Untuk Sahabat
Ki SUYITO BASUKI, M.Th.
Pertemuanku dengan Suyito Basuki (aku memanggilnya Pak Bas) terjadi di kelas Bahasa Indonesia ketika aku nyantrik di STII Jogja. Awalnya memang tidak ada yang istimewa dalam diri Pak Bas. Cara mengajarnya biasa-biasa saja, bahkan menurut beberapa teman cenderung membosankan. Gaya bicaranya juga datar.
Pertemuan berikutnya terjadi di kelas Bahasa Ibrani. Kali ini kurasakan perbedaan pada suami Bu Tuti ini. Ia lebih ‘centil’ dan mencoba untuk membuat Bahasa Ibrani menjadi menyenangkan. Dan ia berhasil. Meski tugas yang harus dikerjakan bejibun, tapi kelas ini menjadi sesuatu yang kuharap kehadirannya. Susana belajar-mengajar jadi lebih cair.
Saat aku aktif di senat mahasiswa bagian Publikasi, Humas dan Dokumentasi (PHD), salah satu tanggung jawabku adalah mengelola majalah dinding kampus. Pak Bas adalah salah satu penyumbang tulisan tetap di mading itu. Beberapa tulisannya yang masih kuingat adalah “Casper” yang mengulas tentang tidak ada hantu yang baik hati (satanologi). Juga “Eufemisme” yang mengangkat tentang sebuah kecenderungan berbahasa.
Lepas dari mading, Pak Bas menawariku untuk terlibat dalam pengelolaan Dinamika Pelayanan, buletin internal di kampusku. Awalnya aku ditugaskan menjadi bagian sirkulasi. Tetapi suatu kali Pak Bas memberiku kesempatan untuk menulis, meski awalnya hanya menulis pada rubrik kronika pelayanan (news).
Sejak itu hubunganku dengan Pak Bas menjadi semakin dekat. Selera makan pun sama. Kami sama-sama penggemar mie ayam dan tongseng. Jika ada ‘berkat’ mampir, agenda untuk makan mie ayam di depan kampus atau tongseng di pinggir selokan Mataram pasti tak terlewat. Kadang aku yang nraktir, tapi pasti lebih sering Pak Bas yang merogoh koceknya.
Pak Bas menaruh perhatian serius terhadap budaya lokal. Ia amat menggemari campur sari. Kala itu radio di Jogja yang rutin menyiarkan campur sari adalah Radio GCD di Bukit Pathuk, Gunung Kidul. Selepas makan siang, Pak Bas selalu stay tune untuk menikmati campur sari. Ia juga begitu menggemari wayang. Saking getolnya terhadap wayang, nama putra-putrinya selalu berbau wayang. Ada Woro Sembodro dan juga Muso Sadewo (maaf Pak, yang ketiga dan keempat saya lupa namanya). Sambil menyelesaikan studi pasca sarjananya pada program M.Th., ia juga menjadi siswa di Pawiyatan Habirandha, sekolah pedhalangan di Keraton Yogyakarta. Ketika ia lulus dari dua sekolah yang berbeda jalur itu, jadilah ia menyandang gelar ‘Ki’ dan ‘M.Th.’
Kini ia ‘madeg pandhita’ di GITJ Kedung Penjalin – Jepara. Kabarnya ia telah memiliki mobil pribadi dan menyetirnya sendiri. Lalu, dimana Honda 70 merah yang bersejarah itu Pak Bas?*** [Ngaturaken Sugeng Natal Pak. Mugi sih rahmatipun Gusti Yesus tansah paring kekiyatan kagem Pak Bas lan sedaya kulawarga. Amin]
Perjumpaanku dengan pribadi-pribadi dan permenunganku atas rentetan peristiwa...
Tuesday, December 12, 2006
Christmas Is Coming!
NYANYIAN PUJIAN MARIA
Apakah yang paling banyak menarik perhatian orang Kristen ketika bulan Desember tiba? Tidak ada jawaban lain, kecuali: NATAL. Hari besar Kristen yang diperingati serentak di seluruh belahan dunia ini memang memiliki “magnet” tersendiri. Cobalah pergi ke pusat-pusat perbelanjaan. Lagu-lagu Natal dalam berbagai versi dikumandangkan, pohon terang dengan segala bentuk aksesorisnya dipasang di sudut-sudut pertokoan. Bahkan sampai di rumah-rumah gubug sekalipun. Perlengkapan yang berkenaan dengan Natal juga terlihat dijual di toko-toko. Semua untuk satu hal: NATAL.
Kesibukan dan aktifitas semacam itu terus berlangsung dari tahun ke tahun. Tidak salah memang, tetapi coba kita renungkan lebih dalam tentang sampai sejauh mana kita telah memberi makna terhadap Natal itu sendiri? Tidak sedikit orang Kristen yang hanya memahami Natal sebatas pohon terang, baju baru dan berkaleng-keleng kue. Atau dengan rangkaian perayaan yang megah dan spektakuler. Ada nyanyian, pentas drama kolosal dan pertunjukan yang menarik. Semua yang disebut tadi memang identik dengan Natal, tetapi sayang sekali jika Natal hanya dimaknai sedangkal itu. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai kesempatan untuk berhura-hura, toh hanya terjadi setahun sekali.
Berita Natal yang diterima oleh Maria 2000 tahun yang lalu memang telah banyak bergeser maknanya. Seorang Malaikat datang kepada tunangan Yusuf itu dan menyampaikan bahwa ia akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian akan menjadi Juruselamat dunia. Berita itu sempat membuat “shock” Maria, tetapi akhirnya ia sampai kepada keputusan, “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataan itu” (Luk 1:38). Dan Maria menjadi teladan yang baik tentang bagaimana seharusnya seorang Kristen menyambut dan memaknai Natal. Simaklah nyanyian pujian yang dinaikkan Maria dalam Lukas 1:46-55. Di dalamnya ditemukan rangkaian pujian tentang pribadi Allah yang berkenan memakai dia sebagai alatNya.
Allah adalah Juruselamat
Ratusan, bahkan ribuan tahun lamanya, banyak orang menantikan kegenapan janji tentang Mesias yang akan datang membebaskan umatNya. Keyakinan tentang Pribadi Allah sebagai Juruselamat muncul dari seorang perawan sederhana ini. Tidak datang dari pengakuan para Rabbi, Ahli Taurat atau para Imam. Keyakinan tentang Allah sebagai Juruselamat ini pulalah yang seharusnya menjadi tema sentral dalam setiap perayaan Natal.
Apalah artinya sepasang baju baru dan berkaleng-keleng kue jika dibandingkan dengan kebenaran bahwa Allah adalah Juruselamat. Alangkah kecil dan dangkal bukan? Maria sadar betul bahwa Allah adalah Juruselamat yang akan membebaskannya. Sikap dan tindakan seperti Maria ini seharusnya menjadi sikap dan tindakan kita juga setiap merayakan Natal.
Pujian yang kita naikkan kepada Allah tidak berangkat dari alasan bahwa kita bisa merasakan kesenangan-kesenangan tertentu ketika Natal tiba. Tetapi jauh di dasar hati kita, seharusnya timbul pengakuan bahwa Allahlah Juruselamat kita. Yesus Kristus yang datang itu, membawa kelepasan dan keselamatan bagi kita atas setiap dosa yang membelenggu kita. Hukuman yang dijatuhkan sebagai konsekuensi atas dosa dan kesalahan kita, telah dicabut oleh Yesus yang datang sebagai Juruselamat.
Allah Mahakuasa
Fakta bahwa Allah adalah Pribadi yang Mahakuasa telah menjadi kesaksian pribadi Maria. Adalah sebuah kesulitan baginya untuk menyanggupi maksud Tuhan yang disampaikan kepadanya melalui pesan Malaikat Gabriel. Betapa tidak? Ada konsekuensi yang teramat berat jika kemudian dia diketahui mengandung sebelum menikah. Resikonya adalah dikucilkan di dalam masyarakatnya dan bahkan bisa mati dihukum rajam. Yusuf, tunangannya pun bisa bereaksi negatif atas kehamilannya. Belum habis berpikir masalah itu, Maria tentu berpikir tentang bagaimana ia bisa mengandung tanpa kehadiran seorang suami.
Keraguan secara manusiawi semacam itu tentu saja dialami Maria. Tetapi kenyataan itu tidak menggeser sebuah kebenaran bahwa tidak ada hal yang mustahil bagi Allah (Luk 1:37). Sifat Allah yang Mahakuasa inilah yang diakui Maria di dalam pujian yang dinaikkan kepadaNya (Luk 1:49). Perbuatan-perbutan besarNya telah dirasakan oleh Maria dalam pegalaman pribadinya. Ia tidak hanya mengakui bahwa Allah itu Mahakuasa, tetapi ia telah benar-benar merasakannya.
Bukankah sekarang banyak orang Kristen yang mengakui bahwa Allah Mahakuasa tanpa mengalami sendiri kemahakuasaanNya? Sayang sekali. Bagi Maria, kemahakuasaan Allah bukanlah sebuah teori, tetapi sebuah kebenaran yang menjadi pengalaman di dalam hidupnya.
Allah yang Setia
Lukas 1:50 mencatat tentang sebuah fakta bahwa rahmatNya diterima turun-temurun oleh orang yang takut akan Dia. Bagian ini berbicara tentang kesetiaan Allah. Sejak lama, Allah menjanjikan datangnya seorang Penyelamat yang akan menghapuskan dosa seisi dunia. Banyak orang yang tidak sabar terhadap realisasi janji itu, atau bahkan menganggapnya sebagai sebuah isapan jempol.
Tidaklah demikian bagi orang-orang yang tetap menanti-nantikan janji Tuhan? Ia tetaplah Tuhan yang tidak lalai menepati janjiNya. Kasih sayang dan rahmatNya bagi dunia yang sudah dijanjikanNya sejak semula, terbukti nyata di dalam peristiwa Natal.
Dengan apakah kita akan memaknai Natal? Bukankah lebih bermakna jika kita mengingat lagi bahwa Allah adalah Juruselamat? Atau terus menerus mengharapkan perbuatan-perbuatan besarNya atas setiap masalah kita? Atau merasakan besar kesetiaanNya? Dan bukankah hal-hal tersebut tidak bisa digantikan dengan sepotong baju baru dan sekaleng kue? Selamat Natal!***
NYANYIAN PUJIAN MARIA
Apakah yang paling banyak menarik perhatian orang Kristen ketika bulan Desember tiba? Tidak ada jawaban lain, kecuali: NATAL. Hari besar Kristen yang diperingati serentak di seluruh belahan dunia ini memang memiliki “magnet” tersendiri. Cobalah pergi ke pusat-pusat perbelanjaan. Lagu-lagu Natal dalam berbagai versi dikumandangkan, pohon terang dengan segala bentuk aksesorisnya dipasang di sudut-sudut pertokoan. Bahkan sampai di rumah-rumah gubug sekalipun. Perlengkapan yang berkenaan dengan Natal juga terlihat dijual di toko-toko. Semua untuk satu hal: NATAL.
Kesibukan dan aktifitas semacam itu terus berlangsung dari tahun ke tahun. Tidak salah memang, tetapi coba kita renungkan lebih dalam tentang sampai sejauh mana kita telah memberi makna terhadap Natal itu sendiri? Tidak sedikit orang Kristen yang hanya memahami Natal sebatas pohon terang, baju baru dan berkaleng-keleng kue. Atau dengan rangkaian perayaan yang megah dan spektakuler. Ada nyanyian, pentas drama kolosal dan pertunjukan yang menarik. Semua yang disebut tadi memang identik dengan Natal, tetapi sayang sekali jika Natal hanya dimaknai sedangkal itu. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai kesempatan untuk berhura-hura, toh hanya terjadi setahun sekali.
Berita Natal yang diterima oleh Maria 2000 tahun yang lalu memang telah banyak bergeser maknanya. Seorang Malaikat datang kepada tunangan Yusuf itu dan menyampaikan bahwa ia akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian akan menjadi Juruselamat dunia. Berita itu sempat membuat “shock” Maria, tetapi akhirnya ia sampai kepada keputusan, “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataan itu” (Luk 1:38). Dan Maria menjadi teladan yang baik tentang bagaimana seharusnya seorang Kristen menyambut dan memaknai Natal. Simaklah nyanyian pujian yang dinaikkan Maria dalam Lukas 1:46-55. Di dalamnya ditemukan rangkaian pujian tentang pribadi Allah yang berkenan memakai dia sebagai alatNya.
Allah adalah Juruselamat
Ratusan, bahkan ribuan tahun lamanya, banyak orang menantikan kegenapan janji tentang Mesias yang akan datang membebaskan umatNya. Keyakinan tentang Pribadi Allah sebagai Juruselamat muncul dari seorang perawan sederhana ini. Tidak datang dari pengakuan para Rabbi, Ahli Taurat atau para Imam. Keyakinan tentang Allah sebagai Juruselamat ini pulalah yang seharusnya menjadi tema sentral dalam setiap perayaan Natal.
Apalah artinya sepasang baju baru dan berkaleng-keleng kue jika dibandingkan dengan kebenaran bahwa Allah adalah Juruselamat. Alangkah kecil dan dangkal bukan? Maria sadar betul bahwa Allah adalah Juruselamat yang akan membebaskannya. Sikap dan tindakan seperti Maria ini seharusnya menjadi sikap dan tindakan kita juga setiap merayakan Natal.
Pujian yang kita naikkan kepada Allah tidak berangkat dari alasan bahwa kita bisa merasakan kesenangan-kesenangan tertentu ketika Natal tiba. Tetapi jauh di dasar hati kita, seharusnya timbul pengakuan bahwa Allahlah Juruselamat kita. Yesus Kristus yang datang itu, membawa kelepasan dan keselamatan bagi kita atas setiap dosa yang membelenggu kita. Hukuman yang dijatuhkan sebagai konsekuensi atas dosa dan kesalahan kita, telah dicabut oleh Yesus yang datang sebagai Juruselamat.
Allah Mahakuasa
Fakta bahwa Allah adalah Pribadi yang Mahakuasa telah menjadi kesaksian pribadi Maria. Adalah sebuah kesulitan baginya untuk menyanggupi maksud Tuhan yang disampaikan kepadanya melalui pesan Malaikat Gabriel. Betapa tidak? Ada konsekuensi yang teramat berat jika kemudian dia diketahui mengandung sebelum menikah. Resikonya adalah dikucilkan di dalam masyarakatnya dan bahkan bisa mati dihukum rajam. Yusuf, tunangannya pun bisa bereaksi negatif atas kehamilannya. Belum habis berpikir masalah itu, Maria tentu berpikir tentang bagaimana ia bisa mengandung tanpa kehadiran seorang suami.
Keraguan secara manusiawi semacam itu tentu saja dialami Maria. Tetapi kenyataan itu tidak menggeser sebuah kebenaran bahwa tidak ada hal yang mustahil bagi Allah (Luk 1:37). Sifat Allah yang Mahakuasa inilah yang diakui Maria di dalam pujian yang dinaikkan kepadaNya (Luk 1:49). Perbuatan-perbutan besarNya telah dirasakan oleh Maria dalam pegalaman pribadinya. Ia tidak hanya mengakui bahwa Allah itu Mahakuasa, tetapi ia telah benar-benar merasakannya.
Bukankah sekarang banyak orang Kristen yang mengakui bahwa Allah Mahakuasa tanpa mengalami sendiri kemahakuasaanNya? Sayang sekali. Bagi Maria, kemahakuasaan Allah bukanlah sebuah teori, tetapi sebuah kebenaran yang menjadi pengalaman di dalam hidupnya.
Allah yang Setia
Lukas 1:50 mencatat tentang sebuah fakta bahwa rahmatNya diterima turun-temurun oleh orang yang takut akan Dia. Bagian ini berbicara tentang kesetiaan Allah. Sejak lama, Allah menjanjikan datangnya seorang Penyelamat yang akan menghapuskan dosa seisi dunia. Banyak orang yang tidak sabar terhadap realisasi janji itu, atau bahkan menganggapnya sebagai sebuah isapan jempol.
Tidaklah demikian bagi orang-orang yang tetap menanti-nantikan janji Tuhan? Ia tetaplah Tuhan yang tidak lalai menepati janjiNya. Kasih sayang dan rahmatNya bagi dunia yang sudah dijanjikanNya sejak semula, terbukti nyata di dalam peristiwa Natal.
Dengan apakah kita akan memaknai Natal? Bukankah lebih bermakna jika kita mengingat lagi bahwa Allah adalah Juruselamat? Atau terus menerus mengharapkan perbuatan-perbuatan besarNya atas setiap masalah kita? Atau merasakan besar kesetiaanNya? Dan bukankah hal-hal tersebut tidak bisa digantikan dengan sepotong baju baru dan sekaleng kue? Selamat Natal!***
Wednesday, November 29, 2006
TIDAK PERLU GENGSI
“Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya” (Galatia 5:24)
Tergiur iklan yang dilancarkan produsen Jepang, orang Eskimo terpikat untuk membeli lemari es. Awalnya mereka menertawakan orang Jepang, “anda jualan lemari es, kami gudang esnya.” Orang Jepang menjawab, “Anda mau disebut sebagai bangsa yang maju dan beradab? Salah satu ciri bangsa yang maju dan beradab adalah memiliki lemari es di rumahnya.” Karena tersinggung, akhirnya orang Eskimo memborong produk lemari es buatan Jepang. Pertanyaannya, untuk apakah orang Eskimo membeli lemari es? Untuk menyimpan sandal dan sepatu!
Demikianlah orang Eskimo itu membeli kulkas, bukan karena kebutuhan, tetapi karena gengsi. Mereka terhina disebut bangsa yang terbelakang jika tidak memiliki lemari es. Kitapun kadang-kadang melakukan hal yang sama, meskipun dalam konteks yang berbeda. Demi memenuhi tuntutan gengsi, tak jarang kita mengorbankan nilai-nilai kebenaran.
Melihat tetangga membeli barang baru, nafsu tak mau disaingi kita muncul ke permukaan. Kita langsung berkata, “Memangnya dia saja yang bisa membeli barang itu? Aku juga bisa membeli dan memiliki barang yang lebih baik.” Segala upaya, termasuk berhutang, lalu kita kerahkan. Bukannya bahagia, akhirnya kita malah terjebak hutang.
Mari kita kembangkan kebiasaan mengucap syukur untuk apa saja yang Tuhan percayakan kepada kita. Kalau memang batas kemampuan kita hanya segitu, tak perlu gengsi. Lebih baik hidup sederhana tetapi menikmati, daripada hidup mewah tetapi dikejar perasaan bersalah. [from: RA]
“Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya” (Galatia 5:24)
Tergiur iklan yang dilancarkan produsen Jepang, orang Eskimo terpikat untuk membeli lemari es. Awalnya mereka menertawakan orang Jepang, “anda jualan lemari es, kami gudang esnya.” Orang Jepang menjawab, “Anda mau disebut sebagai bangsa yang maju dan beradab? Salah satu ciri bangsa yang maju dan beradab adalah memiliki lemari es di rumahnya.” Karena tersinggung, akhirnya orang Eskimo memborong produk lemari es buatan Jepang. Pertanyaannya, untuk apakah orang Eskimo membeli lemari es? Untuk menyimpan sandal dan sepatu!
