah begini, biasanya kesombongan dan keangkuhanlah yang menjadi ‘teman dekat.’

Tidaklah demikian dengan kekristenan. Alkitab mengajarkan bahwa pusat dalam hidup kita bukanlah diri kita sendiri, tetapi Kristus (Christocentris). Motto hidup Paulus yang sangat terkenal adalah, “Bagiku hidup adalah Kristus!” Yohanes Pembaptis punya filosofi, “Dia harus makin bertambah, aku harus makin berkurang!” Semuanya menyiratkan satu hal: Kristus sebagai pusat kehidupan kekristenan kita. [JP]
INJAK KE BAWAH, SIKUT KE SAMPING, JILAT KE ATAS

“Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.” (Yakobus 4:14b)

Urip mung mampir ngombe (hidup ibarat mampir minum), begitu kata pepatah bijak Jawa. Tekanan utama yang ingin disampaikan di sini adalah untuk mengingatkan kepada manusia mengenai kesementaraan hidup di dunia. Sesungguhnya ada sebuah kehidupan lain yang akan dijalani dalam kekekalan.

Senada dengan itu, Donald Coggan (uskup Agung Canterbury) menyatakan, “Saya menjalani hidup ini sebagai seorang yang mengadakan perjalanan menuju kekekalan, seorang yang diciptakan menurut gambar Allah, tetapi gambar itu telah hilang kemuliaannya hingga saya perlu belajar cara bermeditasi, beribadah, dan berpikir.”

Orang yang tidak melihat kepada kekekalan cenderung untuk menghabiskan energi pada hal-hal yang sebenarnya bersifat sementara. Fokus hidup mereka adalah mengumpulkan kekayaan. Waktu banyak dihabiskan untuk mengejar kedudukan. Dan untuk mendapatkan itu semua, sebuah jurus dilakukan. Jurus itu adalah injak ke bawah, sikut ke samping dan jilat ke atas. Dengan cara yang culas orang berusaha mendapatkan apa yang diinginkannya, padahal hanya bersifat temporal. Orang tega menginjak orang di bawahnya, berani menyikut rekan-rekan sekerjanya dan hobi menjilat orang-orang di atasnya.

Sahabat, kita perlu mengingat kembali tentang betapa sementaranya hidup kita ini. Semuanya berlalu begitu cepat. Alangkah sayangnya kalau kita justru berfokus pada hal-hal kekinian yang tidak ada hubungannya dengan kekekalan sama sekali. Kata Rick Warren, sekarang ini kita baru berlatih menuju kekekalan. Karena itu manfaatkan sebaik mungkin waktu yang kita miliki untuk perkara-perkara abadi. [JP]

note: thanks to Ps. Gideon Rusli untuk inspirasi judulnya...
SE-EKSTRIM ITU KAH?

“Allah telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia...” (Kisah Para Rasul 17:24)

Suatu kali saya mengantar (alm) Dr. Wagiyono Sumarto, seorang dosen dari Institut Injil Indonesia Malang untuk melihat gamelan di beberapa tempat di Jogja. Ia seorang dosen yang kala itu menggunakan budaya Jawa sebagai sarana kesaksian. Menurutnya tradisi bisa dipakai sebagai sarana komunikasi Injil yang efektif. Tetapi apakah semudah itu?

Ternyata tidak. Akar budaya di Indonesia telah bersinggungan dengan kepercayaan dan praktek agama suku yang sebagian besar menganut animisme. Menyembah batu besar, pohon-pohon keramat, tempat-tempat angker dan sejenisnya. Tidak jarang kemudian terjadi percampuran (sinkretisme) dan akhirnya kalau kita mendengar ‘tradisi’, kita mengidentikkannya dengan hal-hal yang magis dan mistis. Lalu tradisi menjadi semakin jauh dengan kekristenan, bahkan telah dianggap musuh oleh kalangan tertentu. Harus se-ekstrim itu kah?

Sebagai orang percaya yang hidup di Indonesia, bersinggungan dengan tradisi yang sudah lebih lama ada adalah sebuah keniscayaan. Mau atau tidak, suka atau tidak, kita akan mengalaminya. Kita perlu menyadari bahwa budaya sebagai hasil dari peradaban manusia adalah netral sifatnya. Ia seperti sebilah pisau yang bisa digunakan untuk maksud yang baik (memasak misalnya), tetapi juga bisa menjadi alat kejahatan (membunuh, merampok, dll).

