Tuesday, December 12, 2006

Untuk Sahabat
Ki SUYITO BASUKI, M.Th.

Pertemuanku dengan Suyito Basuki (aku memanggilnya Pak Bas) terjadi di kelas Bahasa Indonesia ketika aku nyantrik di STII Jogja. Awalnya memang tidak ada yang istimewa dalam diri Pak Bas. Cara mengajarnya biasa-biasa saja, bahkan menurut beberapa teman cenderung membosankan. Gaya bicaranya juga datar.

Pertemuan berikutnya terjadi di kelas Bahasa Ibrani. Kali ini kurasakan perbedaan pada suami Bu Tuti ini. Ia lebih ‘centil’ dan mencoba untuk membuat Bahasa Ibrani menjadi menyenangkan. Dan ia berhasil. Meski tugas yang harus dikerjakan bejibun, tapi kelas ini menjadi sesuatu yang kuharap kehadirannya. Susana belajar-mengajar jadi lebih cair.

Saat aku aktif di senat mahasiswa bagian Publikasi, Humas dan Dokumentasi (PHD), salah satu tanggung jawabku adalah mengelola majalah dinding kampus. Pak Bas adalah salah satu penyumbang tulisan tetap di mading itu. Beberapa tulisannya yang masih kuingat adalah “Casper” yang mengulas tentang tidak ada hantu yang baik hati (satanologi). Juga “Eufemisme” yang mengangkat tentang sebuah kecenderungan berbahasa.

Lepas dari mading, Pak Bas menawariku untuk terlibat dalam pengelolaan Dinamika Pelayanan, buletin internal di kampusku. Awalnya aku ditugaskan menjadi bagian sirkulasi. Tetapi suatu kali Pak Bas memberiku kesempatan untuk menulis, meski awalnya hanya menulis pada rubrik kronika pelayanan (news).

Sejak itu hubunganku dengan Pak Bas menjadi semakin dekat. Selera makan pun sama. Kami sama-sama penggemar mie ayam dan tongseng. Jika ada ‘berkat’ mampir, agenda untuk makan mie ayam di depan kampus atau tongseng di pinggir selokan Mataram pasti tak terlewat. Kadang aku yang nraktir, tapi pasti lebih sering Pak Bas yang merogoh koceknya.

Pak Bas menaruh perhatian serius terhadap budaya lokal. Ia amat menggemari campur sari. Kala itu radio di Jogja yang rutin menyiarkan campur sari adalah Radio GCD di Bukit Pathuk, Gunung Kidul. Selepas makan siang, Pak Bas selalu stay tune untuk menikmati campur sari. Ia juga begitu menggemari wayang. Saking getolnya terhadap wayang, nama putra-putrinya selalu berbau wayang. Ada Woro Sembodro dan juga Muso Sadewo (maaf Pak, yang ketiga dan keempat saya lupa namanya). Sambil menyelesaikan studi pasca sarjananya pada program M.Th., ia juga menjadi siswa di Pawiyatan Habirandha, sekolah pedhalangan di Keraton Yogyakarta. Ketika ia lulus dari dua sekolah yang berbeda jalur itu, jadilah ia menyandang gelar ‘Ki’ dan ‘M.Th.’
Kini ia ‘madeg pandhita’ di GITJ Kedung Penjalin – Jepara. Kabarnya ia telah memiliki mobil pribadi dan menyetirnya sendiri. Lalu, dimana Honda 70 merah yang bersejarah itu Pak Bas?*** [Ngaturaken Sugeng Natal Pak. Mugi sih rahmatipun Gusti Yesus tansah paring kekiyatan kagem Pak Bas lan sedaya kulawarga. Amin]
Christmas Is Coming!
NYANYIAN PUJIAN MARIA

Apakah yang paling banyak menarik perhatian orang Kristen ketika bulan Desember tiba? Tidak ada jawaban lain, kecuali: NATAL. Hari besar Kristen yang diperingati serentak di seluruh belahan dunia ini memang memiliki “magnet” tersendiri. Cobalah pergi ke pusat-pusat perbelanjaan. Lagu-lagu Natal dalam berbagai versi dikumandangkan, pohon terang dengan segala bentuk aksesorisnya dipasang di sudut-sudut pertokoan. Bahkan sampai di rumah-rumah gubug sekalipun. Perlengkapan yang berkenaan dengan Natal juga terlihat dijual di toko-toko. Semua untuk satu hal: NATAL.

Kesibukan dan aktifitas semacam itu terus berlangsung dari tahun ke tahun. Tidak salah memang, tetapi coba kita renungkan lebih dalam tentang sampai sejauh mana kita telah memberi makna terhadap Natal itu sendiri? Tidak sedikit orang Kristen yang hanya memahami Natal sebatas pohon terang, baju baru dan berkaleng-keleng kue. Atau dengan rangkaian perayaan yang megah dan spektakuler. Ada nyanyian, pentas drama kolosal dan pertunjukan yang menarik. Semua yang disebut tadi memang identik dengan Natal, tetapi sayang sekali jika Natal hanya dimaknai sedangkal itu. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai kesempatan untuk berhura-hura, toh hanya terjadi setahun sekali.