Demikianlah orang Eskimo itu membeli kulkas, bukan karena kebutuhan, tetapi karena gengsi. Mereka terhina disebut bangsa yang terbelakang jika tidak memiliki lemari es. Kitapun kadang-kadang melakukan hal yang sama, meskipun dalam konteks yang berbeda. Demi memenuhi tuntutan gengsi, tak jarang kita mengorbankan nilai-nilai kebenaran.
Melihat tetangga membeli barang baru, nafsu tak mau disaingi kita muncul ke permukaan. Kita langsung berkata, “Memangnya dia saja yang bisa membeli barang itu? Aku juga bisa membeli dan memiliki barang yang lebih baik.” Segala upaya, termasuk berhutang, lalu kita kerahkan. Bukannya bahagia, akhirnya kita malah terjebak hutang.
Mari kita kembangkan kebiasaan mengucap syukur untuk apa saja yang Tuhan percayakan kepada kita. Kalau memang batas kemampuan kita hanya segitu, tak perlu gengsi. Lebih baik hidup sederhana tetapi menikmati, daripada hidup mewah tetapi dikejar perasaan bersalah. [from: RA]
TAK KENAL MENYERAH
“…aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang ada di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah…” (Filipi 3:13-14)
Philipus Raturuhit adalah seorang guru honorer di Manokwari Papua. Ia telah mengabdikan dirinya selama 15 tahun. Rasa cintanya kepada dunia pendidikan telah membuatnya betah mengabdi di pedalaman Papua meski hanya Rp. 250.000,- honor tiap bulannya. Dengan honor itu, ia harus mencukupi kebutuhan pribadinya setiap bulan.
“Uang itu tidak cukup. Untung sejak masuk di sini saya tanam pisang dan membuka ladang yang tidak terlalu luas untuk menanam sayur dan umbi-umbian. Masyarakat di sini menerima saya seperti saudara sendiri, sehingga saya betah. Kalau tidak betah pun tidak ada pilihan lain. Sekali datang ke sini, sulit sekali ke luar,” ujarnya kepada wartawan. Kasih sayang kepada anak didiknya membuat Philip tetap bertahan dan tak menyerah dalam keadaan serba kekurangan itu.
Dunia pelayanan di ladang Tuhan sangat membutuhkan orang-orang seperti Philip. Pribadi yang tangguh menghadapi tantangan dan terus maju meski banyak rintangan. Ia berfokus kepada masa depan anak-anak didiknya.
Pelayanan yang dipercayakan kepada kita membutuhkan orang-orang dengan tanggung jawab besar. Pekerjaan ini sungguh mulia untuk ditukar atau dihargai dengan uang. Adalah anugrah kalau kita yang tidak ada apa-apanya ini terlibat di dalam pekerjaan Tuhan. Jangan menyerah dan berhenti di tengah jalan. Bukankah begitu? [JP]
“…aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang ada di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah…” (Filipi 3:13-14)
Philipus Raturuhit adalah seorang guru honorer di Manokwari Papua. Ia telah mengabdikan dirinya selama 15 tahun. Rasa cintanya kepada dunia pendidikan telah membuatnya betah mengabdi di pedalaman Papua meski hanya Rp. 250.000,- honor tiap bulannya. Dengan honor itu, ia harus mencukupi kebutuhan pribadinya setiap bulan.
“Uang itu tidak cukup. Untung sejak masuk di sini saya tanam pisang dan membuka ladang yang tidak terlalu luas untuk menanam sayur dan umbi-umbian. Masyarakat di sini menerima saya seperti saudara sendiri, sehingga saya betah. Kalau tidak betah pun tidak ada pilihan lain. Sekali datang ke sini, sulit sekali ke luar,” ujarnya kepada wartawan. Kasih sayang kepada anak didiknya membuat Philip tetap bertahan dan tak menyerah dalam keadaan serba kekurangan itu.
Dunia pelayanan di ladang Tuhan sangat membutuhkan orang-orang seperti Philip. Pribadi yang tangguh menghadapi tantangan dan terus maju meski banyak rintangan. Ia berfokus kepada masa depan anak-anak didiknya.
Pelayanan yang dipercayakan kepada kita membutuhkan orang-orang dengan tanggung jawab besar. Pekerjaan ini sungguh mulia untuk ditukar atau dihargai dengan uang. Adalah anugrah kalau kita yang tidak ada apa-apanya ini terlibat di dalam pekerjaan Tuhan. Jangan menyerah dan berhenti di tengah jalan. Bukankah begitu? [JP]
MASIH ADA HARAPAN
“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” (Yeremia 29:11)
Dalam “Cast Away”, aktor Tom Hanks berperan sebagi Chuck Noland, seorang pegawai jasa pengiriman barang FedEx. Dalam sebuah ekspedisi, pesawat yang ditumpanginya mengalami gangguan mesin. Pesawat nahas itu akhirnya terjatuh di tengah laut. Noland sendiri terdampar di sebuah pulau kecil dan terpencil seorang diri.
Untuk mengusir kesepiannya, selama berhari-hari ia berusaha mengisi hari-harinya dengan berbagai kegiatan. Tentu saja hal utama yang dirindukannya adalah keluar dari pulau itu dan berkumpul kembali dengan keluarganya. Meskipun sudah lama terdampar di pulau itu, Noland tak kehilangan harapan. Karena harapan itu juga, ia tak putus berusaha sampai akhirnya mendapatkan pertolongan dari sebuah kapal yang melintas di pulau itu.
Kehidupan Kristen sering diperhadapkan dengan masalah yang sama. Iblis berusaha menghancurkan harapan kita sehingga kita berputus asa. Iblis menanmkan sebuah nilai bahwa sudah tidak ada pertolongan lagi. Tidak perlu kita berharap banyak. Akhirnya, menyerah adalah jalan terakhir yang diambil.
Tentu saja Alkitab tidak mengajarkan demikian. Apalagi kalau kita melihat bahwa janji Tuhan adalah janji kemenangan. Karena itu, singkirkan sedikit apapun keinginan dan rencana untuk menyerah. Masih ada harapan di depan sana. [JP]
“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” (Yeremia 29:11)
Dalam “Cast Away”, aktor Tom Hanks berperan sebagi Chuck Noland, seorang pegawai jasa pengiriman barang FedEx. Dalam sebuah ekspedisi, pesawat yang ditumpanginya mengalami gangguan mesin. Pesawat nahas itu akhirnya terjatuh di tengah laut. Noland sendiri terdampar di sebuah pulau kecil dan terpencil seorang diri.
Untuk mengusir kesepiannya, selama berhari-hari ia berusaha mengisi hari-harinya dengan berbagai kegiatan. Tentu saja hal utama yang dirindukannya adalah keluar dari pulau itu dan berkumpul kembali dengan keluarganya. Meskipun sudah lama terdampar di pulau itu, Noland tak kehilangan harapan. Karena harapan itu juga, ia tak putus berusaha sampai akhirnya mendapatkan pertolongan dari sebuah kapal yang melintas di pulau itu.
Kehidupan Kristen sering diperhadapkan dengan masalah yang sama. Iblis berusaha menghancurkan harapan kita sehingga kita berputus asa. Iblis menanmkan sebuah nilai bahwa sudah tidak ada pertolongan lagi. Tidak perlu kita berharap banyak. Akhirnya, menyerah adalah jalan terakhir yang diambil.
Tentu saja Alkitab tidak mengajarkan demikian. Apalagi kalau kita melihat bahwa janji Tuhan adalah janji kemenangan. Karena itu, singkirkan sedikit apapun keinginan dan rencana untuk menyerah. Masih ada harapan di depan sana. [JP]
Sunday, November 26, 2006
DOA MENGATASI KEMUSTAHILAN
“Aku akan memperpanjang hidupmu lima belas tahun lagi dan Aku akan melepaskan engkau…” (2 Raja-Raja 20:6)
Menghitung hari menghadapi eksekusi mati, bukanlah sebuah hal yang menyenangkan. Pengalaman itu pastilah menegangkan dan membuat depresi. Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus Da Silva yang mengalami hal itu, akhirnya meregang nyawa di hadapan regu tembak, 22 September 2006. Segala upaya sudah mereka lakukan untuk terhindar dari hukuman mati ini. Mulai dari naik banding hingga meminta grasi kepada presiden. Tetapi hasilnya nihil.
Hizkia hampir mengalami peristiwa serupa. Nabi Yesaya bin Amos memvonisnya bahwa ia akan mati. Kalau nabi yang berbicara, pastilah hal ini merupakan kebenaran yang tidak bisa dibantah. Tetapi Hizkia memiliki keputusan lain. Ia berseru kepada Tuhan, menangis dan memohon agar terbebas dari vonis itu. Ia memilih jalan doa daripada berusaha dengan kekuatannya sendiri.
Alhasil, Tuhan mengabulkan permohonannya. Usianya bahkan diperpanjang lima belas tahun lagi. Ditambah lagi dengan bonus bahwa kota yang didiaminya akan dilindungi dari serangan musuh.
Sahabat, doa yang dinaikkan Hizkia telah menerobos kemustahilan. Sebagai orang percaya kita diberi hak istimewa untuk hidup dalam mukjizat Allah. Mukjizat memang tidak terjadi begitu saja, tetapi selalu diawali dengan doa orang percaya. Setebal apakah tembok yang menghadang kita? Setinggi apakah benteng yang harus kita lalui? Serumit apakah masalah yang harus kita selesaikan? Kunci utamanya adalah doa yang dinaikkan dengan hancur hati dan iman yang sungguh-sungguh. Dan doa kita akan mengatasi kemustahilan. [JP]
“Aku akan memperpanjang hidupmu lima belas tahun lagi dan Aku akan melepaskan engkau…” (2 Raja-Raja 20:6)
Menghitung hari menghadapi eksekusi mati, bukanlah sebuah hal yang menyenangkan. Pengalaman itu pastilah menegangkan dan membuat depresi. Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus Da Silva yang mengalami hal itu, akhirnya meregang nyawa di hadapan regu tembak, 22 September 2006. Segala upaya sudah mereka lakukan untuk terhindar dari hukuman mati ini. Mulai dari naik banding hingga meminta grasi kepada presiden. Tetapi hasilnya nihil.
Hizkia hampir mengalami peristiwa serupa. Nabi Yesaya bin Amos memvonisnya bahwa ia akan mati. Kalau nabi yang berbicara, pastilah hal ini merupakan kebenaran yang tidak bisa dibantah. Tetapi Hizkia memiliki keputusan lain. Ia berseru kepada Tuhan, menangis dan memohon agar terbebas dari vonis itu. Ia memilih jalan doa daripada berusaha dengan kekuatannya sendiri.
Alhasil, Tuhan mengabulkan permohonannya. Usianya bahkan diperpanjang lima belas tahun lagi. Ditambah lagi dengan bonus bahwa kota yang didiaminya akan dilindungi dari serangan musuh.
Sahabat, doa yang dinaikkan Hizkia telah menerobos kemustahilan. Sebagai orang percaya kita diberi hak istimewa untuk hidup dalam mukjizat Allah. Mukjizat memang tidak terjadi begitu saja, tetapi selalu diawali dengan doa orang percaya. Setebal apakah tembok yang menghadang kita? Setinggi apakah benteng yang harus kita lalui? Serumit apakah masalah yang harus kita selesaikan? Kunci utamanya adalah doa yang dinaikkan dengan hancur hati dan iman yang sungguh-sungguh. Dan doa kita akan mengatasi kemustahilan. [JP]
KETULUSAN SEBUAH DOA
“Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu.” (Yakobus 4:3)
Alkisah, seorang anak kecil sedang bermain di pinggiran hutan. Ia tak sadar kalau seekor singga lapar sedang mendekatinya. Begitu singa itu mendekat, tidak ada hal lain yang ia lakukan kecuali berdoa. Dan doanyapun keliru. Ia hanya hafal satu-satunya doa yang diajarkan guru Sekolah Minggunya. Ya, seuntai doa anak kecil sebelum makan. Iapun berseru kepada Tuhan dalam doa di tengah bahaya yang mengancamnya. “Tuhan Yesus, terima kasih untuk berkat-Mu ini. Haleluya, Amin!” serunya. Sejurus kemudian, si singa pergi menjauh. Sungguh ajaib. Bahkan doa yang salah dinaikkan pun bisa mendatangkan mukjizat. Tentu saja Tuhan mengetahui ketulusan dan kepolosan anak itu.
Tidak jarang kita menaikkan doa yang ‘politis’ sifatnya. Kalau kita sedang berdoa di depan orang yang kita hormati, tiba-tiba saja doa kita menjadi puitis. Kita selipkan juga di dalam doa itu, kalimat-kalimat yang sedikit menyanjung-puji. Sayangnya bukan Tuhan yang dipuji, tetapi orang yang kita hormati itu.
Doa yang benar, diarahkan kepada tujuan yang benar. Doa yang berkuasa adalah doa yang disertai dengan ketulusan. Dijauhkanlah kiranya doa-doa kita dari hanya sebatas ucapan bibir semata. Biarlah doa kita lahir dari sebuah ketulusan. [JP]
“Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu.” (Yakobus 4:3)
Alkisah, seorang anak kecil sedang bermain di pinggiran hutan. Ia tak sadar kalau seekor singga lapar sedang mendekatinya. Begitu singa itu mendekat, tidak ada hal lain yang ia lakukan kecuali berdoa. Dan doanyapun keliru. Ia hanya hafal satu-satunya doa yang diajarkan guru Sekolah Minggunya. Ya, seuntai doa anak kecil sebelum makan. Iapun berseru kepada Tuhan dalam doa di tengah bahaya yang mengancamnya. “Tuhan Yesus, terima kasih untuk berkat-Mu ini. Haleluya, Amin!” serunya. Sejurus kemudian, si singa pergi menjauh. Sungguh ajaib. Bahkan doa yang salah dinaikkan pun bisa mendatangkan mukjizat. Tentu saja Tuhan mengetahui ketulusan dan kepolosan anak itu.
Tidak jarang kita menaikkan doa yang ‘politis’ sifatnya. Kalau kita sedang berdoa di depan orang yang kita hormati, tiba-tiba saja doa kita menjadi puitis. Kita selipkan juga di dalam doa itu, kalimat-kalimat yang sedikit menyanjung-puji. Sayangnya bukan Tuhan yang dipuji, tetapi orang yang kita hormati itu.
Doa yang benar, diarahkan kepada tujuan yang benar. Doa yang berkuasa adalah doa yang disertai dengan ketulusan. Dijauhkanlah kiranya doa-doa kita dari hanya sebatas ucapan bibir semata. Biarlah doa kita lahir dari sebuah ketulusan. [JP]
KEMENANGAN SEJATI
“Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya.” (Yakobus 1:14)
Dengan satu contekan kecil, sebenarnya Paolo Di Canio bisa mengantarkan West Ham United memenangi pertandingan melawan Everton di laga England Premier League. Ia berdiri bebas di depan gawang karena kiper Everton yang bertabrakan dengan pemain lawan tengah mengerang kesakitan. Saat itu pertandingan memasuki masa injury time dengan skor 1-1.
Bukannya menendang bola ke arah gawang, Di Canio malah memungut si kulit bundar dan berlari ke arah wasit. Ia meminta sang pengadil menghentikan pertandingan karena cedera kiper itu. Dari erangannya yang keras, dia yakin bahwa cederanya serius. Bagi sebagian orang, ini mungkin perbuatan naif dan sok sosial. Tetapi itulah Di Canio. Dengan sportifitas tinggi, ia lebih mementingkan manusia daripada sebuah kemenangan.
Pertandingan di atas mungkin berakhir imbang. Tetapi sesungguhnya kemenangan sejati telah diraih oleh Di Canio. Setidaknya ia menang atas egoismenya sebagai seorang pemain sepak bola yang haus kemenangan. Ia menang atas nafsunya untuk menari dan bergembira di atas penderitaan orang lain. Sebuah sikap fair play yang dimiliki pemain profesional sekelas Di Canio.
Belajar dari kisah di atas, mari kita raih kemenangan sejati dengan terlebih dahulu ‘mengalahkan’ diri sendiri. Mengontrol ego dan hawa nafsu dengan menyelaraskannya sesuai dengan kehendak Tuhan. Jangan sampai egoisme kita malah menghancurkan kehidupan kita sendiri. [JP]
“Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya.” (Yakobus 1:14)
Dengan satu contekan kecil, sebenarnya Paolo Di Canio bisa mengantarkan West Ham United memenangi pertandingan melawan Everton di laga England Premier League. Ia berdiri bebas di depan gawang karena kiper Everton yang bertabrakan dengan pemain lawan tengah mengerang kesakitan. Saat itu pertandingan memasuki masa injury time dengan skor 1-1.
Bukannya menendang bola ke arah gawang, Di Canio malah memungut si kulit bundar dan berlari ke arah wasit. Ia meminta sang pengadil menghentikan pertandingan karena cedera kiper itu. Dari erangannya yang keras, dia yakin bahwa cederanya serius. Bagi sebagian orang, ini mungkin perbuatan naif dan sok sosial. Tetapi itulah Di Canio. Dengan sportifitas tinggi, ia lebih mementingkan manusia daripada sebuah kemenangan.
Pertandingan di atas mungkin berakhir imbang. Tetapi sesungguhnya kemenangan sejati telah diraih oleh Di Canio. Setidaknya ia menang atas egoismenya sebagai seorang pemain sepak bola yang haus kemenangan. Ia menang atas nafsunya untuk menari dan bergembira di atas penderitaan orang lain. Sebuah sikap fair play yang dimiliki pemain profesional sekelas Di Canio.
Belajar dari kisah di atas, mari kita raih kemenangan sejati dengan terlebih dahulu ‘mengalahkan’ diri sendiri. Mengontrol ego dan hawa nafsu dengan menyelaraskannya sesuai dengan kehendak Tuhan. Jangan sampai egoisme kita malah menghancurkan kehidupan kita sendiri. [JP]
Wednesday, November 08, 2006
MENJEBOL KEMAPANAN
Masih ingat slogan iklan sebuah produk meubel, “Kalau sudah duduk lupa berdiri?” Realitas inilah yang kini tengah dihadapi gereja. Reformasi yang dipelopori Marthin Luther abad ke-XVI itu barangkali hanya pemantik awal dari gerakan pembaharuan yang akan terus berlangsung di dalam gereja selama berabad-abad.