Kebudayaan pun bisa dimanfaatkan untuk maksud pelayanan, tetapi juga bisa dipakai iblis untuk melaksanakan maksudnya. Jadi bukan senjatanya yang penting, tetapi siapa yang menggunakannya. Yang mendesak untuk dilakukan sekarang adalah bagaimana kita bisa memilih dan memilah, mana tradisi yang bisa kita lestarikan dan manfaatkan; dan mana tradisi yang perlu dibuang. Bukankah begitu? [JP]
BATAS KERAMAH-TAMAHAN KRISTEN

“...janganlah kamu menerima dia di dalam rumahmu dan janganlah memberi salam kepadanya. Sebab barangsiapa memberi salam kepadanya, ia mendapat bagian dalam perbuatannya yang jahat.” (2 Yohanes 1:10-11)

Beberapa tahun belakangan marak terjadi kasus penculikan anak. Modus operandinya beragam. Dari yang menyamar sebagai pembantu rumah tangga, berpura-pura sebagai sosok yang baik dan menyayangi anak, hingga modus kekerasan. Tetapi ujung-ujungnya selalu untuk mencelakai si anak dan kemudian mendapatkan keuntungan materi dari orang tuanya dengan meminta tebusan sejumlah uang. Untuk menghadapi problem ini, orang tua pasti punya batas-batas keramahan terhadap orang-orang tak dikenal yang mendekati anaknya. Masalahnya bukan tidak punya kasih, tetapi kalau jiwa anak terancam pasti lain urusannya.

Sahabat, sejak sejarah gereja mula-mula penyesatan telah menjadi masalah yang pelik bagi para rasul. Penyesatan adalah bahaya terbesar bagi sebuah keyakinan iman dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Sepintas, kalau kita amati bacaan ayat di atas, Yohanes bisa terkesan kejam. Tidak bolehkah sekedar memberi salam? Asalkan tidak menerima ajarannya, bukankah tidak menjadi soal? Apalagi bagi kita orang Timur yang mengedepankan sopan santun dan keramah-tamahan; sulit rasanya untuk melaksanakan ayat di atas.

Dari sebuah buku yang saya baca, ada penjelasan menarik terhadap ayat di atas. Keramah-tamahan Kristen harus dihentikan jika bahaya penyesatan kemudian mengancam. Memberi salam dalam konteks Timur Tengah memang berbeda dengan bersalaman dalam budaya Indonesia. Memberi salam bisa berarti mempersilakan mereka masuk, menjamu mereka di meja makan dan membiarkan guru palsu itu mengajarkan ajarannya yang menyimpang. Itulah alasan mengapa memberi salam pun merupakan sebuah bagian dari perbuatannya yang jahat.
Tidak ada larangan untuk bergaul dengan orang yang sesat asal jangan kita menjadi terpengaruh. Kita tidak membenci orangnya, yang kita tolak dengan tegas adalah ajarannya. [JP]

Wednesday, August 27, 2008

HIDUP YANG DINAMIS

Kolose 1:23 – Sebab itu kamu harus bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak bergoncang, dan jangan mau digeser dari pengahrapan Injil, yang telah kamu dengar dan yang telah dikabarkan di seluruh alam di bawah langit, dan yang aku ini, Paulus, telah menjadi pelayannya.

Dalam Paskah tahun ini saya berkesempatan menyampaikan firman Tuhan di sebuah persekutuan wanita di Jakarta. Saya diberkati oleh kesaksian Ibu Louisa Indrawati, wanita yang dicatat MURI sebagai wanita terpendek di Indonesia. Tinggi badannya tak lebih dari 70cm. Tetapi justru karena kekurangan fisiknya itu, mujizat Tuhan dinyatakan.
Ia memiliki suami, selayaknya wanita lain yang dikaruniai tubuh yang sempurna. Ajaibnya lagi, ia juga bisa memiliki keturunan, meski untuk hal itu perjuangan antara hidup dan mati harus ia lakoni.
Tahun lalu ketika saya mendengar kesaksiannya, ia masih berkisah tentang seputar pengalaman awalnya sesudah berjumpa Kristus secara pribadi. Juga tentang bagaimana ia menjalani hidupnya sebagai petobat baru. Tetapi setelah setahun berselang, ada lompatan-lompatan berarti yang ia lakukan.
Jauh di dasar hatinya ia mendengar suara Tuhan memanggilnya untuk membaktikan diri dalam ladang pelayanan. Sebuah panggilan yang awalnya ditolaknya, sebab ia sadar diri bahwa kelemahan fisiknya pasti akan menjadi penghambat utama. Sebuah penolakan yang wajar layaknya Musa atau Yeremia ketika mendapat panggilan senada. Ketiadaan kemampuan berbicara dan usia yang muda menjadi alasan.
Kalau Tuhan memanggil, Ia meneguhkan. Hal yang sama dialami Louisa. Berkali-kali peneguhan Tuhan Ia terima, dan ia tak bisa mengelak. Akhirnya ia memutuskan untuk menjawab ‘ya’. Dari perjumpaan hidup dengan Tuhan lalu menyerahkan hidup kepada Tuhan. Inilah sebuah kehidupan yang dinamis, yang saya harap menjadi ciri hidup kita semua. (JP)