Berita Natal yang diterima oleh Maria 2000 tahun yang lalu memang telah banyak bergeser maknanya. Seorang Malaikat datang kepada tunangan Yusuf itu dan menyampaikan bahwa ia akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian akan menjadi Juruselamat dunia. Berita itu sempat membuat “shock” Maria, tetapi akhirnya ia sampai kepada keputusan, “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataan itu” (Luk 1:38). Dan Maria menjadi teladan yang baik tentang bagaimana seharusnya seorang Kristen menyambut dan memaknai Natal. Simaklah nyanyian pujian yang dinaikkan Maria dalam Lukas 1:46-55. Di dalamnya ditemukan rangkaian pujian tentang pribadi Allah yang berkenan memakai dia sebagai alatNya.

Allah adalah Juruselamat
Ratusan, bahkan ribuan tahun lamanya, banyak orang menantikan kegenapan janji tentang Mesias yang akan datang membebaskan umatNya. Keyakinan tentang Pribadi Allah sebagai Juruselamat muncul dari seorang perawan sederhana ini. Tidak datang dari pengakuan para Rabbi, Ahli Taurat atau para Imam. Keyakinan tentang Allah sebagai Juruselamat ini pulalah yang seharusnya menjadi tema sentral dalam setiap perayaan Natal.

Apalah artinya sepasang baju baru dan berkaleng-keleng kue jika dibandingkan dengan kebenaran bahwa Allah adalah Juruselamat. Alangkah kecil dan dangkal bukan? Maria sadar betul bahwa Allah adalah Juruselamat yang akan membebaskannya. Sikap dan tindakan seperti Maria ini seharusnya menjadi sikap dan tindakan kita juga setiap merayakan Natal.

Pujian yang kita naikkan kepada Allah tidak berangkat dari alasan bahwa kita bisa merasakan kesenangan-kesenangan tertentu ketika Natal tiba. Tetapi jauh di dasar hati kita, seharusnya timbul pengakuan bahwa Allahlah Juruselamat kita. Yesus Kristus yang datang itu, membawa kelepasan dan keselamatan bagi kita atas setiap dosa yang membelenggu kita. Hukuman yang dijatuhkan sebagai konsekuensi atas dosa dan kesalahan kita, telah dicabut oleh Yesus yang datang sebagai Juruselamat.

Allah Mahakuasa
Fakta bahwa Allah adalah Pribadi yang Mahakuasa telah menjadi kesaksian pribadi Maria. Adalah sebuah kesulitan baginya untuk menyanggupi maksud Tuhan yang disampaikan kepadanya melalui pesan Malaikat Gabriel. Betapa tidak? Ada konsekuensi yang teramat berat jika kemudian dia diketahui mengandung sebelum menikah. Resikonya adalah dikucilkan di dalam masyarakatnya dan bahkan bisa mati dihukum rajam. Yusuf, tunangannya pun bisa bereaksi negatif atas kehamilannya. Belum habis berpikir masalah itu, Maria tentu berpikir tentang bagaimana ia bisa mengandung tanpa kehadiran seorang suami.

Keraguan secara manusiawi semacam itu tentu saja dialami Maria. Tetapi kenyataan itu tidak menggeser sebuah kebenaran bahwa tidak ada hal yang mustahil bagi Allah (Luk 1:37). Sifat Allah yang Mahakuasa inilah yang diakui Maria di dalam pujian yang dinaikkan kepadaNya (Luk 1:49). Perbuatan-perbutan besarNya telah dirasakan oleh Maria dalam pegalaman pribadinya. Ia tidak hanya mengakui bahwa Allah itu Mahakuasa, tetapi ia telah benar-benar merasakannya.

Bukankah sekarang banyak orang Kristen yang mengakui bahwa Allah Mahakuasa tanpa mengalami sendiri kemahakuasaanNya? Sayang sekali. Bagi Maria, kemahakuasaan Allah bukanlah sebuah teori, tetapi sebuah kebenaran yang menjadi pengalaman di dalam hidupnya.

Allah yang Setia
Lukas 1:50 mencatat tentang sebuah fakta bahwa rahmatNya diterima turun-temurun oleh orang yang takut akan Dia. Bagian ini berbicara tentang kesetiaan Allah. Sejak lama, Allah menjanjikan datangnya seorang Penyelamat yang akan menghapuskan dosa seisi dunia. Banyak orang yang tidak sabar terhadap realisasi janji itu, atau bahkan menganggapnya sebagai sebuah isapan jempol.

Tidaklah demikian bagi orang-orang yang tetap menanti-nantikan janji Tuhan? Ia tetaplah Tuhan yang tidak lalai menepati janjiNya. Kasih sayang dan rahmatNya bagi dunia yang sudah dijanjikanNya sejak semula, terbukti nyata di dalam peristiwa Natal.

Dengan apakah kita akan memaknai Natal? Bukankah lebih bermakna jika kita mengingat lagi bahwa Allah adalah Juruselamat? Atau terus menerus mengharapkan perbuatan-perbuatan besarNya atas setiap masalah kita? Atau merasakan besar kesetiaanNya? Dan bukankah hal-hal tersebut tidak bisa digantikan dengan sepotong baju baru dan sekaleng kue? Selamat Natal!***