Kita sepakat dengan Hieraclitus yang mengatakan bahwa tidak ada yang konstan di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri. Ya. Hanya perubahanlah satu-satunya hal yang tidak berubah di dunia ini. Dan ini adalah sebuah peringatan. Bahwa kemudian ada orang yang tidak setuju dan tidak mau berubah, itu masalah yang berbeda.
Allah yang Dinamis
Berbeda dengan konsep kepercayan paganisme (penyembah berhala), Allah dalam kekristenan adalah Pribadi yang dinamis. Ia bukan Allah yang tinggal diam sebagaimana patung atau benda sesembahan lainnya. Tuhan kita adalah Allah yang dinamis.
Karena Ia Allah yang dinamis, ia menyukai proses. Kehidupan manusia sebagai ciptaan termulia pun merupakan sebuah proses. Dibentuk di dalam kandungan, dilahirkan, menjadi kanak-kanak, remaja, pemuda dan seterusnya sampai dewasa. Allah tidak menghendaki umatNya berhenti pada satu titik dan berkata ‘cukup’ atau ‘puas’ kemudian tidak mau bertumbuh lagi.
Lihatlah bahwa Ia menuntut kita untuk, “Berubahlah oleh pembaharuan budimu…” (Roma 12:2). Itu berarti Ia adalah Allah yang tidak menghendaki stagnasi. Kemandegan dalam penjara kemapanan bukanlah ide yang berasal dari Allah.
Gereja dan Reformasi
Tanpa bermaksud menghakimi, ada banyak gereja masa kini yang puas dengan apa yang telah dialami dan dihasilkan. Pada titik tertentu, kepuasan itu memang penting untuk mensyukuri pertolongan Tuhan. Eben Haezer. Tetapi jika kepuasan itu membuat gereja berhenti, pada gilirannya kepuasan itu justru akan menjadi mesin penghancur yang efektif bagi gereja sendiri. Kehancuran, boleh jadi, bukanlah sebuah usaha sistematis dari luar. Tetapi justru sebuah proses pembusukan yang datangnya dari dalam.
Itu sebabnya gereja perlu mengikuti pergerakan Tuhan. Apa yang menjadi kehendak dan rencanaNya bagi gereja harus terus-menerus dicari. Goal akhir menjadi seperti Kristus akan dilewati dalam babak demi babak oleh gereja. Jika bagian demi bagian itu tak diikuti, bukan mustahil gereja akan menjadi institusi yang tidak saja ketinggalan zaman, tetapi juga akan ditinggalkan pengikutnya.
Seberapa Cepat Prosesnya?
Jawaban untuk pertanyaan ini tentu relatif. Cepat atau tidaknya akan bergantung pada respon gereja itu sendiri. Semakin gereja memahami ‘kehendak Allah pada zamannya’, semakin cepat pula proses pertumbuhan ke arah kedewasaannya.
Sebagian orang mungkin menjadi tidak sabar dan menghendaki revolusi. Entahlah, apakah kerinduan ini akan terwujud atau tidak? Agaknya Tuhan memang memiliki waktu tersendiri untuk melakukannya. Kita tidak punya kuasa apa-apa untuk mengusiknya.
Yang perlu dipersiapkan gereja, --dalam pengertian ‘orang’, bukan hanya institusi— adalah sikap sedia untuk menghadapi setiap perubahan. Kesiapan itu meliputi pemahaman seutuhnya mengenai kehendak Allah. Bukan sekedar ‘latah’ mengikuti arah angin tanpa memahami latar belakang permasalahannya. Kerinduan berubah yang berasal dari sekedar ‘latah’ dan dibumbui suasana emosional belum tentu berasal dari Tuhan. Salah-salah malah akan membuktikan bahwa gereja memang tidak siap berubah.
John Stott, seorang teolog Inggris mengatakan, “Yang paling penting dalam kehidupan ini adalah mengetahui kehendak Tuhan dan berjalan dalam kehendakNya itu!” Pemahaman kita akan kehendak Tuhan sangat dipengaruhi oleh hubungan yang kita bangun denganNya. Semakin intim dengan Tuhan, semakin kita mengenal kehendakNya.
Itu sebabnya, daripada Tuhan membongkar kemapanan kita, ada baiknya kita yang lebih dulu menyelaraskan diri dengan pergerakanNya.***
Masih ingat slogan iklan sebuah produk meubel, “Kalau sudah duduk lupa berdiri?” Realitas inilah yang kini tengah dihadapi gereja. Reformasi yang dipelopori Marthin Luther abad ke-XVI itu barangkali hanya pemantik awal dari gerakan pembaharuan yang akan terus berlangsung di dalam gereja selama berabad-abad.
Kita sepakat dengan Hieraclitus yang mengatakan bahwa tidak ada yang konstan di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri. Ya. Hanya perubahanlah satu-satunya hal yang tidak berubah di dunia ini. Dan ini adalah sebuah peringatan. Bahwa kemudian ada orang yang tidak setuju dan tidak mau berubah, itu masalah yang berbeda.
Allah yang Dinamis
Berbeda dengan konsep kepercayan paganisme (penyembah berhala), Allah dalam kekristenan adalah Pribadi yang dinamis. Ia bukan Allah yang tinggal diam sebagaimana patung atau benda sesembahan lainnya. Tuhan kita adalah Allah yang dinamis.
Karena Ia Allah yang dinamis, ia menyukai proses. Kehidupan manusia sebagai ciptaan termulia pun merupakan sebuah proses. Dibentuk di dalam kandungan, dilahirkan, menjadi kanak-kanak, remaja, pemuda dan seterusnya sampai dewasa. Allah tidak menghendaki umatNya berhenti pada satu titik dan berkata ‘cukup’ atau ‘puas’ kemudian tidak mau bertumbuh lagi.
Lihatlah bahwa Ia menuntut kita untuk, “Berubahlah oleh pembaharuan budimu…” (Roma 12:2). Itu berarti Ia adalah Allah yang tidak menghendaki stagnasi. Kemandegan dalam penjara kemapanan bukanlah ide yang berasal dari Allah.
Gereja dan Reformasi
Tanpa bermaksud menghakimi, ada banyak gereja masa kini yang puas dengan apa yang telah dialami dan dihasilkan. Pada titik tertentu, kepuasan itu memang penting untuk mensyukuri pertolongan Tuhan. Eben Haezer. Tetapi jika kepuasan itu membuat gereja berhenti, pada gilirannya kepuasan itu justru akan menjadi mesin penghancur yang efektif bagi gereja sendiri. Kehancuran, boleh jadi, bukanlah sebuah usaha sistematis dari luar. Tetapi justru sebuah proses pembusukan yang datangnya dari dalam.
Itu sebabnya gereja perlu mengikuti pergerakan Tuhan. Apa yang menjadi kehendak dan rencanaNya bagi gereja harus terus-menerus dicari. Goal akhir menjadi seperti Kristus akan dilewati dalam babak demi babak oleh gereja. Jika bagian demi bagian itu tak diikuti, bukan mustahil gereja akan menjadi institusi yang tidak saja ketinggalan zaman, tetapi juga akan ditinggalkan pengikutnya.
Seberapa Cepat Prosesnya?
Jawaban untuk pertanyaan ini tentu relatif. Cepat atau tidaknya akan bergantung pada respon gereja itu sendiri. Semakin gereja memahami ‘kehendak Allah pada zamannya’, semakin cepat pula proses pertumbuhan ke arah kedewasaannya.
Sebagian orang mungkin menjadi tidak sabar dan menghendaki revolusi. Entahlah, apakah kerinduan ini akan terwujud atau tidak? Agaknya Tuhan memang memiliki waktu tersendiri untuk melakukannya. Kita tidak punya kuasa apa-apa untuk mengusiknya.
Yang perlu dipersiapkan gereja, --dalam pengertian ‘orang’, bukan hanya institusi— adalah sikap sedia untuk menghadapi setiap perubahan. Kesiapan itu meliputi pemahaman seutuhnya mengenai kehendak Allah. Bukan sekedar ‘latah’ mengikuti arah angin tanpa memahami latar belakang permasalahannya. Kerinduan berubah yang berasal dari sekedar ‘latah’ dan dibumbui suasana emosional belum tentu berasal dari Tuhan. Salah-salah malah akan membuktikan bahwa gereja memang tidak siap berubah.
John Stott, seorang teolog Inggris mengatakan, “Yang paling penting dalam kehidupan ini adalah mengetahui kehendak Tuhan dan berjalan dalam kehendakNya itu!” Pemahaman kita akan kehendak Tuhan sangat dipengaruhi oleh hubungan yang kita bangun denganNya. Semakin intim dengan Tuhan, semakin kita mengenal kehendakNya.
Itu sebabnya, daripada Tuhan membongkar kemapanan kita, ada baiknya kita yang lebih dulu menyelaraskan diri dengan pergerakanNya.***
Tuesday, September 26, 2006
Pdt. DR. Dorothy Irene Marx
IMAN BEKERJA SAMA DENGAN LOGIKA
Bagi Dorothy, iman adalah sesuatu yang sulit didefinisikan. Kehadirannya dalam kehidupan orang percaya bisa dilihat melalui komponen-komponen yang berkaitan dengannya.
Lima Komponen Iman
Setidaknya ada lima komponen yang disebut Dorothy berkaitan dengan iman. Pertama, iman berkaitan erat dengan ketaatan. Abdi Tuhan yang sudah mengabdikan diri selama lebih dari 50 tahun di Indonesia ini kemudian menyebut Abraham sebagai contoh. Menurut kesaksian Alkitab, Abraham berjalan dalam ketaatan karena imannya. “Ia menunggu lama untuk mendapatkan Ishak sebagai anak perjanjian, tetapi ia taat ketika Tuhan meminta mempersembahkan anaknya itu,” ujar doktor jebolan Universitas Tubingen, Jerman ini.
Kedua, keyakinan bahwa Allah itu baik dalam apa yang dilakukan-Nya. Menurut Roma 8:28, Allah bekerja dalam ‘segala sesuatu’ untuk mendatangkan kebaikan bagi orang yang mengasihi-Nya. Orang Kristen yang memiliki iman kepada Allah tidak kesulitan melihat dan memercayai pekerjaan Allah dalam hal-hal yang kelihatannya negatif. Iman membantu orang percaya untuk melihat sesuatu yang positif di balik hal-hal negatif.
Ketiga, beriman berarti berpegang kepada kesetiaan Allah. “Ada unsur ujian dalam bagian ini,” papar Dorothy lagi. Tuhan menguji orang-orang yang dikasihi-Nya agar pengalaman imannya lebih meningkat.
Keempat, iman disertai pengabdian. Lebih lanjut dosen di STT Bandung dan beberapa perguruan teologi di tanah air ini mengatakan, “Iman yang benar tidak akan keluar dari jalur kehendak Allah. Salah satu kehendak Allah adalah agar orang-orang percaya mengabdikan diri dalam pelayanan kepada-Nya.”
Kelima, iman yang ditindaklanjuti dengan penyerahan diri. Menurut Dorothy, kelima aspek ini bisa dilihat sebagai tanda apakah seseorang telah menjalankan imannya dengan benar atau tidak.
Iman VS Logika?
Selama ini kita sering mendengar pendeta berujar, “Jangan pakai akal, pakailah iman saja untuk terima jawaban dan pertolongan Tuhan,” ketika mengkhotbahi jemaatnya. Seakan-akan akal adalah sesuatu yang bertentangan dengan iman atau sesuatu yang menghalangi iman bekerja. “Meskipun memiliki ‘wilayah kerja’ yang berlainan, menurut saya iman dan nalar itu tidak bertentangan. Malah tidak jarang keduanya bekerja sama,” imbuh pengarang buku 'Itu kan Boleh?' dan 'Kebenaran Meninggikan Derajat Bangsa' ini. Abraham menggunakan rasionya dan mengerti bahwa Allah sanggup berbuat sesuatu ketika ia mempersembahkan Ishak. Dan hal ini tidak bertentangan dengan imannya.
Iman adalah pemberian Allah di satu sisi –karena terdaftar sebagai salah satu karunia rohani di dalam 1 Korintus 12-, namun juga merupakan respon manusia di sisi yang lain. Respon manusia itulah, menurut Dorothy, yang kemudian akan membedakan tentang iman yang besar dan kecil. Agar iman hidup dan aktif dalam diri orang percaya, lima komponen itu perlu dilihat dan dipertimbangkan.***
IMAN BEKERJA SAMA DENGAN LOGIKA
Bagi Dorothy, iman adalah sesuatu yang sulit didefinisikan. Kehadirannya dalam kehidupan orang percaya bisa dilihat melalui komponen-komponen yang berkaitan dengannya.
Lima Komponen Iman
Setidaknya ada lima komponen yang disebut Dorothy berkaitan dengan iman. Pertama, iman berkaitan erat dengan ketaatan. Abdi Tuhan yang sudah mengabdikan diri selama lebih dari 50 tahun di Indonesia ini kemudian menyebut Abraham sebagai contoh. Menurut kesaksian Alkitab, Abraham berjalan dalam ketaatan karena imannya. “Ia menunggu lama untuk mendapatkan Ishak sebagai anak perjanjian, tetapi ia taat ketika Tuhan meminta mempersembahkan anaknya itu,” ujar doktor jebolan Universitas Tubingen, Jerman ini.
Kedua, keyakinan bahwa Allah itu baik dalam apa yang dilakukan-Nya. Menurut Roma 8:28, Allah bekerja dalam ‘segala sesuatu’ untuk mendatangkan kebaikan bagi orang yang mengasihi-Nya. Orang Kristen yang memiliki iman kepada Allah tidak kesulitan melihat dan memercayai pekerjaan Allah dalam hal-hal yang kelihatannya negatif. Iman membantu orang percaya untuk melihat sesuatu yang positif di balik hal-hal negatif.
Ketiga, beriman berarti berpegang kepada kesetiaan Allah. “Ada unsur ujian dalam bagian ini,” papar Dorothy lagi. Tuhan menguji orang-orang yang dikasihi-Nya agar pengalaman imannya lebih meningkat.
Keempat, iman disertai pengabdian. Lebih lanjut dosen di STT Bandung dan beberapa perguruan teologi di tanah air ini mengatakan, “Iman yang benar tidak akan keluar dari jalur kehendak Allah. Salah satu kehendak Allah adalah agar orang-orang percaya mengabdikan diri dalam pelayanan kepada-Nya.”
Kelima, iman yang ditindaklanjuti dengan penyerahan diri. Menurut Dorothy, kelima aspek ini bisa dilihat sebagai tanda apakah seseorang telah menjalankan imannya dengan benar atau tidak.
Iman VS Logika?
Selama ini kita sering mendengar pendeta berujar, “Jangan pakai akal, pakailah iman saja untuk terima jawaban dan pertolongan Tuhan,” ketika mengkhotbahi jemaatnya. Seakan-akan akal adalah sesuatu yang bertentangan dengan iman atau sesuatu yang menghalangi iman bekerja. “Meskipun memiliki ‘wilayah kerja’ yang berlainan, menurut saya iman dan nalar itu tidak bertentangan. Malah tidak jarang keduanya bekerja sama,” imbuh pengarang buku 'Itu kan Boleh?' dan 'Kebenaran Meninggikan Derajat Bangsa' ini. Abraham menggunakan rasionya dan mengerti bahwa Allah sanggup berbuat sesuatu ketika ia mempersembahkan Ishak. Dan hal ini tidak bertentangan dengan imannya.
Iman adalah pemberian Allah di satu sisi –karena terdaftar sebagai salah satu karunia rohani di dalam 1 Korintus 12-, namun juga merupakan respon manusia di sisi yang lain. Respon manusia itulah, menurut Dorothy, yang kemudian akan membedakan tentang iman yang besar dan kecil. Agar iman hidup dan aktif dalam diri orang percaya, lima komponen itu perlu dilihat dan dipertimbangkan.***
ATHAUW
TEKUN BERKARIER, SETIA BERBAKTI
Tersedot magnet sukses di kota besar, Athauw (38) bertekad meninggalkan Ciamis dan mengadu nasib di Bandung pada akhir dekade 80-an. Ia jenuh menjadi pengangguran yang menghabiskan waktu dengan mabuk dan judi. Meski tak memiliki cukup bekal, niat sudah telanjur dicanangkan.
Tak seperti kebanyakan keturunan Tionghoa, pria bernama lengkap Ho Tow Fa ini termasuk orang yang berkantong tipis. Belum lagi SBKRI tak ia miliki. Memulai usaha menjadi sesuatu yang sulit bukan main. Tak ada pilihan lain, ia lalu mengawali ‘karier’ dengan menjadi kuli angkut pada sebuah bandar oli. Menaik-turunkan drum menjadi kegiatan sehari-hari yang ia akrabi. Athauw juga sempat menjadi pelayan toko dan tukang tagih keliling.
Perjumpaan dengan seorang teman lama menjadi babak baru dalam perjalanan Athauw. “Dia yang mengajak saya ke gereja dan diperkenalkan dengan dunia pelayanan,” ujarnya mengenang. Sejak itu ia memiliki keyakinan baru bahwa sukses hanya dapat diraih jika usaha disertai penyerahan kepada ‘Yang di Atas’. Di gereja pula ia akhirnya bertemu dengan Lily Suciawati yang kemudian dipersunting menjadi istri.
Teman hidup punya, pelayanan ada, tapi sukses masih gelap. Selepas nikah Athauw malah menganggur lagi. Jadilah Lily yang bekerja untuk menjaga agar dapur tetap berasap. Kondisi ini memicu Athauw untuk berusaha meminjam modal ke sana-sini. “Sulit sekali mendapat modal. Mana ada orang percaya kepada saya? Mereka selalu bertanya tentang jaminan apa yang bisa saya berikan untuk mengembalikan pinjaman,” paparnya.
Di lain pihak kerohanian Athauw makin terpupuk. Penyerahan total kepada Tuhan menjadi semangat untuk menghadapi hidup yang sarat beban. Dalam doa-doanya ia memohon agarTuhan buka jalan.
Tak lama, ada beberapa pengusaha dari Jakarta tiba-tiba mengajaknya bekerja sama dalam membuka toko. Athauw tak langsung mengiyakan, meski ia hanya diminta memasok saham 10%. Tak ingin membuang kesempatan, ia berjibaku untuk mengantongi modal. Karena tak satupun orang meminjami uang, ia mengikuti arisan bulanan dan mendapat kesempatan kedua untuk mendapat modal. Sisa uangnya ia simpan di bank agar bulan-bulan berikutnya tetap bisa membayar.
Toko bahan-bahan kimia makanan mulai bergulir. Alih-alih untung, delapan bulan awal perjalanan toko itu malah dibebani dengan masalah. Athauw seperti ditinggal sendirian. Tapi ayah Milka Gabriella dan Ribka Josephine ini tak menyerah. Toko itu akhirnya ditawarkan kepadanya untuk dikelola sendiri. Kembali ia terbentur dengan masalah dana. Tapi entah dari mana, keberanian muncul untuk mengambil alih toko dan mengelolanya sendiri. Dia mengajukan penawaran agar diijinkan untuk mencicil pembayarannya dalam beberapa bulan.