Thursday, July 31, 2008

SANGGUP MISKIN TANPA MENGELUH

Bill Britton mencatat tentang 10 kesanggupan Kristus berkaitan erat dengan karakter Kristus. Salah satu diantaranya adalah kesanggupan untuk menjadi miskin tanpa mengeluh. Kemiskinan, sebagaimana dipaparkan Bill, bukanlah sebuah dosa dan juga bukan hal yang terlalu luar biasa. Kemiskinan juga bukan sebuah bukti kurangnya iman seperti banyak dikatakan orang. Yang paling penting adalah bagaimana berjalan dalam kemenangan meskipun sedang mengalami kemiskinan.

Dari segi posisi, Yesus Kristus jelas memiliki segala-galanya. Ia “memiliki kesetaraan dengan Allah” seperti dicatat Paulus dalam Filipi 2. Tetapi alih-alih mempertahankannya, Yesus lebih mentaati Bapa-Nya dan mengambil rupa seorang manusia yang miskin pula. Tetapi Ia tak pernah mengeluh akan apa yang Ia sudah putuskan sesuai kehendak Bapa-Nya.

Saya jadi ingat niat Presiden SBY untuk menyamar menjadi rakyat biasa agar bisa menumpas pungli yang masih saja terjadi di departemen perhubungan. Ia ingin mengenakan kacamata hitam dan kumis palsu, lalu menumpang sebuah truk yang sering terkenan pungli di berbagai tempat. Malah, SBY ingin naik truk itu dari Surabaya hingga Jakarta. Niat ini sungguh mulia, tetapi apa daya hanya berhenti pada batas wacana. Kalaupun itu jadi dilakukan SBY, ia hanya merasakan sejenak jadi orang miskin.

Tentu berbeda dengan apa yang dilakukan Yesus. Ia tidak gemar berwacana, sebaliknya Ia lebih suka berkarya nyata. Ia rela meninggalkan kemuliaan-Nya untuk menjadi miskin tanpa mengeluh demi keselamatan orang-orang yang percaya kepada-Nya. Ia mengorbankan kepentingan pribadi untuk kepentingan orang banyak. Dicari: orang yang mau meneladani Kristus dalam hal ini! Andakah orangnya? [JP]
YUSUF BILYARTA MANGUNWIJAYA

YB Mangunwijaya adalah sosok pastor fenomenal yang pernah dimiliki umat Katholik di Indonesia. Tapi, rohaniwan yang menulis roman “Burung-burung Manyar” itu bukan hanya milik umat Katholik. Ia telah menjadi milik semua golongan karena pelayanan sosial yang dilakukannya tanpa pandang bulu.

Ia mendirikan sekolah dasar murah di bilangan Kalasan, Jogjakarta. Dengan itu orang-orang miskin bisa mengerti bagaimana rasanya sekolah. Ia mengubah wajah bantaran kali Code yang kumuh menjadi kawasan layak huni. Sebelumnya, wilayah pinggir kali itu tak ubahnya tempat pembuangan sampah yang kotor dan rentan wabah penyakit. Ia juga yang membela orang-orang lemah di Kedung Ombo ketika hak atas tanah mereka dirampas oleh pemerintah Orde Baru yang rakus. Singkatnya, ia adalah figur yang ‘memanusiakan manusia.’

Karena itu waktu Romo Mangun, demikian ia biasa dipanggil, tutup usia; ribuan orang berdiri di pinggir jalan untuk memberi penghormatan terakhir di jalanan kota Jogjakarta. Pastor kelahiran Ambarawa ini telah menunjukkan keberpihakannya kepada orang-orang lemah dan tertindas, meneladani Yesus yang dipercayainya dalam hidupnya. Belas kasihan Yesus yang ditunjukkan-Nya bagi orang-orang miskin, telah menginspirasinya untuk berbuat sesuatu bagi kemaslahatan orang banyak. Hidupnya berguna bukan hanya bagi orang seagama, tetapi bagi sesamanya manusia.

Sahabat, kita bisa melihat sebuah kehidupan yang digerakkan oleh belas kasihan dalam diri Romo Mangun. Di tengah-tengah lingkungan dengan tingkat egoisme yang tinggi, kisah hidupnya bak oase di padang pasir yang amat menyejukkan. Apakah dengan cara pandang yang sama kita melihat orang-orang di sekitar kita? Apakah kesan orang terhadap kita ketika kita dipanggil Tuhan pada saatnya nanti?

Kerinduan kita adalah agar hidup kita berguna bagi semua orang, memberkati semua orang. Dan itu hanya bisa terjadi kalau di dalam hati kita melimpah dengan belas kasihan Yesus. [JP]
PASPAMPRES

“Atau tidak tahukah kamu bahwa, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu,…” (1 Korintus 6:19)

Ada prosedur pengaman yang baku bagi presiden dan wakil presiden, beserta seluruh keluarganya di Indonesia. Mereka akan dilindungi oleh Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) dalam setiap kesempatan, resmi ataupun tidak.

Suatu kali istri saya pergi ke sebuah toko perlengkapan anak untuk membeli pakaian buat anak kami. Di toko sederhana itu ia bertemu dengan Anisa Larasati Pohan, menantu Presiden SBY yang sedang hamil. Rupanya ia sedang membeli perlengkapan bayi untuk persiapan kelahiran anak pertamanya. Suaminya sedang bertugas sebagai anggota pasukan perdamaian PBB di Timur Tengah, jadi tidak bisa menemaninya. Tetapi ia dikawal oleh dua laki-laki berbadan tegap anggota Paspampres meski tidak terlalu mencolok dari segi protokoler. Kehadiran dua orang itu sudah cukup membuat Anisa merasa aman.

Perjalanan kehidupan orang percaya juga mendapat jaminan kehadiran-Nya, meski kadang tidak disadari oleh orang Kristen. Tak sedikit pula yang malah dikuasai ketakutan dalam kehidupannya, padahal yang menyertai adalah Raja di atas segala raja, Pemilik dan Pencipta semesta ini.

Kesadaran akan kehadiran Tuhan, menumbuhkan keberanian untuk melangkah dan menghadapi tantangan. Sadhu Sundar Singh, seorang tokoh Kristen di India, bahkan secara ekstrim menyatakan, “Saya rela tinggal di neraka asalkan ada hadirat Yesus. Sebab neraka dengan kehadiran Yesus akan berubah menjadi surga.” Tentu tak perlu ke neraka untuk mengalami kehadiran Yesus. Dia ada di sekitar Anda dan setia menyertai. Lebih dari itu, Dia bahkan berdiam di dalam Anda. [JP]

KESADARAN AKAN HADIRAT TUHAN MENUMBUHKAN KEBERANIAN UNTUK MELANGKAH DAN MENGHADAPI TANTANGAN
KUASA PENGAMPUNAN

“Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” (Matius 18:22)

Yulia Girsang mengidap insomnia (penyakit susah tidur) sepeninggal suaminya, Ferry Silalahi. Suaminya yang seorang hakim, tewas ditembak ketika pulang kebaktian di Palu, Sulawesi Tengah. Peristiwa yang terjadi depan matanya itu tak pelak membuat Yulia depresi dan menjadi susah tidur. Untuk mengatasinya, ia kemudian memutuskan untuk menjalani konseling. Beberapa waktu lamanya ia dibimbing Julianto Simanjuntak dan Roswita, pasangan hamba Tuhan yang mendalami konseling Kristen.

Ada sesuatu yang istimewa dalam jawaban Yulia ketika ditanya tentang responnya terhadap pembunuh suaminya. “Dari dasar hati yang terdalam, saya sudah mengampuninya,” jawabnya tegas. Bahkan dia punya kerinduan agar bertemu langsung dengan pembunuh suaminya agar bisa mengungkapkan pengampunannya itu. Tuhan mengabulkan keinginannya. Suatu kali ia bertemu dengan penembak suaminya. Sambil memegang pundak terdakwa, Yulia berujar, “Kawan, Tuhan masih memberi kesempatan untuk hidup bagi Anda. Isilah dengan sesuatu yang berguna!”

Banyak kerabat yang tidak suka dengan apa yang Yulia buat. Tetapi ia sudah bulat pada keputusannya. Dan, tahukah Anda Sahabat NK? Sesudah ia mengampuni, ia kembali bisa tidur dengan nyenyak. Yulia pulih dari depresi dan insomnia yang amat mengganggunya selama berminggu-minggu. Semua itu terjadi akibat kuasa pengampunan yang diputuskannya.