Ditemani istrinya, Athauw tekun mengurus ‘mesin uang’ itu. Ketaatan berbakti pun dipertebal. Alhasil, utang bisa ditutup dan perjalanan toko makin sehat. Tak berhenti di situ, ritme hidup juga mulai lebih teratur. Kini ia bisa mencukupi kebutuhan keluarga, menikmati berkat rumah dan kendaraan pribadi. Dan yang terpenting, ia tak menyurutkan semangat untuk berbakti dan berbagi.*** (dimuat di BAHANA, Oktober 06)
TEKUN BERKARIER, SETIA BERBAKTI
Tersedot magnet sukses di kota besar, Athauw (38) bertekad meninggalkan Ciamis dan mengadu nasib di Bandung pada akhir dekade 80-an. Ia jenuh menjadi pengangguran yang menghabiskan waktu dengan mabuk dan judi. Meski tak memiliki cukup bekal, niat sudah telanjur dicanangkan.
Tak seperti kebanyakan keturunan Tionghoa, pria bernama lengkap Ho Tow Fa ini termasuk orang yang berkantong tipis. Belum lagi SBKRI tak ia miliki. Memulai usaha menjadi sesuatu yang sulit bukan main. Tak ada pilihan lain, ia lalu mengawali ‘karier’ dengan menjadi kuli angkut pada sebuah bandar oli. Menaik-turunkan drum menjadi kegiatan sehari-hari yang ia akrabi. Athauw juga sempat menjadi pelayan toko dan tukang tagih keliling.
Perjumpaan dengan seorang teman lama menjadi babak baru dalam perjalanan Athauw. “Dia yang mengajak saya ke gereja dan diperkenalkan dengan dunia pelayanan,” ujarnya mengenang. Sejak itu ia memiliki keyakinan baru bahwa sukses hanya dapat diraih jika usaha disertai penyerahan kepada ‘Yang di Atas’. Di gereja pula ia akhirnya bertemu dengan Lily Suciawati yang kemudian dipersunting menjadi istri.
Teman hidup punya, pelayanan ada, tapi sukses masih gelap. Selepas nikah Athauw malah menganggur lagi. Jadilah Lily yang bekerja untuk menjaga agar dapur tetap berasap. Kondisi ini memicu Athauw untuk berusaha meminjam modal ke sana-sini. “Sulit sekali mendapat modal. Mana ada orang percaya kepada saya? Mereka selalu bertanya tentang jaminan apa yang bisa saya berikan untuk mengembalikan pinjaman,” paparnya.
Di lain pihak kerohanian Athauw makin terpupuk. Penyerahan total kepada Tuhan menjadi semangat untuk menghadapi hidup yang sarat beban. Dalam doa-doanya ia memohon agarTuhan buka jalan.
Tak lama, ada beberapa pengusaha dari Jakarta tiba-tiba mengajaknya bekerja sama dalam membuka toko. Athauw tak langsung mengiyakan, meski ia hanya diminta memasok saham 10%. Tak ingin membuang kesempatan, ia berjibaku untuk mengantongi modal. Karena tak satupun orang meminjami uang, ia mengikuti arisan bulanan dan mendapat kesempatan kedua untuk mendapat modal. Sisa uangnya ia simpan di bank agar bulan-bulan berikutnya tetap bisa membayar.
Toko bahan-bahan kimia makanan mulai bergulir. Alih-alih untung, delapan bulan awal perjalanan toko itu malah dibebani dengan masalah. Athauw seperti ditinggal sendirian. Tapi ayah Milka Gabriella dan Ribka Josephine ini tak menyerah. Toko itu akhirnya ditawarkan kepadanya untuk dikelola sendiri. Kembali ia terbentur dengan masalah dana. Tapi entah dari mana, keberanian muncul untuk mengambil alih toko dan mengelolanya sendiri. Dia mengajukan penawaran agar diijinkan untuk mencicil pembayarannya dalam beberapa bulan.
Ditemani istrinya, Athauw tekun mengurus ‘mesin uang’ itu. Ketaatan berbakti pun dipertebal. Alhasil, utang bisa ditutup dan perjalanan toko makin sehat. Tak berhenti di situ, ritme hidup juga mulai lebih teratur. Kini ia bisa mencukupi kebutuhan keluarga, menikmati berkat rumah dan kendaraan pribadi. Dan yang terpenting, ia tak menyurutkan semangat untuk berbakti dan berbagi.*** (dimuat di BAHANA, Oktober 06)
Tuesday, August 15, 2006
MAS HENDRO
Mas Hendro telah membantuku melihat bahwa Tuhan memperhatikan kebutuhan-kebutuhanku, sekecil apapun itu. Karena jaketku telah lusuh dan butut, aku berniat untuk mencari penggantinya. Mulailah aku menyusuri Bandung, kota seribu outlet.
Adalah 'OttenOne' sebuah outlet di pangkal Jl. Dr. Otten, namun kini telah bangkrut. Ada sebuah jaket yang menurutku bagus dan cocok dengan selera. Apalagi warnanya biru dengan strip putih di lengan. Pas.
Sayangnya uang di kantong yang tidak pas. Alhasil, harus kutunda keinginan untuk memiliki jaket baru. Tentu karen aharus menunggu supaya dompet menebal. Tiga-empat berlalu, entah kenapa, keinginan akan jaket itu terlupa. Mungkin karena kesibukan yang mulai menggunung sampai memikirkan jaket pun tak sempat.
Dalam sebuah kesempatan memimpin pujian pada ibadah gereja, mujizat terjadi. Pada jeda menjelang masuk ibadah kedua, seorang pria berkacamata menghampiriku. Pria itu duduk di deretan bangku depan pada ibadah pertama tadi. Dan dia bukan anggota jemaat di gereja tempatku berbakti.
"Ada sesuatu yang harus kita bicarakan," ujarnya. Tanda tanya mulai terbubuh di benak, "Ada apakah gerangan?" Sejurus kemudian dia menyodorkan tas plastik putih berisi barang seukuran kardus mie yang dibungkus koran. "Ini untuk Anda," paparnya seraya bergegas pergi. Waktu itu sedang heboh bom di berbagai tempat. "Mungkinkah ini bom juga?" aku bergumam. Masih diliputi kegamangan, kubuka bungkusan itu harap-harap cemas. Jika benar bom, tamatlah riwayatku dan juga gereja tempatku berbakti.
Kejutan berlanjut. Setelah kubuka ternyata isinya jaket! Anehnya, jaket itu sama persis dengan yang kucoba di OttenOne beberapa bulan silam. Bukan hanya jaket, sepotong kemeja dan dasi pun ada di dalamnya. Hati berkecamuk dan air mata meleleh... Dengan cara seperti inikah Tuhan menolong dan memperhatikan kebutuhan kecilku?
Satu setengah tahun kemudian....
Tanpa disengaja aku bertemu dengan pria pemberi bungkusan yang setelah berkenalan aku tahu bahwa namanya Hendro. "Koq Mas Hendro bisa memberi saya jaket. Apa Mas tahu kalau saya memang membutuhkannya?" tanyaku penasaran. Dia kemudian juga menyatakan keheranannya. "Aku lagi nyetir mobil sepulang kantor. Ketika melintas di OttenOne ada dorongan yang kuat untuk memarkir mobil dan masuk outlet itu," paparnya. Akhirnya Mas Hendro membeli jaket, baju dan dasi yang menurutnya harus ia berikan kepada seseorang yang belum diketahuinya. Hari minggu itu ia beribadah di gerejaku dan dorongan kuat itu kembali hadir untuk memberikan bungkusan yang telah disiapkannya itu.
Demikianlah Mas Hendro telah menunjukkan kepadaku bahwa pertolongan Tuhan bisa datang dengan berbagai cara. Bahkan yang tak pernah terpikirkan sekalipun.***
Mas Hendro telah membantuku melihat bahwa Tuhan memperhatikan kebutuhan-kebutuhanku, sekecil apapun itu. Karena jaketku telah lusuh dan butut, aku berniat untuk mencari penggantinya. Mulailah aku menyusuri Bandung, kota seribu outlet.
Adalah 'OttenOne' sebuah outlet di pangkal Jl. Dr. Otten, namun kini telah bangkrut. Ada sebuah jaket yang menurutku bagus dan cocok dengan selera. Apalagi warnanya biru dengan strip putih di lengan. Pas.
Sayangnya uang di kantong yang tidak pas. Alhasil, harus kutunda keinginan untuk memiliki jaket baru. Tentu karen aharus menunggu supaya dompet menebal. Tiga-empat berlalu, entah kenapa, keinginan akan jaket itu terlupa. Mungkin karena kesibukan yang mulai menggunung sampai memikirkan jaket pun tak sempat.
Dalam sebuah kesempatan memimpin pujian pada ibadah gereja, mujizat terjadi. Pada jeda menjelang masuk ibadah kedua, seorang pria berkacamata menghampiriku. Pria itu duduk di deretan bangku depan pada ibadah pertama tadi. Dan dia bukan anggota jemaat di gereja tempatku berbakti.
"Ada sesuatu yang harus kita bicarakan," ujarnya. Tanda tanya mulai terbubuh di benak, "Ada apakah gerangan?" Sejurus kemudian dia menyodorkan tas plastik putih berisi barang seukuran kardus mie yang dibungkus koran. "Ini untuk Anda," paparnya seraya bergegas pergi. Waktu itu sedang heboh bom di berbagai tempat. "Mungkinkah ini bom juga?" aku bergumam. Masih diliputi kegamangan, kubuka bungkusan itu harap-harap cemas. Jika benar bom, tamatlah riwayatku dan juga gereja tempatku berbakti.
Kejutan berlanjut. Setelah kubuka ternyata isinya jaket! Anehnya, jaket itu sama persis dengan yang kucoba di OttenOne beberapa bulan silam. Bukan hanya jaket, sepotong kemeja dan dasi pun ada di dalamnya. Hati berkecamuk dan air mata meleleh... Dengan cara seperti inikah Tuhan menolong dan memperhatikan kebutuhan kecilku?
Satu setengah tahun kemudian....
Tanpa disengaja aku bertemu dengan pria pemberi bungkusan yang setelah berkenalan aku tahu bahwa namanya Hendro. "Koq Mas Hendro bisa memberi saya jaket. Apa Mas tahu kalau saya memang membutuhkannya?" tanyaku penasaran. Dia kemudian juga menyatakan keheranannya. "Aku lagi nyetir mobil sepulang kantor. Ketika melintas di OttenOne ada dorongan yang kuat untuk memarkir mobil dan masuk outlet itu," paparnya. Akhirnya Mas Hendro membeli jaket, baju dan dasi yang menurutnya harus ia berikan kepada seseorang yang belum diketahuinya. Hari minggu itu ia beribadah di gerejaku dan dorongan kuat itu kembali hadir untuk memberikan bungkusan yang telah disiapkannya itu.
Demikianlah Mas Hendro telah menunjukkan kepadaku bahwa pertolongan Tuhan bisa datang dengan berbagai cara. Bahkan yang tak pernah terpikirkan sekalipun.***
Monday, August 07, 2006
KETIKA YESUS DIHINA
Karena memiliki harga diri, tak seorangpun mau dihina. Respon seseorang yang dihina bisa beragam. Mulai dari tersenyum sinis hingga marah dan bahkan membunuh pihak yang menghinanya.
Penyanyi Iwan Fals pernah diprotes umat Hindu karena dituduh melakukan penghinaan terhadap agama Hindu berkaitan dengan gambar sampul albumnya, Manusia ½ Dewa. Umat Muslim sedunia berdemonstrasi untuk memprotes keras pemuatan kartun dan karikatur yang dianggap melecehkan Nabi Muhammad, junjungan mereka di beberapa media Eropa.
Bagaimana dengan penghinaan terhadap Yesus? Beberapa hal ini bisa disebut sebagai contoh. Opera “Jesus Christ Superstar” melukiskan Yesus seperti orang tolol dan badut yang diejek. Dilukiskan pula percintaan Yesus dengan eks pelacur, Maria Magdalena, dalam penghinaan yang luar biasa. Film “The Love Affair of Jesus” melukiskan Yesus sebagai perampok bank yang terlibat dalam skandal percintaan. Rock opera “Hair” mementaskan kemaksiatan dosa Sodom dan Gomora (homosex) dan diakhiri dengan adegan penyaliban Yesus dengan wanita-wanita telanjang menari mengelilingi salib. Dan seorang wartawan berkata, “Sebetulnya panggung yang paling cocok ialah dia dalam gereja”. Film “The Last Temptation of Christ” (1998) yang disutradarai Martin Scorsese menggambarkan Yesus turun dari salib dan menikahi Maria Magdalena lalu membangun keluarga dan menikmati hari tua. Lalu pada masa tua setelah sadar dia ditipu Lucifer, Yesus merangkak menuju salib untuk menebus dosa.
Buku-buku yang menyerang ketuhanan Yesus juga terus bermunculan akhir-akhir ini. Sejak heboh DaVinci Code garapan Dan Brown yang meremehkan inti iman Kristen tentang Kristologi, serangkaian buku lain lalu muncul di pasaran. Setidaknya ada ‘Selamatkan Yesus dari Orang Kristen’ oleh Clayton Sullivan yang juga mempermasalahkan ketuhanan Yesus. Lalu ada Injil Yudas yang idem dito. Daftar ini belum termasuk penghinaan terhadap-Nya melalui media lain, seperti internet, CD/VCD, dll.
Apakah sebagai orang Kristen kita geram dan marah? Secara jujur, ya. Tetapi ada teladan luar biasa dari Tuhan Yesus sendiri untuk meresponi penghinaan, bahkan penganiayaan.
Pertama, mendoakan. Dalam terminologi Yesus, para pengejek dan penghina itu tidak tahu apa yang mereka perbuat. Sebab sebenarnya bukan merekalah sumbernya. Mereka hanya alat yang digunakan oleh si jahat untuk menjalankan misinya. Doa yang sama diucapkan Stefanus sesaat sebelum meregang nyawa karena dirajam batu. Itu sebabnya kita wajib mendoakan pengejek-pengejek itu agar diampuni Allah.
Kedua, apologetika tanpa kekerasan. 1 Petrus 3:15 memberi petunjuk kepada kita tentang memberi pertanggunjawaban iman secara ‘lemah lembut’ dan ‘hormat’. Alkitab tidak pernah mengajarkan dan membenarkan cara-cara kekerasan. Karena yang diserang oleh para pengejek adalah wilayah kepercayaan (iman), jawaban yang kita berikan haruslah berkaitan dengan hal-hal yang membuka wawasan mereka.
Ketiga, pembinaan ke dalam. Para Rasul yang menulis surat, entah kepada jemaat atau pribadi, selalu menyisipkan petuah untuk berhati-hati terhadap pengajar sesat yang sering disebut juga sebagai pengejek. Bahwa mereka adalah orang-orang yang berbahaya, hal ini tidak disangkal oleh para Rasul. Tetapi nasihat yang terpenting adalah ‘melawan’ dengan memperkokoh kehidupan Kristen dengan semakin berakar di dalam firman-Nya. Semakin dalam kita tertanam, semakin sulit ejekan-ejekan terhadap Kristus menggoyahkan iman kita.***
Karena memiliki harga diri, tak seorangpun mau dihina. Respon seseorang yang dihina bisa beragam. Mulai dari tersenyum sinis hingga marah dan bahkan membunuh pihak yang menghinanya.
Penyanyi Iwan Fals pernah diprotes umat Hindu karena dituduh melakukan penghinaan terhadap agama Hindu berkaitan dengan gambar sampul albumnya, Manusia ½ Dewa. Umat Muslim sedunia berdemonstrasi untuk memprotes keras pemuatan kartun dan karikatur yang dianggap melecehkan Nabi Muhammad, junjungan mereka di beberapa media Eropa.
Bagaimana dengan penghinaan terhadap Yesus? Beberapa hal ini bisa disebut sebagai contoh. Opera “Jesus Christ Superstar” melukiskan Yesus seperti orang tolol dan badut yang diejek. Dilukiskan pula percintaan Yesus dengan eks pelacur, Maria Magdalena, dalam penghinaan yang luar biasa. Film “The Love Affair of Jesus” melukiskan Yesus sebagai perampok bank yang terlibat dalam skandal percintaan. Rock opera “Hair” mementaskan kemaksiatan dosa Sodom dan Gomora (homosex) dan diakhiri dengan adegan penyaliban Yesus dengan wanita-wanita telanjang menari mengelilingi salib. Dan seorang wartawan berkata, “Sebetulnya panggung yang paling cocok ialah dia dalam gereja”. Film “The Last Temptation of Christ” (1998) yang disutradarai Martin Scorsese menggambarkan Yesus turun dari salib dan menikahi Maria Magdalena lalu membangun keluarga dan menikmati hari tua. Lalu pada masa tua setelah sadar dia ditipu Lucifer, Yesus merangkak menuju salib untuk menebus dosa.
Buku-buku yang menyerang ketuhanan Yesus juga terus bermunculan akhir-akhir ini. Sejak heboh DaVinci Code garapan Dan Brown yang meremehkan inti iman Kristen tentang Kristologi, serangkaian buku lain lalu muncul di pasaran. Setidaknya ada ‘Selamatkan Yesus dari Orang Kristen’ oleh Clayton Sullivan yang juga mempermasalahkan ketuhanan Yesus. Lalu ada Injil Yudas yang idem dito. Daftar ini belum termasuk penghinaan terhadap-Nya melalui media lain, seperti internet, CD/VCD, dll.
Apakah sebagai orang Kristen kita geram dan marah? Secara jujur, ya. Tetapi ada teladan luar biasa dari Tuhan Yesus sendiri untuk meresponi penghinaan, bahkan penganiayaan.
Pertama, mendoakan. Dalam terminologi Yesus, para pengejek dan penghina itu tidak tahu apa yang mereka perbuat. Sebab sebenarnya bukan merekalah sumbernya. Mereka hanya alat yang digunakan oleh si jahat untuk menjalankan misinya. Doa yang sama diucapkan Stefanus sesaat sebelum meregang nyawa karena dirajam batu. Itu sebabnya kita wajib mendoakan pengejek-pengejek itu agar diampuni Allah.
Kedua, apologetika tanpa kekerasan. 1 Petrus 3:15 memberi petunjuk kepada kita tentang memberi pertanggunjawaban iman secara ‘lemah lembut’ dan ‘hormat’. Alkitab tidak pernah mengajarkan dan membenarkan cara-cara kekerasan. Karena yang diserang oleh para pengejek adalah wilayah kepercayaan (iman), jawaban yang kita berikan haruslah berkaitan dengan hal-hal yang membuka wawasan mereka.