Yulia menyadari bahwa ia juga tidak lepas dari kesalahan. Ia juga telah diampuni Tuhan, karenanya ia juga harus mengampuni orang yang bersalah kepadanya. Ia mengikuti apa yang dilakukan Yesus yang juga mengampuni orang-orang yang bersalah kepada-Nya. [JP]

PENGAMPUNAN ADALAH ‘PEMBERIAN’ BAGI DIRI KITA SENDIRI, BUKAN UNTUK ORANG LAIN

Wednesday, July 23, 2008

KUNJUNGAN KERJA KOMISI VIII DPR RI
KE STT KHARISMA - BANDUNG
Ki-Ka: Jantje Haans, Tiurlan, Rubin Adi, Hilman Rosyad

Ki-Ka: Makmur Noor, Hilman Rosyad, Nurul Iman, Tiurlan, Siti Soeparmi

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI “KHARISMA” Bandung mendapatkan kehormatan atas kunjungan Komisi VIII DPR RI pada 23 Juli 2008 silam. Rombongan dipimpin H. Hilman Rosyad Syihab (F-PKS) dan beranggotakan Dra. Chairunnisa, MA., Zulkarnaen Djabar, MA., Drs. H. Mohammad Ichwan Syam (F-PG), Drs. Abdul Hakam Naja, M.Si. (F-PAN), Drs. H. Widada Bujowiryono, Dra. Hj. Siti Soeparmi (F-PDIP), KH. Makmur Noor, H. Safriansah, BA (F-PPP), H. Nurul Iman Mustopa, SH., MA. (F-PD), dan Tiurlan Basaria Hutagaol, S.Th., MA. (F-PDS). Anggota dewan tersebut melakukan kunjungan ke beberapa daerah di Provinsi Jawa Barat selama masa reses. Selain lembaga-lembaga pendidikan, sosial dan keagamaan, STT Kharisma adalah satu-satunya lembaga pendidikan teologi yang disinggahi rombongan.
Dalam sambutannya terhadap kunjungan tersebut, Ketua STT Kharisma Pdt. Rubin Adi Abraham, Th.D. menyatakan bahwa kunjungan ini adalah sebuah bentuk kepedulian anggota dewan terhadap rakyat yang diwakilinya. Selain untuk melihat kondisi riil di lapangan, diharapkan para wakil rakyat tersebut dapat menyerap aspirasi yang berkembang di akar rumput.

Dalam perbincangan singkat, dimunculkan juga aspirasi untuk memperhatikan nasib guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) yang kebanyakan berstatus honorer atau sudah berstatus pegawai negeri sipil (PNS) tetapi ditolak mengajar di institusi pendidikan yang dikelola negara. Alasannya klasik, karena jumlah siswa yang beragama Kristen tidak memenuhi kuota. Menanggapi hal tersebut, H. Hilman Rosyad selaku ketua rombongan dan juga Wk. Ketua Komisi VIII mengakui bahwa pendidikan agama, terutama untuk golongan minoritas, masih relative terpinggirkan. Dalam kesempatan yang sama, Tiurlan Hutagaol menandaskan tentang pentingnya usaha yang berkelanjutan untuk terus memperbaiki pendidikan Kristen meskipun tantangannya besar. Mengakhiri kunjungan tersebut, rombongan berkenan memberikan bantuan dana pendidikan yang diterima oleh Ketua STT Kharisma.

Sehari sebelumnya (22/7), Ketua STT Kharisma juga diundang ke Kantor Gubernur Jawa Barat di Gedung Sate untuk mendampingi Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf (Gubernur dan Wagub Jabar) saat mengadakan audiensi dengan rombongan Komisi VIII DPR RI dengan pimpinan lembaga-lembaga yang akan dikunjungi. ***

Sunday, July 13, 2008

MENGENANG MASA KECIL

Masa kecil adalah keniscayaan dalam perjalanan hidup seseorang. Mengenangnya kembali membuncahkan rasa yang... gimana gitu... Ada getir, lucu, tak sedikit keindahan bahkan olok-olok yang memberi kesempatan kembali untuk berkaca dan menatap masa depan. Sepanjang yang saya ingat, beberapa hal ini identik dan menjadi bagian masa kecil saya...

1. SEPAK BOLA (Jawa: bal-balan). Yang satu ini harus diletakkan di posisi pertama, hehe... Entah bagaimana asalnya, saya jadi amat menggemari bola. Halaman kantor kecamatan Sedayu menjadi tempat biasa saya merumput dengan kawan-kawan setiap sore. Ada Totok, Yanto, Sugiharto, Mas Bowo, Hendri, Ari, Agung, Wahyu dan Ruseno.

2. RENANG (Jawa: adus kali). Tidak ada kolam renang di kampung saya. Jadi jangan membayangkan kolam dengan air jernih dan menyegarkan. Kolam renang terdekat di Umbang Tirto (Kridosono) berjarak 15 km. Karena tidak mungkin berenang di sana, jadilah kali di belakang rumah menjadi medianya. Aktifitas favorit sambil mandi di kali adalah memandikan kerbau Pakdhe Karto, 'polo air' ala cah ndeso atau lomba bertahan tak bernafas di dalam air. Tidak jarang pohon pisang liar di pinggir kali kami jadikan rakit dan kemudian menaikinya dengan berlagak Joko Tarub.

3. KETAPEL (Jawa: plintheng). Ini adalah salah satu jenis alutsista wajib yang dimiliki bocah kecil di kampung saya. Selain untuk berburu burung, bisa juga dipake nyolong mangga tetangga. Pelurunya dari kerikil-kerikil kecil yang mudah didapati di kali atau pinggiran jalan desa. Kebanyakan ketapel kami terbuat dari dahan pohon jambu yang berbentuk huruf 'Y', atau bisa juga dari bambu yang dibentuk sedemikian rupa. Dilengkapi dengan karet pentil dan juga kulit potongan sepatu usang yang tak terpakai.

4. LAYANG-LAYANG (Jawa: layangan). Saya pantas berbangga sedikit untuk yang satu ini. Layang-layang saya hampir tidak pernah kalah diadu dengan milik teman saya. Rahasianya: benang gelasan yang saya miliki made in Kadipiro yang terkenal. Jadi, meski lawan-lawan bermain layangan menggunakan senar sekalipun, layangan saya jarang terkalahkan. Pematang sawah di pinggir kampung menjadi tempat bermain layang-layang yang menyenangkan.

5. ES PUTER (Jawa: es thong-thong). Hampir tidak ada jajanan yang berkeliling di kampung kami kecuali es puter ini. Waktu itu harganya Rp. 25,- jika menggunakan sempe, atau Rp 50,- dengan roti tawar tipis. Saya ingat Suryadi kalau membicarakan es puter. Tetangga sebelah rumah ini suka licik menghabiskan es puternya lebih dulu, lalu meminta sedikit demi sedikit dari es milik teman-temannya yang masih tersisa.

6. MAIN SEPEDA (Jawa: pit-pitan). Saya dan Mas Bowo, sepupu saya, punya sepeda BMX kembar kala itu. Kalau berkesempatan naik sepeda bersama, kami sering berlagak seperti film seri CHIP's di TVRI. Meski tak terlalu jago, tapi bisa juga saya melakukan jumping atau standing waktu bersepeda. Yuli Subagyo, teman SD saya, malah bikin track balap sederhana di samping rumahnya di pinggir kali. Lintasan yang mengitari pepohonan jambu itu tanpa aspal, tetapi asli tanah. Sesudah main sepeda bisa langsung mandi di kali.

Sunday, June 22, 2008

EWUH PEKEWUH

Untunglah Lukas Podolsky dan Guus Hiddink bukan orang Jawa. Andai saja mereka pekewuh dengan bangsanya sendiri, belum tentu Jerman bisa mengalahkan Polandia dan Rusia bisa membantai Belanda di Euro 2008 ini. Dalam hemat saya, mereka berdua telah memainkan dengan cantik peran mereka meski dibelit tuntutan mengedepankan nasionalisme.

Podolsky yang keturunan Polandia tidak pekewuh untuk melesakkan dua gol ke gawang Polandia saat pertandingan pertama dilakoni Jerman di turnamen ini. Mungkin sikap tanpa ekspresi yang ditunjukkan sesaat setelah mencetak gol adalah sebuah 'permohonan maaf'? Kita tidak tahu persis. Guus Hiddink bahkan sudah memukul genderang perang sesaat sebelum Rusia menantang Belanda di perempat final. Ia berujar, "Saya ingin menjadi pengkhianat terbesar Belanda tahun ini." Dan ucapannya itu ia buktikan ketika pasukannya melibas De Oranje 3-1. Sementara pasukan Van Basten tertunduk malu, Hiddink malah asyik berjingkrak dengan squad Rusia.

Menjalani kehidupan ini memang tidak semudah yang dibayangkan. Kadang-kadang kita dibawa pada sebuah posisi dilematis dan pada saat yang sama kita harus menyatakan keberpihakan kita. Kondisi ini lantas melahirkan pameo, "Seperti makan buah simalakama." Tetapi sebagaimana Hiddink dan Podolsky mengambil sebuah keputusan, demikian pula kita akan melakukannya. Ya, suka atau tidak suka...

Thursday, June 12, 2008

RENUNGAN HARIAN "NILAI KEHIDUPAN"
Edisi Juli - Agustus 2008 telah terbit!
Nikmati tema Juli: KERAJAAN ALLAH dan Agustus: KELUARGA
Hubungi redaksi: Jl. BKR 98A-C Bandung (022) 5225786
SMS: 0815 6144 877

Thursday, June 05, 2008

INDONESIA BISA!

Kita tentu pernah mendengar kelakar tentang otak orang Amerika, Jepang dan Indonesia yang dijual. Ketika dipajang di etalase, otak orang Indonesialah yang kelihatan paling bersih dan relatif lebih ‘sempurna.’ Usut punya usut, ternyata karena otak orang Amerika dan Jepang lebih sering dipakai daripada otak orang Indonesia.