Ketiga, pembinaan ke dalam. Para Rasul yang menulis surat, entah kepada jemaat atau pribadi, selalu menyisipkan petuah untuk berhati-hati terhadap pengajar sesat yang sering disebut juga sebagai pengejek. Bahwa mereka adalah orang-orang yang berbahaya, hal ini tidak disangkal oleh para Rasul. Tetapi nasihat yang terpenting adalah ‘melawan’ dengan memperkokoh kehidupan Kristen dengan semakin berakar di dalam firman-Nya. Semakin dalam kita tertanam, semakin sulit ejekan-ejekan terhadap Kristus menggoyahkan iman kita.***
Tuesday, July 04, 2006
MENGUNDURKAN DIRI
Kesebelasan Inggris dan Brasil sudah pulang. Impian mereka dikandaskan tim ‘Samba Eropa’ Portugal dan ‘Ayam Jantan’ Perancis. Tak hanya di negaranya, kedua kesebelasan ini ditangisi juga oleh seluruh pendukungnya di berbagai penjuru dunia.
Menyusul kegagalan membawa pulang piala dunia ke negeri asalnya, serangkaian pengunduran diri terjadi. Dan ini fenomena yang wajar jika sebuah kegagalan terjadi. Tetapi ini di luar negeri, bukan di Indonesia. Sekali lagi, bukan di Indonesia.
David Beckham mengumumkan pengunduran dirinya sebagai ‘komandan lapangan’ tim Inggris sesaat setelah tiba kembali di negeri ‘three lions’ itu. Ban kapten ia relakan dipakai orang lain sebagai sebuah bentuk pertanggung jawaban, atau paling tidak pengakuan, bahwa ia telah gagal memenuhi harapan publik Inggris untuk merebut piala dunia.
Sven-Goran Eriksson bahkan jauh-jauh hari sudah mengatakan bahwa even dengan motto “A time to make a friend” ini adalah peluang terakhirnya menggarap tim Inggris. Ia juga kemudian mengundurkan diri. Bahkan cercaan sempat muncul dari beberapa orang dan diarahkan kepadanya. Pelatih asal Swedia ini dianggap tak becus mengantarkan Inggris ke tangga juara, padahal inilah saat ‘generasi emas’ itu.
Si botak Roberto Carlos pun segera pamitan dari tim Samba. “Di tim nasional Brasil, kisah tentang saya sudah berakhir,” ujarnya. Ia mundur beberapa saat setelah timnya dipukul Perancis 1-0 dalam babak perempat final. Banyak kalangan menilai bahwa ini ‘kutuk’ bagi Brasil karena meninggalkan pola permainan cantik (sepakbola indah) semata-mata demi mengejar kemenangan.
Begitulah. Sepakbola di luar sana telah mengajari kita tentang berani berbuat dan berani bertanggung jawab. Sementara itu, sepanjang hidup kita telah diracuni oleh para pemimpin bangsa dengan semangat ‘tinggal glanggang colong playu’ di negeri sendiri.
Alih-alih mundur, para pemimpin culas yang telah berbuat salah itu justru repot mencari cara untuk membela diri. Pengacara direkrut, hukum diperkosa, kebenaran dipelintir dan… akhirnya bebas. Kapankah budaya mengundurkan diri setelah gagal bisa merasuki bangsa ini? Wallahuallam.
Kesebelasan Inggris dan Brasil sudah pulang. Impian mereka dikandaskan tim ‘Samba Eropa’ Portugal dan ‘Ayam Jantan’ Perancis. Tak hanya di negaranya, kedua kesebelasan ini ditangisi juga oleh seluruh pendukungnya di berbagai penjuru dunia.
Menyusul kegagalan membawa pulang piala dunia ke negeri asalnya, serangkaian pengunduran diri terjadi. Dan ini fenomena yang wajar jika sebuah kegagalan terjadi. Tetapi ini di luar negeri, bukan di Indonesia. Sekali lagi, bukan di Indonesia.
David Beckham mengumumkan pengunduran dirinya sebagai ‘komandan lapangan’ tim Inggris sesaat setelah tiba kembali di negeri ‘three lions’ itu. Ban kapten ia relakan dipakai orang lain sebagai sebuah bentuk pertanggung jawaban, atau paling tidak pengakuan, bahwa ia telah gagal memenuhi harapan publik Inggris untuk merebut piala dunia.
Sven-Goran Eriksson bahkan jauh-jauh hari sudah mengatakan bahwa even dengan motto “A time to make a friend” ini adalah peluang terakhirnya menggarap tim Inggris. Ia juga kemudian mengundurkan diri. Bahkan cercaan sempat muncul dari beberapa orang dan diarahkan kepadanya. Pelatih asal Swedia ini dianggap tak becus mengantarkan Inggris ke tangga juara, padahal inilah saat ‘generasi emas’ itu.
Si botak Roberto Carlos pun segera pamitan dari tim Samba. “Di tim nasional Brasil, kisah tentang saya sudah berakhir,” ujarnya. Ia mundur beberapa saat setelah timnya dipukul Perancis 1-0 dalam babak perempat final. Banyak kalangan menilai bahwa ini ‘kutuk’ bagi Brasil karena meninggalkan pola permainan cantik (sepakbola indah) semata-mata demi mengejar kemenangan.
Begitulah. Sepakbola di luar sana telah mengajari kita tentang berani berbuat dan berani bertanggung jawab. Sementara itu, sepanjang hidup kita telah diracuni oleh para pemimpin bangsa dengan semangat ‘tinggal glanggang colong playu’ di negeri sendiri.
Alih-alih mundur, para pemimpin culas yang telah berbuat salah itu justru repot mencari cara untuk membela diri. Pengacara direkrut, hukum diperkosa, kebenaran dipelintir dan… akhirnya bebas. Kapankah budaya mengundurkan diri setelah gagal bisa merasuki bangsa ini? Wallahuallam.
Tuesday, June 13, 2006
PAK GURU SUKIDI
Ingatanku melayang pada Piala Dunia 90, bukan pada bintang-bintang lapangannya, tetapi pada Pak Sukidi. Sukidi adalah seorang guru di dusun kami yang puluhan tahun telah mengabdi di beberapa sekolah dasar. Ia adalah salah satu dari segelintir orang yang punya televisi berwarna di kampung. Jadilah rumahnya dijadikan sebagai tempat ‘nonton bareng'.
Dengan Bu Semi, istrinya, kami disambut ramah. Tak hanya itu, setiap malam selalu terhidang kopi atau teh ditemani penganan khas dusun semacam jagung atau singkong rebus. Kadang kami jadi tak enak hati hati. Udah nonton gratis, mengganggu jam tidur keluarga sederhana ini dan menghabiskan makanannya.
Suatu ketika, tak satupun orang yang nonton karena hari itu memang sangat melelahkan. Kami baru saja menyelesaikan proyek pengerasan jalan hingga batas dusun seberang. Sukidi merasa ‘kehilangan’. Berkali-kali ia membunyikan kentongan di pos ronda depan rumahnya. Barangkali untuk mengingatkan bahwa jam nonton bareng sudah tiba. Tak satupun dari kami yang menampakkan batang hidung.
Hari berikutnya baru kami bisa berkumpul kembali. Sebenarnya Piala Dunia bukanlah yang terpenting. Tetapi komunitas yang tercipta karena jauh lebih penting. Acara nonton bareng itu sendiri bisa jadi ajang kongkow-kongkow dan membicarakan banyak hal. Menyelesaikan masalah iuran di dusun, merencanakan sambatan (gotong royong) memperbaiki rumah warga yang rusak, siskamling dan sebagainya. Dan Sukidi telah menjadi fasilitator dalam hal ini. Keikhlasannya amat berkesan.
Kini aku menikmati Piala Dunia sendirian. Istri tidur karena sama sekali tak suka denga bola. Tak ada teman bersorak ketika gol terjadi. Tak ada teman ngobrol lagi. Seandainya….
Ingatanku melayang pada Piala Dunia 90, bukan pada bintang-bintang lapangannya, tetapi pada Pak Sukidi. Sukidi adalah seorang guru di dusun kami yang puluhan tahun telah mengabdi di beberapa sekolah dasar. Ia adalah salah satu dari segelintir orang yang punya televisi berwarna di kampung. Jadilah rumahnya dijadikan sebagai tempat ‘nonton bareng'.
Dengan Bu Semi, istrinya, kami disambut ramah. Tak hanya itu, setiap malam selalu terhidang kopi atau teh ditemani penganan khas dusun semacam jagung atau singkong rebus. Kadang kami jadi tak enak hati hati. Udah nonton gratis, mengganggu jam tidur keluarga sederhana ini dan menghabiskan makanannya.
Suatu ketika, tak satupun orang yang nonton karena hari itu memang sangat melelahkan. Kami baru saja menyelesaikan proyek pengerasan jalan hingga batas dusun seberang. Sukidi merasa ‘kehilangan’. Berkali-kali ia membunyikan kentongan di pos ronda depan rumahnya. Barangkali untuk mengingatkan bahwa jam nonton bareng sudah tiba. Tak satupun dari kami yang menampakkan batang hidung.
Hari berikutnya baru kami bisa berkumpul kembali. Sebenarnya Piala Dunia bukanlah yang terpenting. Tetapi komunitas yang tercipta karena jauh lebih penting. Acara nonton bareng itu sendiri bisa jadi ajang kongkow-kongkow dan membicarakan banyak hal. Menyelesaikan masalah iuran di dusun, merencanakan sambatan (gotong royong) memperbaiki rumah warga yang rusak, siskamling dan sebagainya. Dan Sukidi telah menjadi fasilitator dalam hal ini. Keikhlasannya amat berkesan.
Kini aku menikmati Piala Dunia sendirian. Istri tidur karena sama sekali tak suka denga bola. Tak ada teman bersorak ketika gol terjadi. Tak ada teman ngobrol lagi. Seandainya….
Monday, June 12, 2006
PALALANGON, POTRET KOMUNITAS KRISTEN DI TATAR SUNDA
Palalangon menjadi kampung Kristen yang eksis di tengah suku Sunda yang Islami. Penduduknya menjunjung tinggi warisan leluhur dan mencantumkan marga di belakang namanya.
Tak sulit menebak jika ada orang yang menggunakan nama belakang Simanjuntak atau Situmorang. Bisa dipastikan mereka beretnis Batak. Atau jika menggunakan marga Wattimena dan Marantika. Mereka pasti berasal dari Maluku. Tapi jika nama marga seperti Markhasan, Dantji dan Masad yang disebut, coba tebak dari manakah mereka berasal?
Sedikit orang yang tahu bahwa mereka adalah orang-orang Sunda. Demi menjaga tradisi leluhur, komunitas Kristen yang berada di wilayah Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, menerapkan sistem marga ini dalam kehidupan sosial-kemasyarakatannya. “Sistem kekerabatan ini sudah berlangsung lama, bahkan sejak generasi pertama orang Kristen datang ke wilayah ini,” papar Yohanes Taruno (55), majelis jemaat Gereja Kristen Pasundan (GKP) Sindangjaya.
Menurut Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan GKP Palalangon (disusun oleh Pdt. Alex Fernando Banua, S.Th.), kekristenan di Ciranjang merupakan hasil pelayanan Nederlandsche Zendings Vereeniging (NZV), sebuah lembaga misi pekabaran Injil yang berkedudukan di Rotterdam, Belanda nun di tahun 1901. Karena prihatin dengan kondisi komunitas orang Kristen pribumi, dalam hal ini orang Sunda, NZV mengutus B. M. Alkema untuk mencari lahan yang cocok untuk pemukiman jemaat. Ekspedisi untuk menemukan lahan pemukiman itu dimulai dengan menyusuri aliran Sungai Citarum. Akhirnya mereka menemukan sebuah hutan untuk dijadikan lahan pemukiman dan menamainya Palalangon (menara).
GKP Palalangon adalah gereja tertua di wilayah Ciranjang. Setahun kemudian pada 1902 berdiri Gereja Kerasulan Pusaka di Rawaselang, tak jauh dari Palalangon. Dari dua gereja ini kemudian berkembang beberapa jemaat lokal baru di wilayah itu karena alasan pengembangan atau perpecahan. Kini tercatat sebelas gereja lokal yang berdiri di Ciranjang, yakni GKP Palalangon, GKP Sindangjaya, GKP Ciranjang, Gereja Kerasulan Pusaka Rawaselang, Gereja Kerasulan Baru Rawaselang, Gereja Persekutuan Injili Eliezer, GPdI Pasirnangka, Gereja Pantekosta Ciranjang, GKI Ciranjang, Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh dan Gereja Persekutuan Oikumene Indonesia (GEPKOIN).
Potret Kerukunan Beragama
Dengan motto ‘Gerbang Marhamah’ (Gerakan Membangun Masyarakat Berakhlakul Karimah), Cianjur adalah salah satu kabupaten yang menerapkan Syariat Islam. Meski demikian tidak ada gesekan dan permasalahan berarti bagi warga Nasrani di Kecamatan Ciranjang.
Potret toleransi terlihat ketika ada warga yang meninggal. Masyarakat Kristen – Muslim, bahu-membahu untuk mengurus segala keperluan dan perlengkapan hingga pemakaman dilaksanakan. “Untuk hal-hal lain seperti Pemilu misalnya, kami juga terlibat sebagai KPPS. Pada dasarnya tidak ada masalah dalam hubungan dengan umat Muslim, padahal Syariat Islam telah diterapkan di Kabupaten Cianjur” tegas Hendra Tirtadinata Dantji (34), yang juga majelis jemaat di GKP Sindangjaya.
Bahkan di tingkat Desa Sindangjaya, pemerintah memfasilitasi dibentuknya forum Majelis Gereja (MG), sebuah lembaga yang setara dengan MUI. “Rasanya ini satu-satunya di Jawa Barat, atau mungkin di Indonesia,” imbuh Hendra. Lembaga ini menjadi mediator antara anggota jemaat dengan aparat pemerintahan desa. Kepentingan jemaat Kristen diakomodir dalam lembaga MG ini.
Masyarakat Agraris
Sebagai kelompok Kristen yang hidup di tengah-tengah masyarakat Sunda yang berbudaya, mereka sadar betul arti memelihara warisan leluhur. Mereka, misalnya, masih mempertahankan tradisi ‘Sedekah Bumi’ (pesta panen) yang lazim dirayakan kebanyakan orang Sunda. Perayaan setiap 13 Juni ini sekaligus diperingati sebagai hari ‘Kabudalan’ atau masuknya kekristenan ke wilayah itu.
80% jemaat yang tersebar di Desa Kertajaya dan Sindangjaya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Meski ada beberapa yang berwiraswata dan menjadi PNS, kebanyakan jemaat berprofesi sebagai buruh tani (petani penggarap). Selama ini Cianjur dikenal khalayak sebagai lumbung padi nasional. “Tapi kami sendiri tak pernah menikmati beras Cianjur. Malah beras raskin yang kami makan,” ujar Sartinah Masad (35) seorang majelis wanita. Bantuan pemerintah berupa pupuk dan alat-alat pertanian belum pernah turun. Jadilah mereka berswadaya untuk memenuhi kebutuhan itu.
Untuk membantu perekonomian jemaat, ada sebuah lembaga pelayanan dari Bandung yang melatih kaum ibu di sejumlah gereja untuk membuat selimut. Mereka digaji dan selimut yang dihasilkan dipasarkan di Bandung. “Ini sangat menolong kami. Ibu-ibu punya kegiatan dan penghasilan” tandas Sartinah.
Menyimpan Potensi
Dalam Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan GKP Palalangon, Pdt. Alex mencatat tentang beberapa kendala yang dihadapi komunitas Kristen di Ciranjang. Tak tersedianya lapangan kerja bagi generasi muda yang sebagian besar hanya lulus SLTA, telah meningkatkan angka pengangguran. Lebih jauh Alex menyebut tentang adanya ‘tragedi anomia budaya’, sebuah situasi dilematis dimana sebuah generasi tidak mengakar pada budaya asal dan tergerus modernisasi di sisi lain. “Generasi yang seperti ini tak cukup memiliki daya saing ketika merantau ke kota,” tulis Alex lebih lanjut.
Namun Palalangon bukan tak menyimpan potensi. Desa Kristen itu jika dikelola dengan baik setidaknya akan menjadi kawasan wisata rohani yang menarik. Banyak tamu yang diharapkan berkunjung untuk mengikuti kebaktian, mengadakan retreat, pelatihan kepemimpinan dan banyak hal lain. Dengan keunikan-keunikan yang terdapat di dalamnya, wilayah ini menunggu uluran tangan-tangan investor untuk memajukan daerah Kristen di Tatar Sunda ini. Anda tertarik? (dimuat di BAHANA, Juni '06)
Palalangon menjadi kampung Kristen yang eksis di tengah suku Sunda yang Islami. Penduduknya menjunjung tinggi warisan leluhur dan mencantumkan marga di belakang namanya.
Tak sulit menebak jika ada orang yang menggunakan nama belakang Simanjuntak atau Situmorang. Bisa dipastikan mereka beretnis Batak. Atau jika menggunakan marga Wattimena dan Marantika. Mereka pasti berasal dari Maluku. Tapi jika nama marga seperti Markhasan, Dantji dan Masad yang disebut, coba tebak dari manakah mereka berasal?
Sedikit orang yang tahu bahwa mereka adalah orang-orang Sunda. Demi menjaga tradisi leluhur, komunitas Kristen yang berada di wilayah Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, menerapkan sistem marga ini dalam kehidupan sosial-kemasyarakatannya. “Sistem kekerabatan ini sudah berlangsung lama, bahkan sejak generasi pertama orang Kristen datang ke wilayah ini,” papar Yohanes Taruno (55), majelis jemaat Gereja Kristen Pasundan (GKP) Sindangjaya.
Menurut Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan GKP Palalangon (disusun oleh Pdt. Alex Fernando Banua, S.Th.), kekristenan di Ciranjang merupakan hasil pelayanan Nederlandsche Zendings Vereeniging (NZV), sebuah lembaga misi pekabaran Injil yang berkedudukan di Rotterdam, Belanda nun di tahun 1901. Karena prihatin dengan kondisi komunitas orang Kristen pribumi, dalam hal ini orang Sunda, NZV mengutus B. M. Alkema untuk mencari lahan yang cocok untuk pemukiman jemaat. Ekspedisi untuk menemukan lahan pemukiman itu dimulai dengan menyusuri aliran Sungai Citarum. Akhirnya mereka menemukan sebuah hutan untuk dijadikan lahan pemukiman dan menamainya Palalangon (menara).
GKP Palalangon adalah gereja tertua di wilayah Ciranjang. Setahun kemudian pada 1902 berdiri Gereja Kerasulan Pusaka di Rawaselang, tak jauh dari Palalangon. Dari dua gereja ini kemudian berkembang beberapa jemaat lokal baru di wilayah itu karena alasan pengembangan atau perpecahan. Kini tercatat sebelas gereja lokal yang berdiri di Ciranjang, yakni GKP Palalangon, GKP Sindangjaya, GKP Ciranjang, Gereja Kerasulan Pusaka Rawaselang, Gereja Kerasulan Baru Rawaselang, Gereja Persekutuan Injili Eliezer, GPdI Pasirnangka, Gereja Pantekosta Ciranjang, GKI Ciranjang, Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh dan Gereja Persekutuan Oikumene Indonesia (GEPKOIN).
Potret Kerukunan Beragama
Dengan motto ‘Gerbang Marhamah’ (Gerakan Membangun Masyarakat Berakhlakul Karimah), Cianjur adalah salah satu kabupaten yang menerapkan Syariat Islam. Meski demikian tidak ada gesekan dan permasalahan berarti bagi warga Nasrani di Kecamatan Ciranjang.
Potret toleransi terlihat ketika ada warga yang meninggal. Masyarakat Kristen – Muslim, bahu-membahu untuk mengurus segala keperluan dan perlengkapan hingga pemakaman dilaksanakan. “Untuk hal-hal lain seperti Pemilu misalnya, kami juga terlibat sebagai KPPS. Pada dasarnya tidak ada masalah dalam hubungan dengan umat Muslim, padahal Syariat Islam telah diterapkan di Kabupaten Cianjur” tegas Hendra Tirtadinata Dantji (34), yang juga majelis jemaat di GKP Sindangjaya.
Bahkan di tingkat Desa Sindangjaya, pemerintah memfasilitasi dibentuknya forum Majelis Gereja (MG), sebuah lembaga yang setara dengan MUI. “Rasanya ini satu-satunya di Jawa Barat, atau mungkin di Indonesia,” imbuh Hendra. Lembaga ini menjadi mediator antara anggota jemaat dengan aparat pemerintahan desa. Kepentingan jemaat Kristen diakomodir dalam lembaga MG ini.
Masyarakat Agraris
Sebagai kelompok Kristen yang hidup di tengah-tengah masyarakat Sunda yang berbudaya, mereka sadar betul arti memelihara warisan leluhur. Mereka, misalnya, masih mempertahankan tradisi ‘Sedekah Bumi’ (pesta panen) yang lazim dirayakan kebanyakan orang Sunda. Perayaan setiap 13 Juni ini sekaligus diperingati sebagai hari ‘Kabudalan’ atau masuknya kekristenan ke wilayah itu.
80% jemaat yang tersebar di Desa Kertajaya dan Sindangjaya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Meski ada beberapa yang berwiraswata dan menjadi PNS, kebanyakan jemaat berprofesi sebagai buruh tani (petani penggarap). Selama ini Cianjur dikenal khalayak sebagai lumbung padi nasional. “Tapi kami sendiri tak pernah menikmati beras Cianjur. Malah beras raskin yang kami makan,” ujar Sartinah Masad (35) seorang majelis wanita. Bantuan pemerintah berupa pupuk dan alat-alat pertanian belum pernah turun. Jadilah mereka berswadaya untuk memenuhi kebutuhan itu.
Untuk membantu perekonomian jemaat, ada sebuah lembaga pelayanan dari Bandung yang melatih kaum ibu di sejumlah gereja untuk membuat selimut. Mereka digaji dan selimut yang dihasilkan dipasarkan di Bandung. “Ini sangat menolong kami. Ibu-ibu punya kegiatan dan penghasilan” tandas Sartinah.
Menyimpan Potensi
Dalam Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan GKP Palalangon, Pdt. Alex mencatat tentang beberapa kendala yang dihadapi komunitas Kristen di Ciranjang. Tak tersedianya lapangan kerja bagi generasi muda yang sebagian besar hanya lulus SLTA, telah meningkatkan angka pengangguran. Lebih jauh Alex menyebut tentang adanya ‘tragedi anomia budaya’, sebuah situasi dilematis dimana sebuah generasi tidak mengakar pada budaya asal dan tergerus modernisasi di sisi lain. “Generasi yang seperti ini tak cukup memiliki daya saing ketika merantau ke kota,” tulis Alex lebih lanjut.
Namun Palalangon bukan tak menyimpan potensi. Desa Kristen itu jika dikelola dengan baik setidaknya akan menjadi kawasan wisata rohani yang menarik. Banyak tamu yang diharapkan berkunjung untuk mengikuti kebaktian, mengadakan retreat, pelatihan kepemimpinan dan banyak hal lain. Dengan keunikan-keunikan yang terdapat di dalamnya, wilayah ini menunggu uluran tangan-tangan investor untuk memajukan daerah Kristen di Tatar Sunda ini. Anda tertarik? (dimuat di BAHANA, Juni '06)
Wednesday, May 17, 2006
Catatan Harian
A DAY THAT INSPIRED ME...
Saya lahir dalam sebuah gereja mainstream, dibesarkan di sekolah teologi berwarna injili (meski berlabel interdenominasi), lalu melayani di gereja pentakosta-kharismatik. Di sekolah teologi, saya bertemu dengan banyak teman dari berbagai latar belakang gereja. Setelah melayani pun saya berkesempatan untuk melihat berbagai macam gereja. Ada yang tahu sedikit-sedikit, ada pula yang mencoba menengok ‘dapur’nya.
Terakhir saya mengikuti seminar ‘Relevant Leadership’ di Jakarta Praise Community Church dan digembalakan Pastor Jeffrey Rachmat. Meski dikelola orang-orang yang relativ masih muda, tetapi gurat-gurat kedewasaan nampak dalam perjalanan pelayanannya. Bagi saya, ini adalah potret gereja modern yang menginspirasi banyak hal kepada saya.
Pertama, saya tertarik dengan kejamakan kepemimpinannya. Ps. Jose Carol adalah ‘co-driver’ yang mendampingi Ps. Jeffrey dalam mengemudikan gereja ini. Lalu ada Ps. Sydney Mohede dan Ps. Jussar Badudu yang menjaga gawang Oxygen, komunitas anak muda di JPCC. Salah satu nilai yang ditanamkan dan dihidupi sejak awal adalah ‘bersama kita bisa!’ Slogannya, “As a team, you can make a hard work easier.” Mereka tidak ribut dengan siapa yang paling ‘terkenal’ di antara mereka.
Kedua, kedewasaan jemaat dalam memberi. Gereja ini tidak memiliki kantong persembahan, seperti yang digunakan gereja kebanyakan. Tapi mereka menyediakan beberapa kotak Persembahan di sudut-sudut ruang ibadah dan jemaat bebas memberi kapan saja mereka mau. Jemaat yang memberi persembahan dengan debit card pun disediakan fasilitasnya. Dalam liturgi, tidak ada waktu khusus untuk memberi persembahan. Mereka dibiasakan untuk memberi sesaat setelah mereka datang ke gereja. Atau yang belum sempat, bisa memberi setelah selesai ibadah.
Ketiga, antusiasme jemaat untuk terlibat dalam pelayanan. Pernah membayangkan pimpinan bank atau manager sebuah perusahaan menjadi tukang parkir? Rasanya hanya ada di cerita sinetron. Di JPCC hal ini terjadi. Status tak menghalangi siapapun untuk melayani dalam bidang pelayanan apapun. Mereka memandang bahwa semua jenis pelayanan adalah setara levelnya di hadapan Allah. Yang berkhotbah tidak lebih tinggi nilainya dari yang memarkir mobil. Yang memimpin pujian tidak lebih rohani dari operator lift. Pekerjaan terbaik bisa dipersembahkan kepada Tuhan dalam bidang apa saja. Sebuah pemahaman yang mendalam terhadap konsep tubuh Kristus.
Gereja ideal? Mungkin. Tapi belum tentu nilai-nilainya bisa diterapkan di konteks yang berbeda. Setiap jemaat memiliki karakter berbeda. Dan perlu cara berbeda juga untuk mendekatinya. What a mature church...
A DAY THAT INSPIRED ME...
Saya lahir dalam sebuah gereja mainstream, dibesarkan di sekolah teologi berwarna injili (meski berlabel interdenominasi), lalu melayani di gereja pentakosta-kharismatik. Di sekolah teologi, saya bertemu dengan banyak teman dari berbagai latar belakang gereja. Setelah melayani pun saya berkesempatan untuk melihat berbagai macam gereja. Ada yang tahu sedikit-sedikit, ada pula yang mencoba menengok ‘dapur’nya.
Terakhir saya mengikuti seminar ‘Relevant Leadership’ di Jakarta Praise Community Church dan digembalakan Pastor Jeffrey Rachmat. Meski dikelola orang-orang yang relativ masih muda, tetapi gurat-gurat kedewasaan nampak dalam perjalanan pelayanannya. Bagi saya, ini adalah potret gereja modern yang menginspirasi banyak hal kepada saya.
Pertama, saya tertarik dengan kejamakan kepemimpinannya. Ps. Jose Carol adalah ‘co-driver’ yang mendampingi Ps. Jeffrey dalam mengemudikan gereja ini. Lalu ada Ps. Sydney Mohede dan Ps. Jussar Badudu yang menjaga gawang Oxygen, komunitas anak muda di JPCC. Salah satu nilai yang ditanamkan dan dihidupi sejak awal adalah ‘bersama kita bisa!’ Slogannya, “As a team, you can make a hard work easier.” Mereka tidak ribut dengan siapa yang paling ‘terkenal’ di antara mereka.
Kedua, kedewasaan jemaat dalam memberi. Gereja ini tidak memiliki kantong persembahan, seperti yang digunakan gereja kebanyakan. Tapi mereka menyediakan beberapa kotak Persembahan di sudut-sudut ruang ibadah dan jemaat bebas memberi kapan saja mereka mau. Jemaat yang memberi persembahan dengan debit card pun disediakan fasilitasnya. Dalam liturgi, tidak ada waktu khusus untuk memberi persembahan. Mereka dibiasakan untuk memberi sesaat setelah mereka datang ke gereja. Atau yang belum sempat, bisa memberi setelah selesai ibadah.
Ketiga, antusiasme jemaat untuk terlibat dalam pelayanan. Pernah membayangkan pimpinan bank atau manager sebuah perusahaan menjadi tukang parkir? Rasanya hanya ada di cerita sinetron. Di JPCC hal ini terjadi. Status tak menghalangi siapapun untuk melayani dalam bidang pelayanan apapun. Mereka memandang bahwa semua jenis pelayanan adalah setara levelnya di hadapan Allah. Yang berkhotbah tidak lebih tinggi nilainya dari yang memarkir mobil. Yang memimpin pujian tidak lebih rohani dari operator lift. Pekerjaan terbaik bisa dipersembahkan kepada Tuhan dalam bidang apa saja. Sebuah pemahaman yang mendalam terhadap konsep tubuh Kristus.
Gereja ideal? Mungkin. Tapi belum tentu nilai-nilainya bisa diterapkan di konteks yang berbeda. Setiap jemaat memiliki karakter berbeda. Dan perlu cara berbeda juga untuk mendekatinya. What a mature church...
Friday, May 05, 2006
John Peter Simanungkalit
MENGGALI POTENSI DARI TUMPUKAN SAMPAH
Bagi kebanyakan orang, sampah adalah barang menjijikkan dan patut dibuang. Tidak begitu buat John Peter. Ia malah menemukan potensi dirinya melalui sisa-sisa barang yang dipulungnya itu.
Berangkat dari pelayanan sosial yang dikembangkan gerejanya, John mengumpulkan dan membina para pemulung sampah di Bandung Timur. Bukan hanya melayani mereka secara rohani, pria berdarah Batak ini juga membekali mereka dengan ketrampilan mengelola sampah.
Semuanya berawal pada tahun 1989. Ia mendapat informasi bahwa harga gabah waktu itu Rp. 600,- per kilogram, sementara harga sampah plastik Rp. 1000,- per kilogram. “Saya melihat nilai ekonomi yang tinggi dari sampah itu,” ujarnya. Ide briliannya ini kemudian mengantarnya menjadi pengusaha biji plastik yang sukses. Kisah suksesnya telah menarik banyak perhatian stasiun televisi. Di antaranya adalah program ‘Maestro’ di Metro TV yang ingin mengeksposnya. John sendiri menolak tawaran itu. “Ah, saya ini kan bukan maestro,” ungkapnya.
Low Profile
Meski sukses, John tetaplah sosok yang sederhana. Kantornya yang berada di dekat tumpukan sampah tak dilengkapi pendingin ruangan. Dindingnya terbuat dari triplek. Agar tak menimbulkan suara berisik ketika tertiup angin, pintu kantor diganjalnya dengan sebongkah bata. Ia mengaku bahwa semuanya ini hanyalah masalah perhitungan, bukan karena faktor ketidakmampuan. Pelajaran ini didapatnya semasa ia tinggal di sebuah keluarga keturunan Tionghoa di Cirebon. Dengan ‘perhitungan’ itu pula, ayah dua anak ini lebih memilih untuk mengontrak rumah daripada memiliki rumah sendiri. Ia juga merelakan 16 mobil dan truk bagi karyawannya.
Dengan begitu, ia tak lagi perlu mengeluarkan gaji sopir, ongkos pemeliharaan, bahan bakar dan pajak kendaraan. Sopirnya yang senang memiliki mobil baru, diharapkan semakin bersemangat menyuplainya sampah. “Buat istri dan anak-anak, Anvanza cukuplah,” imbuhnya.
“Saya hanya tinggal 8 jam sehari di rumah. Kebanyakan waktunya juga dipakai istirahat. Sayang sekali kalau punya rumah sendiri dengan biaya yang mahal, tetapi tak dinikmati,” papar jemaat GKKD Bandung ini. John bukan tak mampu beli rumah. Ia sendiri adalah seorang developer yang telah membangun ratusan unit rumah di beberapa kompleks perumahan di Bandung. Di bilangan Cipamokolan Bandung, ia tengah membangun kompleks perumahan Batu Karang Residence dan Batu Karang Sentosa.
Keuletan Kunci Sukses
Sebagai pengusaha, John terkenal ulet. Berkali-kali ia dicurangi karyawannya. Barang-barangnya dicuri. Bahkan suatu kali kebakaran hebat menghabiskan barang dan tempat kerjanya. John bergeming. Ia meyakini betul bahwa potensinya adalah menjadi pengusaha sampah. Pelan-pelan ia merintis lagi usahanya ini sampai menuai sukses berikutnya. Ia percaya bahwa semua ini adalah visi Tuhan yang diberikan kepadanya. Ia lalu mengutip sebuah ayat dalam Amsal, “Berkat Tuhanlah yang menjadikan kaya, susah payah takkan menambahinya.”
Kisah suksesnya tak lepas dari peran keluarganya. Niniek Maryani, istrinya yang asli Karanganyar – Jateng, diakuinya telah memberi banyak kontribusi bagi keberhasilannya. Hubungan harmonis yang terjalin di rumah, telah memberinya ide-ide cemerlang bagi pengembangan pekerjaannya. Sejak pacaran, keduanya telah memahami apa arti sebuah kesepakatan.
Meski telah berada di puncak sukses, John mengaku belum puas dengan pencapaiannya. Bukan berarti tak mengucap syukur, tetapi ia percaya bahwa Tuhan belum menyuruhnya berhenti. Ia memiliki obsesi agar lebih banyak pengusaha berpotensi seperti dirinya yang mengasihi Tuhan. Dengan begitu akan lebih banyak angkatan kerja yang diberkati melalui apa yang dilakukannya. Ia juga ingin membantu pelayanan hamba-hamba Tuhan di daerah dengan lembaga Forum Positiv yang dikelolanya bersama beberapa rekan. Begitulah John Peter yang menggali potensinya dari timbunan sampah. (Dimuat di BAHANA, Juni ’05).
MENGGALI POTENSI DARI TUMPUKAN SAMPAH
Bagi kebanyakan orang, sampah adalah barang menjijikkan dan patut dibuang. Tidak begitu buat John Peter. Ia malah menemukan potensi dirinya melalui sisa-sisa barang yang dipulungnya itu.
Berangkat dari pelayanan sosial yang dikembangkan gerejanya, John mengumpulkan dan membina para pemulung sampah di Bandung Timur. Bukan hanya melayani mereka secara rohani, pria berdarah Batak ini juga membekali mereka dengan ketrampilan mengelola sampah.
Semuanya berawal pada tahun 1989. Ia mendapat informasi bahwa harga gabah waktu itu Rp. 600,- per kilogram, sementara harga sampah plastik Rp. 1000,- per kilogram. “Saya melihat nilai ekonomi yang tinggi dari sampah itu,” ujarnya. Ide briliannya ini kemudian mengantarnya menjadi pengusaha biji plastik yang sukses. Kisah suksesnya telah menarik banyak perhatian stasiun televisi. Di antaranya adalah program ‘Maestro’ di Metro TV yang ingin mengeksposnya. John sendiri menolak tawaran itu. “Ah, saya ini kan bukan maestro,” ungkapnya.
Low Profile
Meski sukses, John tetaplah sosok yang sederhana. Kantornya yang berada di dekat tumpukan sampah tak dilengkapi pendingin ruangan. Dindingnya terbuat dari triplek. Agar tak menimbulkan suara berisik ketika tertiup angin, pintu kantor diganjalnya dengan sebongkah bata. Ia mengaku bahwa semuanya ini hanyalah masalah perhitungan, bukan karena faktor ketidakmampuan. Pelajaran ini didapatnya semasa ia tinggal di sebuah keluarga keturunan Tionghoa di Cirebon. Dengan ‘perhitungan’ itu pula, ayah dua anak ini lebih memilih untuk mengontrak rumah daripada memiliki rumah sendiri. Ia juga merelakan 16 mobil dan truk bagi karyawannya.
Dengan begitu, ia tak lagi perlu mengeluarkan gaji sopir, ongkos pemeliharaan, bahan bakar dan pajak kendaraan. Sopirnya yang senang memiliki mobil baru, diharapkan semakin bersemangat menyuplainya sampah. “Buat istri dan anak-anak, Anvanza cukuplah,” imbuhnya.
“Saya hanya tinggal 8 jam sehari di rumah. Kebanyakan waktunya juga dipakai istirahat. Sayang sekali kalau punya rumah sendiri dengan biaya yang mahal, tetapi tak dinikmati,” papar jemaat GKKD Bandung ini. John bukan tak mampu beli rumah. Ia sendiri adalah seorang developer yang telah membangun ratusan unit rumah di beberapa kompleks perumahan di Bandung. Di bilangan Cipamokolan Bandung, ia tengah membangun kompleks perumahan Batu Karang Residence dan Batu Karang Sentosa.
Keuletan Kunci Sukses
Sebagai pengusaha, John terkenal ulet. Berkali-kali ia dicurangi karyawannya. Barang-barangnya dicuri. Bahkan suatu kali kebakaran hebat menghabiskan barang dan tempat kerjanya. John bergeming. Ia meyakini betul bahwa potensinya adalah menjadi pengusaha sampah. Pelan-pelan ia merintis lagi usahanya ini sampai menuai sukses berikutnya. Ia percaya bahwa semua ini adalah visi Tuhan yang diberikan kepadanya. Ia lalu mengutip sebuah ayat dalam Amsal, “Berkat Tuhanlah yang menjadikan kaya, susah payah takkan menambahinya.”