Lupakan olok-olok sarkastis itu. Anak-anak muda Indonesia terbukti tidak kalah dari mereka yang berasal dari negara maju. Pada gelaran Olimpiade Fisika Asia (Asian Physics Olympiad – Apho), Adam Badra Cahaya (SMUN 1 Jember), Ruddy Handoko (SMU Sutomo 1 Medan) dan Kevin Winata (SMUK BPK Penabur 1 Jakarta) meraih medali emas. Penghargaan tidak berhenti di situ karena beberapa orang muda yang lain meraih medali perak dan juga bentuk penghargaan yang lain. Bahkan dalam Olimpiade Fisika Internasional tahun lalu, remaja-remaja Indonesia juga berhasil menyabet medali emas.

Di tengah ruwetnya penuntasan kasus korupsi yang seakan tak berujung, kita masih menaruh harapan untuk perbaikan negeri ini ke depan. Masih ada orang-orang yang meraih prestasi dalam kondisi yang serba susah ini. Masih muncul anak-anak bangsa yang membersitkan harapan di tengah keterpurukan.

Bagaimana dengan kekristenan kita? Kiranya semangat anak-anak muda di atas menginspirasi kita juga untuk membuat bangsa ini lebih baik. Kita memang hanya ‘mampir sementara’ di negeri ini. Tetapi kalau Tuhan mengijinkan demikian, pasti ada sebuah rencana yang diberikan kepada kita. Kita merindukan lebih banyak lagi anak-anak Tuhan yang tampil menjadi saksi dengan prestasi di masing-masing bidang kehidupan. [JP]
BERKARYA DALAM KETERBATASAN

Siapa tak kenal Ir. Soekarno? Salah satu founding father republik ini dikenal sebagai seorang orator yang andal. Setiap berpidato di depan massa, semangat yang berkobar seolah bisa ia transferkan ke sanubari pendengarnya. Ia dikenal juga sebagai penulis buku ‘Di Bawah Bendera Revolusi’ yang legendaris itu.

Buku itu ternyata tidak lahir dari meja kantornya. Beberapa bagian tulisan di dalamnya ternyata ditulis di Penjara Banceuy – Bandung, nun di 1930. Di selnya terdapat sebuah kaleng yang berfungsi ganda, tempat buang hajat sekaligus tempat menuangkan pikiran. Setiap pagi ia membersihkan kaleng pesing itu dan setelah kering menggunakannya untuk papan atau landasan menuliskan ide-ide cemerlangnya. Lalu lahirlah sebuah karya pembelaan yang menuturkan penderitaan bangsanya setelah tiga setengah abad dijajah Belanda. Pledoi itu lantas diberi tajuk: Indonesia Menggugat!

Siapa bilang keterbetasan membunuh kreativitas? Dalam kasus Soekarno di atas, keterbatasan malah memantik api kreativitas. Kita kadang-kadang membuat keterbatasan sebagai alasan untuk tidak menghasilkan sesuatu. Yang paling sering justru meratapi keterbatasan itu, dan celakanya, kita lantas mencari kambing hitam.

Bercermin dari pengalaman Soekarno di era revolusi tadi, kita banyak belajar tentang bagaimana caranya memanfaatkan apa yang ada untuk menghasilkan karya. Karena itu daripada meratapi nasib, adalah jauh lebih baik kalau kita menggunakan keterbatasan kita sebagai energi yang besar untuk berkarya nyata. [JP]
YANG MAHAL BELUM TENTU BAGUS

Tahukah Anda bahwa dalam tahun 2008 ini saja, diselenggarakan 159 pilkada di 13 provinsi, 112 kabupaten dan 35 kota di Indonesia? Itu artinya jika dirata-rata, dalam setahun ini setiap tiga hari, orang Indonesia mengikuti pilkada yang digelar di berbagai daerah. Besarnya proses pesta domokrasi ini tentu berujung pada membengkaknya biaya penyelenggaraannya. Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan menyatakan bahwa pemilu di Indonesia adalah pemilu termahal di dunia. Untuk ongkos pilkada saja, uang yang ‘dibuang’ telah mencapai angka Rp 45 trilyun. Wuiihhh…. Belum lagi nanti akan disambung dengan Pemilu 2009. Dana itu biasanya paling banyak tersedot untuk kepentingan kampanye.

Negeri ini memang penuh ironi. Di tengah terpuruknya kondisi perekonomian, uang dihamburkan dengan hasil yang kadang-kadang tidak jelas juntrungannya. Pemimpin yang terpilih dengan ongkos yang mahal itu, belum lagi kalau harus ditambah korban jiwa, belum tentu sesuai harapan pemilihnya. Ongkos yang mahal ternyata tidak selalu menjamin kualitas yang didapatkan.