Kisah suksesnya tak lepas dari peran keluarganya. Niniek Maryani, istrinya yang asli Karanganyar – Jateng, diakuinya telah memberi banyak kontribusi bagi keberhasilannya. Hubungan harmonis yang terjalin di rumah, telah memberinya ide-ide cemerlang bagi pengembangan pekerjaannya. Sejak pacaran, keduanya telah memahami apa arti sebuah kesepakatan.
Meski telah berada di puncak sukses, John mengaku belum puas dengan pencapaiannya. Bukan berarti tak mengucap syukur, tetapi ia percaya bahwa Tuhan belum menyuruhnya berhenti. Ia memiliki obsesi agar lebih banyak pengusaha berpotensi seperti dirinya yang mengasihi Tuhan. Dengan begitu akan lebih banyak angkatan kerja yang diberkati melalui apa yang dilakukannya. Ia juga ingin membantu pelayanan hamba-hamba Tuhan di daerah dengan lembaga Forum Positiv yang dikelolanya bersama beberapa rekan. Begitulah John Peter yang menggali potensinya dari timbunan sampah. (Dimuat di BAHANA, Juni ’05).
Tuesday, May 02, 2006
Yonas Pasiran Adi Prayitno, S.PAK.
MENDISIPLIN DIRI,
MENGENCANGKAN IKAT PINGGANG
Demi penghematan, ia menjual ikan dan burung kesayangannya. Anak-anaknya tak pernah jajan. Istrinya tak bisa menggunakan ponsel.
Panggilan hidup kadang memang menuntut pengorbanan dan kesetiaan. Untuk alasan itulah Yonas menekuni profesinya sebagai guru agama Kristen, meskipun secara finansial tak menjanjikan. Selama belasan tahun ia mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan Kristen di sebuah SMU Negeri di Bandung.
“Ya, memang saya ini tenaga honorer. Tapi bisa mengajar saja sudah syukur di Jawa Barat ini. Prosesnya panjang sekali sampai saya bisa diterima di sekolah ini,” ungkap pria berkumis asal Pati ini. Hingga kini masih banyak teman-teman seperjuangannya yang tidak bisa mengajar di dalam sekolah. Biasanya jika ada siswa yang beragama Kristen, untuk mendapatkan nilai, sekolah mewajibkan memintanya di gereja. Kegiatan belajar-mengajar pun tak bisa berlangsung di sekolah. Sudah menjadi rahasia umum jika diskriminasi masih terjadi dan menimpa guru agama Kristen.
Beruntung Yonas mendapat ‘fasilitas’ yang lebih baik. Ia bisa mengajar di ruang kelas dengan jadwal reguler seperti pelajaran agama yang lain. Iapun berhak menjadi anggota koperasi di sekolah tempatnya mengajar dan mengenakan setelan safari selayaknya pahlawan tanpa tanda jasa.
PENGHASILAN PAS-PASAN
Honor? Jangan ditanya. “Sebetulnya kalau berbicara masalah uang , guru agama, apalagi di (sekolah) negeri, itu kan istilahnya hanya ‘kerja bakti.’ Kalau ada honorpun hanya cukup untuk mengganti uang transport. Berbeda dengan guru swasta yang nasibnya mungkin lebih baik,” papar suami Eko Aprilianti Purwaningrum ini. Selain mendapat honor dari sekolah, Yonas juga mendapat ‘berkat’ tambahan yang jumlahnya hampir sama dari PGPK, sebuah wadah persekutuan gereja-gereja di Bandung, yang diterimanya rutin setiap bulan. Dengan uang itu praktis ia tak bisa mencukupi kebutuhan istri dan kedua anaknya.
USAHA SAMPINGAN
Dibantu istrinya yang juga lulusan pendidikan agama Kristen, Yonas merintis sebuah bimbingan belajar di rumah kontrakannya. “Usaha ini kan masih bergerak di bidang pendidikan juga, jadi saya nikmati lah,” paparnya. Ia kemudian menamai bimbingan belajarnya dengan “YONEKO.” Nama ini merupakan gabungan nama pasangan ini, Yonas dan Eko. Tak hanya dari lingkungan perumahan tempatnya tinggal, peserta bimbingan belajarnya berasal dari daerah-daerah lain di Bandung. Yonas pun menyempatkan diri untuk mendatangi rumah-rumah jika yang ada siswa yang ingin diajar secara privat.
Yonas meyakini bahwa usaha ini adalah cara lain yang Tuhan sediakan untuk memelihara kehidupan mereka. Ayah dari Maya Citra Dewi (13) dan Marzella Paskalia Singer (8) inipun percaya bahwa apa yang ia nikmati sekarang adalah campur tangan Tuhan sebagai buah dari kesetiaannya untuk tetap eksis di jalur pendidikan Kristen. Tuhan punya banyak cara untuk menolong umatNya. Itulah keyakinan Yonas.
BERTANGGUNG JAWAB MENGELOLA BERKAT
Mengingat penghasilannya tidak berlimpah, Yonas menerapkan disiplin yang ketat dalam masalah keuangan di dalam keluarganya. Hal ini dilakukannya sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap berkat Tuhan yang diterimanya. Selain untuk kebutuhan keluarga sehari-hari, alokasi keuangannya diprioritaskan kepada pendidikan kedua putrinya. Apalagi sesudah BBM naik Oktober silam, pengeluaran menjadi bertambah sedangkan pemasukannya tetap. “Semua burung dan ikan kesukaan saya sudah saya jual untuk menghemat pengeluaran. Saya tak pernah jalan-jalan dan makan di luar,” lanjutnya. Hingga kini, istrinya tak bisa mengoperasikan HP. Bukan karena tidak mampu membeli, alasan satu-satunya adalah demi penghematan. Sejak dini, kebiasaan berhemat sudah ia ajarkan kepada anak-anaknya. Ia melarang mereka jajan dan menggantinya dengan bekal makanan kecil dari rumah.Berkat kedisiplinan dan keuletannya, Yonas kini mampu membeli rumah yang dulu dikontraknya. Pun sebuah motor yang setia mengantarnya mengajar. Bahkan kuliah adiknyapun ia yang membiayai. Sebuah teladan dan pelajaran berharga bagi kita yang selama ini selalu berkata tidak cukup. (dimuat di BAHANA, Februari '06)
MENDISIPLIN DIRI,
MENGENCANGKAN IKAT PINGGANG
Demi penghematan, ia menjual ikan dan burung kesayangannya. Anak-anaknya tak pernah jajan. Istrinya tak bisa menggunakan ponsel.
Panggilan hidup kadang memang menuntut pengorbanan dan kesetiaan. Untuk alasan itulah Yonas menekuni profesinya sebagai guru agama Kristen, meskipun secara finansial tak menjanjikan. Selama belasan tahun ia mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan Kristen di sebuah SMU Negeri di Bandung.
“Ya, memang saya ini tenaga honorer. Tapi bisa mengajar saja sudah syukur di Jawa Barat ini. Prosesnya panjang sekali sampai saya bisa diterima di sekolah ini,” ungkap pria berkumis asal Pati ini. Hingga kini masih banyak teman-teman seperjuangannya yang tidak bisa mengajar di dalam sekolah. Biasanya jika ada siswa yang beragama Kristen, untuk mendapatkan nilai, sekolah mewajibkan memintanya di gereja. Kegiatan belajar-mengajar pun tak bisa berlangsung di sekolah. Sudah menjadi rahasia umum jika diskriminasi masih terjadi dan menimpa guru agama Kristen.
Beruntung Yonas mendapat ‘fasilitas’ yang lebih baik. Ia bisa mengajar di ruang kelas dengan jadwal reguler seperti pelajaran agama yang lain. Iapun berhak menjadi anggota koperasi di sekolah tempatnya mengajar dan mengenakan setelan safari selayaknya pahlawan tanpa tanda jasa.
PENGHASILAN PAS-PASAN
Honor? Jangan ditanya. “Sebetulnya kalau berbicara masalah uang , guru agama, apalagi di (sekolah) negeri, itu kan istilahnya hanya ‘kerja bakti.’ Kalau ada honorpun hanya cukup untuk mengganti uang transport. Berbeda dengan guru swasta yang nasibnya mungkin lebih baik,” papar suami Eko Aprilianti Purwaningrum ini. Selain mendapat honor dari sekolah, Yonas juga mendapat ‘berkat’ tambahan yang jumlahnya hampir sama dari PGPK, sebuah wadah persekutuan gereja-gereja di Bandung, yang diterimanya rutin setiap bulan. Dengan uang itu praktis ia tak bisa mencukupi kebutuhan istri dan kedua anaknya.
USAHA SAMPINGAN
Dibantu istrinya yang juga lulusan pendidikan agama Kristen, Yonas merintis sebuah bimbingan belajar di rumah kontrakannya. “Usaha ini kan masih bergerak di bidang pendidikan juga, jadi saya nikmati lah,” paparnya. Ia kemudian menamai bimbingan belajarnya dengan “YONEKO.” Nama ini merupakan gabungan nama pasangan ini, Yonas dan Eko. Tak hanya dari lingkungan perumahan tempatnya tinggal, peserta bimbingan belajarnya berasal dari daerah-daerah lain di Bandung. Yonas pun menyempatkan diri untuk mendatangi rumah-rumah jika yang ada siswa yang ingin diajar secara privat.
Yonas meyakini bahwa usaha ini adalah cara lain yang Tuhan sediakan untuk memelihara kehidupan mereka. Ayah dari Maya Citra Dewi (13) dan Marzella Paskalia Singer (8) inipun percaya bahwa apa yang ia nikmati sekarang adalah campur tangan Tuhan sebagai buah dari kesetiaannya untuk tetap eksis di jalur pendidikan Kristen. Tuhan punya banyak cara untuk menolong umatNya. Itulah keyakinan Yonas.
BERTANGGUNG JAWAB MENGELOLA BERKAT
Mengingat penghasilannya tidak berlimpah, Yonas menerapkan disiplin yang ketat dalam masalah keuangan di dalam keluarganya. Hal ini dilakukannya sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap berkat Tuhan yang diterimanya. Selain untuk kebutuhan keluarga sehari-hari, alokasi keuangannya diprioritaskan kepada pendidikan kedua putrinya. Apalagi sesudah BBM naik Oktober silam, pengeluaran menjadi bertambah sedangkan pemasukannya tetap. “Semua burung dan ikan kesukaan saya sudah saya jual untuk menghemat pengeluaran. Saya tak pernah jalan-jalan dan makan di luar,” lanjutnya. Hingga kini, istrinya tak bisa mengoperasikan HP. Bukan karena tidak mampu membeli, alasan satu-satunya adalah demi penghematan. Sejak dini, kebiasaan berhemat sudah ia ajarkan kepada anak-anaknya. Ia melarang mereka jajan dan menggantinya dengan bekal makanan kecil dari rumah.Berkat kedisiplinan dan keuletannya, Yonas kini mampu membeli rumah yang dulu dikontraknya. Pun sebuah motor yang setia mengantarnya mengajar. Bahkan kuliah adiknyapun ia yang membiayai. Sebuah teladan dan pelajaran berharga bagi kita yang selama ini selalu berkata tidak cukup. (dimuat di BAHANA, Februari '06)
Monday, May 01, 2006
Pdt. dr. Rebekka Loanita Zakaria
SEBERKAS HARAPAN DARI BALIK JERUJI PENJARA
Vonis kontroversial yang dijatuhkan PN Indramayu, Jabar, tak membuatnya patah arang. Meyakini bahwa keyakinan iman kadang-kadang membutuhkan pengorbanan. Dari balik jeruji penjara yang memisahkannya dengan profesi, keluarga dan jemaat, ia masih melihat seberkas harapan untuk menjalani hari-hari sulitnya.
Hari-hari dr. Rebekka kini dilalui di dalam pengapnya lembaga pemasyarakatan Indaramayu, Jawa Barat. Bersama dua rekan sepelayanan yang lain, Eti dan Ratna, ia harus meringkuk di hotel prodeo itu tiga tahun lamanya. Karena masalah kriminalitas? Bukan. Ketiga ibu rumah tangga itu mengajak anak-anak, beberapa diantaranya bukan beragama Kristen, untuk mengikuti kegiatan Minggu Ceria yang melatih anak-anak dalam mengerjakan pelajaran-pelajaran sekolah. Akhirnya mereka dituduh melakukan kristenisasi, diseret ke pengadilan dan dijebloskan ke dalam penjara.
Teror dan Penjara
Selama persidangan, Rebekka terus mengalami teror dan intimidasi massa. Teriakan, “bakar dan gantung Rebekka” telah menjadi ‘menu harian’ selama menjalani sidang. “Saya sendiri tidak terlalu surprise dengan vonis ini. Demonstran terus-menerus menekan proses persidangan. Saya sudah memperkirakan kalau vonisnya akan demikian, jadi saya tabah menerimanya,” paparnya melalui ponsel Linda, putrinya. Ia mendengar dari pengacaranya bahwa hakim dan jaksa pun sudah tidak bisa berbuat banyak. Hakim yang sebenarnya tidak menemukan kesalahan apapun dalam dirinya, terpaksa menjatuhkan vonis itu di bawah tekanan massa. Persidangan selalu berjalan tidak fair karena ancaman demonstran yang memenuhi ruang sidang PN Indramayu yang sempit.
Harapan untuk mendapatkan keringanan hukuman ditempuh dokter yang melayani di Kecamatan Haurgeulis, Indramayu ini dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jabar dan juga ke Mahkamah Agung. Namun semuanya kandas. Kedua lembaga peradilan di tingkat propinsi dan pusat itu menolak bandingnya. “Yang paling sedih memang waktu di MA, karena itu harapan saya yang terakhir,” ungkap hamba Tuhan yang melayani di GKKD ini.
Dalam beberapa hari Rebekka berjuang untuk menyaput kesedihannya. Ia menyadari bahwa apa yang dialaminya berada di dalam kerangka rencana Tuhan. Iapun menguatkan kedua temannya yang terlihat shock karena tidak dikabulkannya tuntutan mereka. “Waktu saya berdoa, Tuhan memberi saya kekuatan secara khusus melalui Ibrani 6:10. Saya tahu bahwa Tuhan bukannya tidak adil. IA mengerti apa yang saya kerjakan,” tegasnya.
Dukungan Keluarga
Dalam kamus hidup Rebekka, keyakinan iman bukanlah sesuatu yang sekedar diucapkan, melainkan membutuhkan pengorbanan. Dukungan dari luar terus mengalir untuk menguatkan ibu tiga putri ini. Jemaat yang setia mendoakan dan mengunjunginya. Apalagi dari suami dan ketiga putrinya. “Mereka mendampingi saya sedemikian rupa, sehingga saya tidak down. Jemaatpun dikuatkan dan tidak mundur rohaninya. Mereka tetap setia,” ujarnya.
Rebekka menandaskan bahwa bukanlah sesuatu yang aneh jika orang Kristen harus menderita. “Saya sendiri tetap berpedang teguh dan melekat kepada Tuhan. Hanya Dialah yang memberi saya seberkas harapan, meskipun saya mengalami pengalaman pahit ini. Hidup kekal yang saya terima nanti, lebih mulia dari penderitaan badani yang sekarang saya jalani,” tandasnya.
Bagi sebagian orang, penjara bisa menjadi akhir dari sebuah cerita hidup. Tetapi bagi Rebekka, ini adalah sebuah babak yang harus dimainkan sampai ceritanya memang benar-benar selesai. (dimuat di BAHANA, Mei ’06)
SEBERKAS HARAPAN DARI BALIK JERUJI PENJARA
Vonis kontroversial yang dijatuhkan PN Indramayu, Jabar, tak membuatnya patah arang. Meyakini bahwa keyakinan iman kadang-kadang membutuhkan pengorbanan. Dari balik jeruji penjara yang memisahkannya dengan profesi, keluarga dan jemaat, ia masih melihat seberkas harapan untuk menjalani hari-hari sulitnya.
Hari-hari dr. Rebekka kini dilalui di dalam pengapnya lembaga pemasyarakatan Indaramayu, Jawa Barat. Bersama dua rekan sepelayanan yang lain, Eti dan Ratna, ia harus meringkuk di hotel prodeo itu tiga tahun lamanya. Karena masalah kriminalitas? Bukan. Ketiga ibu rumah tangga itu mengajak anak-anak, beberapa diantaranya bukan beragama Kristen, untuk mengikuti kegiatan Minggu Ceria yang melatih anak-anak dalam mengerjakan pelajaran-pelajaran sekolah. Akhirnya mereka dituduh melakukan kristenisasi, diseret ke pengadilan dan dijebloskan ke dalam penjara.
Teror dan Penjara
Selama persidangan, Rebekka terus mengalami teror dan intimidasi massa. Teriakan, “bakar dan gantung Rebekka” telah menjadi ‘menu harian’ selama menjalani sidang. “Saya sendiri tidak terlalu surprise dengan vonis ini. Demonstran terus-menerus menekan proses persidangan. Saya sudah memperkirakan kalau vonisnya akan demikian, jadi saya tabah menerimanya,” paparnya melalui ponsel Linda, putrinya. Ia mendengar dari pengacaranya bahwa hakim dan jaksa pun sudah tidak bisa berbuat banyak. Hakim yang sebenarnya tidak menemukan kesalahan apapun dalam dirinya, terpaksa menjatuhkan vonis itu di bawah tekanan massa. Persidangan selalu berjalan tidak fair karena ancaman demonstran yang memenuhi ruang sidang PN Indramayu yang sempit.
Harapan untuk mendapatkan keringanan hukuman ditempuh dokter yang melayani di Kecamatan Haurgeulis, Indramayu ini dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jabar dan juga ke Mahkamah Agung. Namun semuanya kandas. Kedua lembaga peradilan di tingkat propinsi dan pusat itu menolak bandingnya. “Yang paling sedih memang waktu di MA, karena itu harapan saya yang terakhir,” ungkap hamba Tuhan yang melayani di GKKD ini.
Dalam beberapa hari Rebekka berjuang untuk menyaput kesedihannya. Ia menyadari bahwa apa yang dialaminya berada di dalam kerangka rencana Tuhan. Iapun menguatkan kedua temannya yang terlihat shock karena tidak dikabulkannya tuntutan mereka. “Waktu saya berdoa, Tuhan memberi saya kekuatan secara khusus melalui Ibrani 6:10. Saya tahu bahwa Tuhan bukannya tidak adil. IA mengerti apa yang saya kerjakan,” tegasnya.
Dukungan Keluarga
Dalam kamus hidup Rebekka, keyakinan iman bukanlah sesuatu yang sekedar diucapkan, melainkan membutuhkan pengorbanan. Dukungan dari luar terus mengalir untuk menguatkan ibu tiga putri ini. Jemaat yang setia mendoakan dan mengunjunginya. Apalagi dari suami dan ketiga putrinya. “Mereka mendampingi saya sedemikian rupa, sehingga saya tidak down. Jemaatpun dikuatkan dan tidak mundur rohaninya. Mereka tetap setia,” ujarnya.