Dalam kondisi serba sulit seperti ini, Tuhan memberi kita hikmat agar tidak mengunakan uang dengan sembarangan. Penggunaan uang untuk mendapatkan sesuatu, tidak hanya berdasarkan mahalnya sebuah barang. Mungkin yang paling tepat adalah meletakkan kebutuhan pada priorotas utama. Jika memang itu dibutuhkan, dengan harga yang mahal pun akan kita usahakan. Jangan sampai terjebak pada keinginan sementara yang biasanya cenderung menjadi awal dari penyesalan kita. Di atas itu semua, jika kita prioritaskan Tuhan dan kerajaan-Nya, Dia akan memenuhi kebutuhan hidup kita. [JP]

Sunday, June 01, 2008

SEPUCUK SURAT UNTUK FEN...

Fen... ijinkan suamimu menulis surat terbuka ini. Tentu engkau mengerti jika sebentar lagi Euro 2008 dimulai. Itu berarti aku harus begadang lagi. Memang kau bisa membelikanku bola untuk kumainkan dengan Jery, tapi ini beda Fen. Ini pesta sepak bola terbesar kedua setelah Piala Dunia. Apalagi turnamen ini muncul 'hanya' empat tahun sekali. Dan, ini tidak akan mengganggu jadwalku mengantarmu berbelanja keperluan bulanan rumah tangga kita.

Banyak pertandingan akan berlangsung tengah malam waktu Indonesia Fen. Jadi kau bisa tidur nyaman dan akau janji ngga akan teriak-teriak. Aku pasti nonton sendiri Fen. Akupun tidak akan menyaksikan setiap pertandingannya. Apalagi Inggris, kesebelasan favoritku, tidak masuk dalam babak final. Tinggal Italia dan juga Portugal mungkin yang paling menarik perhatianku.

Kau tak perlu cemburu Fen. Cintaku padamu tak akan luntur dan kuberikan kepada bola. Ini hanya sekedar hoby sejak kecil, jauh sebelum aku mengenal kamu. Dulu aku bermain bola di jalanan kampung atau di depan kantor kecamatan. Yah, kalau sekarang bisa menyaksikan pertandingan kelas dunia, ijinkanlah suamimu ini Fen...

Terima kasih untuk pengertianmu Fen...

Thursday, May 22, 2008

APA YANG KALIAN CARI?

Memancing di air keruh! Barangkali pameo ini tepat untuk menggambarkan sepak terjang Jendral (Purn) Wiranto belakangan ini. Wajahnya kerap menghiasi halaman media cetak dan elektronik untuk mempertanyakan komitmen kerakyatan SBY karena berencana menaikkan harga BBM.

Sudah menjadi rahasia umum kalau pendiri Hanura ini mau maju di Pilpres 2009. Sebagai warga negara, tentu dia berhak melakukannya. Jauh-jauh hari tentu ia harus mengoleksi dukungan. Tak pelak, baliho-baliho raksasa yang memajang foto mantan Pangab ini tersebar di seantero negeri. "Saya bersumpah mengabdikan sisa hidup... bla..bla..bla..." begitu komitmennya. Sampai di situ kita bisa melihat sebuah dedikasi anak bangsa.

Tetapi begitu black campaign terhadap SBY dilakukannya menjelang kenaikan harga BBM, rasanya simpati terhadap Wiranto justru memudar. Bagi saya ini blunder. Wiranto mencari simpati dengan aksi yang tidak simpatik sama sekali. Meskipun SBY (dan Kalla) mengingkari janji, membongkar aib secara terang-terangan juga bukan tindakan terpuji. Kita tidak bisa membayangkan jika ke depan bangsa ini dipimpin oleh sosok yang hanya bisa memanfaatkan kelemahan orang lain demi kepentingan pribadi.

Yang lebih 'soft' mempromosikan diri kepada khalayak mungkin Sutrisno Bachir dan Prabowo. Trisno memanfaatkan momentum seabad harkitnas untuk 'jual diri' menjelang Pilpres 2009 dengan "Hidup adalah Perbuatan"-nya. Sedang Prabowo mengusung 'pesan' dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia. Tapi ya itu tadi, semuanya dalam rangka unjuk gigi untuk sesuatu yang tidak jelas juntrungannya.

Tentu Wiranto, Sutrisno dan Prabowo harus merogoh kocek untuk pasang iklan di media itu. Seandainya uang itu diberikan saja untuk Pak Min dan Mbok Yem yang sedang membutuhkannya, tidakkah itu lebih menolong? Mereka butuh beras dan tambahan biaya sekolah untuk anak mereka. Bukankah lebih elegan jika popularitas didapatkan dari sebuah aksi nyata, meskipun kecil kelihatanya, daripada popularitas karena menohok lawan politik? Apa yang kau cari????***