Rebekka menandaskan bahwa bukanlah sesuatu yang aneh jika orang Kristen harus menderita. “Saya sendiri tetap berpedang teguh dan melekat kepada Tuhan. Hanya Dialah yang memberi saya seberkas harapan, meskipun saya mengalami pengalaman pahit ini. Hidup kekal yang saya terima nanti, lebih mulia dari penderitaan badani yang sekarang saya jalani,” tandasnya.
Bagi sebagian orang, penjara bisa menjadi akhir dari sebuah cerita hidup. Tetapi bagi Rebekka, ini adalah sebuah babak yang harus dimainkan sampai ceritanya memang benar-benar selesai. (dimuat di BAHANA, Mei ’06)
Wednesday, April 12, 2006
MENYALIB DAN MENYIKSA DIRI;
DENGAN CARA ITUKAH KITA MEMERINGATI PASKAH?
Dalam kebiasaan gereja Kristen, PASKAH selalu dirayakan dengan sederhana dan tak semeriah NATAL. Alasannya bisa bermacam ragam. Bisa jadi karena alokasi keuangan yang telanjur dihabiskan Desember tahun lalu. Atau mungkin karena tradisi di bangsa kita yang tidak terbiasa atau bahkan menabukan ‘perayaan’ kematian. Kematian hendaknya ditangisi dan diratapi, bukan dirayakan. Paskah adalah peristiwa kematian penuh cucuran darah, sedangkan Natal adalah peristiwa kelahiran yang nuansanya gembira.
Di Philipina, seperti yang sering kita saksikan di layar kaca, Paskah sering dirayakan dengan cara yang unik. Ada beberapa orang yang menyediakan diri untuk disalib dan disiksa menyerupai Yesus. Mereka benar-benar dicambuk, diarak ke sebuah tempat. Kaki dan tangan mereka benar-benar dipaku. Ini bukan sebuah adegan film, tetapi realita. Dengan begitu mereka mengaku bisa lebih menghayati penderitaan dan pengorbanan yang dilakukan Kristus. Sesudah itu, iman percaya dipertebal.
SUBSTITUSI
Dalam ajaran Kristen, kesengsaraan Kristus adalah tindakanNya untuk mensubtitusi kita, orang-orang berdosa, agar terlepas dari hukuman karena dosa. Ini memang rancangan Allah sejak manusia jatuh ke dalam dosa. Penderitaan Kristus sepanjang Via Dolorosa hingga kematianNya di bukit Golgota, adalah puncak karya keselamatan Allah yang dikerjakan Kristus.
Sebenarnya kitalah yang harus memanggul salib itu. Tetapi oleh kasih karuniaNya, kita telah dibebaskan dari setiap tuntutan hukuman. Markus mencatat bahwa Anak Manusia datang untuk melayani dan menyerahkan nyawaNya menjadi tebusan (substitusi) bagi banyak orang (10:45).
Jika kita kemudian menyerahkan diri untuk disalibkan kembali, sebagai ganti siapakah penderitaan kita itu? Tidakkah kita justru menganggap remeh pengorbanan Kristus dan merasa bahwa pengorbananNya belum cukup?
PERJAMUAN KUDUS
Alkitab menandaskan bahwa satu-satunya hal yang diperintahkan Kristus untuk memperingati penderitaan dan kematianNya adalah dengan Perjamuan Kudus. Makan roti sebagai lambang tubuhNya yang disalib dan minum anggur sebagai simbol darahNya yang tercurah, kemudian dinamakan sakramen dalam gereja. “…perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku,” kata Yesus (Luk. 22:19, dan ayat-ayat sejajar). Hal yang sama juga ditegaskan Paulus kepada jemaat di Korintus (1 Kor. 11:23-25).
Itulah sebabnya kebanyakan gereja Kristen mengadakan Perjamuan Kudus setiap Jumat Agung. Bahkan secara periodik melaksanakan Perjamuan Kudus sebagai kehidupan bergereja. Ada yang seminggu sekali melakukannya, sebulan sekali atau juga tiga bulan sekali. Semuanya dilakukan dengan semangat yang sama: menjadi peringatan akan sengsara Kristus sampai kematianNya sebagai karya penyelamatan. Bukankah begitu?
DENGAN CARA ITUKAH KITA MEMERINGATI PASKAH?
Dalam kebiasaan gereja Kristen, PASKAH selalu dirayakan dengan sederhana dan tak semeriah NATAL. Alasannya bisa bermacam ragam. Bisa jadi karena alokasi keuangan yang telanjur dihabiskan Desember tahun lalu. Atau mungkin karena tradisi di bangsa kita yang tidak terbiasa atau bahkan menabukan ‘perayaan’ kematian. Kematian hendaknya ditangisi dan diratapi, bukan dirayakan. Paskah adalah peristiwa kematian penuh cucuran darah, sedangkan Natal adalah peristiwa kelahiran yang nuansanya gembira.
Di Philipina, seperti yang sering kita saksikan di layar kaca, Paskah sering dirayakan dengan cara yang unik. Ada beberapa orang yang menyediakan diri untuk disalib dan disiksa menyerupai Yesus. Mereka benar-benar dicambuk, diarak ke sebuah tempat. Kaki dan tangan mereka benar-benar dipaku. Ini bukan sebuah adegan film, tetapi realita. Dengan begitu mereka mengaku bisa lebih menghayati penderitaan dan pengorbanan yang dilakukan Kristus. Sesudah itu, iman percaya dipertebal.
SUBSTITUSI
Dalam ajaran Kristen, kesengsaraan Kristus adalah tindakanNya untuk mensubtitusi kita, orang-orang berdosa, agar terlepas dari hukuman karena dosa. Ini memang rancangan Allah sejak manusia jatuh ke dalam dosa. Penderitaan Kristus sepanjang Via Dolorosa hingga kematianNya di bukit Golgota, adalah puncak karya keselamatan Allah yang dikerjakan Kristus.
Sebenarnya kitalah yang harus memanggul salib itu. Tetapi oleh kasih karuniaNya, kita telah dibebaskan dari setiap tuntutan hukuman. Markus mencatat bahwa Anak Manusia datang untuk melayani dan menyerahkan nyawaNya menjadi tebusan (substitusi) bagi banyak orang (10:45).
Jika kita kemudian menyerahkan diri untuk disalibkan kembali, sebagai ganti siapakah penderitaan kita itu? Tidakkah kita justru menganggap remeh pengorbanan Kristus dan merasa bahwa pengorbananNya belum cukup?
PERJAMUAN KUDUS
Alkitab menandaskan bahwa satu-satunya hal yang diperintahkan Kristus untuk memperingati penderitaan dan kematianNya adalah dengan Perjamuan Kudus. Makan roti sebagai lambang tubuhNya yang disalib dan minum anggur sebagai simbol darahNya yang tercurah, kemudian dinamakan sakramen dalam gereja. “…perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku,” kata Yesus (Luk. 22:19, dan ayat-ayat sejajar). Hal yang sama juga ditegaskan Paulus kepada jemaat di Korintus (1 Kor. 11:23-25).
Itulah sebabnya kebanyakan gereja Kristen mengadakan Perjamuan Kudus setiap Jumat Agung. Bahkan secara periodik melaksanakan Perjamuan Kudus sebagai kehidupan bergereja. Ada yang seminggu sekali melakukannya, sebulan sekali atau juga tiga bulan sekali. Semuanya dilakukan dengan semangat yang sama: menjadi peringatan akan sengsara Kristus sampai kematianNya sebagai karya penyelamatan. Bukankah begitu?
MARTIR: MATI SYAHID ATAU MATI KONYOL?
‘Syahid’ adalah istilah dalam bahasa Arab untuk seorang martir atau seseorang yang mati dalam perjuangan demi membela keyakinan atau imannya. Kadang istilah syahid juga dikenakan pada para pejuang yang gugur untuk kejayaan bangsa dan negara semasa perang.
Kata ‘martir’ sendiri berasal dari istilah Gerika ‘martur’ yang berarti ‘saksi’ atau ‘orang yang memberi kesaksian’. Jadi orang Kristen mengambil ungkapan martir atau syahid dalam nuansa ‘kesaksian’ untuk sebuah tindakan, penderitaan dan pengorbanan diri mereka yang teraniaya karena memberi kesaksian tentang Yesus.
Martir yang pertama sesudah kematian Kristus dalam Perjanjian Baru adalah Stefanus (Kis 7-8). Biasanya dia disebut sebagai protomartir. Sesudah itu, orang-orang Kristen pada abad pertama – ketiga, banyak yang disalibkan oleh kekaisaran Romawi atau dijadikan mangsa bagi singa di depan umum. Ini adalah akibat kesetiaan mereka mempercayai Yesus di tengah tekanan penguasa. Mereka diakui sebagai martir karena atau syahid karena mereka tetap mengikuti ajaran Yesus dan tidak menyangkal iman mereka. Tertulianus, seorang penulis Kristen pada abad mula-mula, menyatakan bahwa, “Darah para martir adalah benih Gereja!”
Ketika Kaisar Konstantin memeluk Kristen dan seantero Roma diwajibkan mengikutinya, keadaan berubah. Orang justru dianggap mati syahid jika menolak Kaisar Roma yang memerintahkan untuk berpindah agama ke Kristen.
Sejarah terus bergulir. Dalam perjalanannya, sejarah menorehkan catatan tentang Ratu Mary I dari Inggris. Ia memerintahkan penganiayaan dan pembunuhan terhadap hampir 300 orang Protestan karena menolak untuk menyangkal iman reformis dan kembali ke Katholik Roma. Peristiwa ini dicatat dalam buku Foxe’s Book of Martyrs.
Pada abad ke-20, kembali terjadi kesyahidan orang Kristen karena berbagai sebab. Orang bukan Kristen yang meminjam tangan penguasa politik yang antipati terhadap kekristenan, telah mengakhiri hidup banyak orang percaya. Sebutlah penganiayaan di Uni Sovyet dan Republik Rakyat Cina (RRC) yang telah menimbulkan martir-martir baru. Juga rezim Taliban di Afghanistan yang telah melakukan gelombang penganiayaan, meskipun skalanya tidak terlalu luas. Di Indonesia, orang mengenal Pdt. Ishak Christian yang hangus terbakar dalam kasus pembakaran gereja di Situbondo, Jawa Timur, medio 1996. Ia dan beberapa anggota keluarganya ‘ditahbiskan’ sebagai martir menyusul peristiwa yang sering disebut ‘Kamis hitam’ kala itu.
Sebagian orang menganggap bahwa darah mereka yang mati karena membela iman telah ditumpahkan secara sia-sia. Mati konyol katanya. Tetapi sebagian lagi menganggapnya sebagai kematian yang heroik dan terhormat.
Menilik kisah Stefanus dalam sejarah gereja mula-mula, kita bisa menyimpulkan bahwa adalah sebuah karunia jika kita dipilih untuk mati dengan cara sedemikian. Dengan penuh ketulusan, Stefanus menyerahkan nyawanya sembari memohon ampun dosa-dosa para penganiayanya. Alkitab bahwa Yesus ‘berdiri’ di sebelah kanan Allah (sesuatu yang tidak lazim menurut para penafsir, karena biasanya Yesus dicatat ‘duduk’ di sebelah kanan Allah) untuk menyambut hambaNya yang setia (Kis. 7:56). Menurut tradisi, kebanyakan murid Yesus juga tidak mati ‘enak’, tetapi kebanyakan meregang nyawa setelah dipenggal, disalib terbalik, digoreng hidup-hidup, dan dengan cara mati menyakitkan yang lain.
Meski tidak semua kita dipanggil untuk mati dengan cara ini, adalah sebuah kehormatan bila kita diberi kesempatan untuk tetap mempertahankan iman sampai putus nyawa, meski penganiayaan mendera. Mari kita kembalikan kepada Dia, Pemilik hidup kita. Bahwa bagaimana cara kita mati, tidaklah terlalu menjadi soal. Kematian hanyalah sebuah jalan untuk mendapatkan kebangkitan dan memulai sebuah hidup yang baru lagi dalam kekekalan. Selamat PASKAH! (sumber: http://id.wikipedia.org)
‘Syahid’ adalah istilah dalam bahasa Arab untuk seorang martir atau seseorang yang mati dalam perjuangan demi membela keyakinan atau imannya. Kadang istilah syahid juga dikenakan pada para pejuang yang gugur untuk kejayaan bangsa dan negara semasa perang.
Kata ‘martir’ sendiri berasal dari istilah Gerika ‘martur’ yang berarti ‘saksi’ atau ‘orang yang memberi kesaksian’. Jadi orang Kristen mengambil ungkapan martir atau syahid dalam nuansa ‘kesaksian’ untuk sebuah tindakan, penderitaan dan pengorbanan diri mereka yang teraniaya karena memberi kesaksian tentang Yesus.
Martir yang pertama sesudah kematian Kristus dalam Perjanjian Baru adalah Stefanus (Kis 7-8). Biasanya dia disebut sebagai protomartir. Sesudah itu, orang-orang Kristen pada abad pertama – ketiga, banyak yang disalibkan oleh kekaisaran Romawi atau dijadikan mangsa bagi singa di depan umum. Ini adalah akibat kesetiaan mereka mempercayai Yesus di tengah tekanan penguasa. Mereka diakui sebagai martir karena atau syahid karena mereka tetap mengikuti ajaran Yesus dan tidak menyangkal iman mereka. Tertulianus, seorang penulis Kristen pada abad mula-mula, menyatakan bahwa, “Darah para martir adalah benih Gereja!”
Ketika Kaisar Konstantin memeluk Kristen dan seantero Roma diwajibkan mengikutinya, keadaan berubah. Orang justru dianggap mati syahid jika menolak Kaisar Roma yang memerintahkan untuk berpindah agama ke Kristen.
Sejarah terus bergulir. Dalam perjalanannya, sejarah menorehkan catatan tentang Ratu Mary I dari Inggris. Ia memerintahkan penganiayaan dan pembunuhan terhadap hampir 300 orang Protestan karena menolak untuk menyangkal iman reformis dan kembali ke Katholik Roma. Peristiwa ini dicatat dalam buku Foxe’s Book of Martyrs.
Pada abad ke-20, kembali terjadi kesyahidan orang Kristen karena berbagai sebab. Orang bukan Kristen yang meminjam tangan penguasa politik yang antipati terhadap kekristenan, telah mengakhiri hidup banyak orang percaya. Sebutlah penganiayaan di Uni Sovyet dan Republik Rakyat Cina (RRC) yang telah menimbulkan martir-martir baru. Juga rezim Taliban di Afghanistan yang telah melakukan gelombang penganiayaan, meskipun skalanya tidak terlalu luas. Di Indonesia, orang mengenal Pdt. Ishak Christian yang hangus terbakar dalam kasus pembakaran gereja di Situbondo, Jawa Timur, medio 1996. Ia dan beberapa anggota keluarganya ‘ditahbiskan’ sebagai martir menyusul peristiwa yang sering disebut ‘Kamis hitam’ kala itu.
Sebagian orang menganggap bahwa darah mereka yang mati karena membela iman telah ditumpahkan secara sia-sia. Mati konyol katanya. Tetapi sebagian lagi menganggapnya sebagai kematian yang heroik dan terhormat.
Menilik kisah Stefanus dalam sejarah gereja mula-mula, kita bisa menyimpulkan bahwa adalah sebuah karunia jika kita dipilih untuk mati dengan cara sedemikian. Dengan penuh ketulusan, Stefanus menyerahkan nyawanya sembari memohon ampun dosa-dosa para penganiayanya. Alkitab bahwa Yesus ‘berdiri’ di sebelah kanan Allah (sesuatu yang tidak lazim menurut para penafsir, karena biasanya Yesus dicatat ‘duduk’ di sebelah kanan Allah) untuk menyambut hambaNya yang setia (Kis. 7:56). Menurut tradisi, kebanyakan murid Yesus juga tidak mati ‘enak’, tetapi kebanyakan meregang nyawa setelah dipenggal, disalib terbalik, digoreng hidup-hidup, dan dengan cara mati menyakitkan yang lain.
Meski tidak semua kita dipanggil untuk mati dengan cara ini, adalah sebuah kehormatan bila kita diberi kesempatan untuk tetap mempertahankan iman sampai putus nyawa, meski penganiayaan mendera. Mari kita kembalikan kepada Dia, Pemilik hidup kita. Bahwa bagaimana cara kita mati, tidaklah terlalu menjadi soal. Kematian hanyalah sebuah jalan untuk mendapatkan kebangkitan dan memulai sebuah hidup yang baru lagi dalam kekekalan. Selamat PASKAH! (sumber: http://id.wikipedia.org)
Tuesday, April 04, 2006
Renungan
TANGAN ALLAH
Duduk mengamati Mbak Par membatik, membekaskan kenangan tersendiri bagiku. Sesudah meniup canthing, tangannya meliuk-liuk mengikuti pola yang telah disiapkannya. Berhati-hati sekali dan dengan ketelitian yang tinggi. Sesekali ia terdiam sambil ‘ngeluk boyok’. Mengamati kalau-kalau ada yang kurang sempurna pada pekerjaan tangannya. Setelah pegel-pegel bisa diatasi, ia melanjutkan lagi membatik.
Aku mulai menerawang. Jauh menembus kain sutra yang sedang ditorehi Mbak Par dengan cairan malam. Membayangkan bagaimana ALLAH menjadikanku. TanganNya yang sangat terampil mulai merealisasikan konsepNya yang Mahasempurna. Apakah Ia juga perlu berhenti sebentar untuk memikirkan bagian mana yang kurang? Entahlah…
Seperti kata Denmas Marto, kita ini diciptakan dalam sebuah tarian Ilahi. Sebagai ciptaan, kita ini makhluk yang muncul sebagai hasil citarasa seni Sang Khalik. Tangan ALLAH yang terampil itu telah menciptakan kita.
Lho, tapi kulitku koq hitam begini? Bibirku juga seperti terlalu tebal dan kurang proporsional. Gigi-gigiku tak teratur rapi. Berat dan tinggi badan tidak ideal. Orang-orang sering memanggilku ‘genter’ karena tinggi kurusku. Apa ini yang disebut sempurna itu? Bernilai seni tinggi? Segambar dan serupa denganNya?
Ya. ALLAH memandangnya begitu. Kita sempurna di pemandanganNya. Nilai dan citra diri kita tidak bergantung pada apa kata orang. Bukan pada kondisi fisik kita. Tetapi pada apa kata ALLAH, yang membentuk kita.
Duduk mengamati Mbak Par membatik, membekaskan kenangan tersendiri bagiku. Sesudah meniup canthing, tangannya meliuk-liuk mengikuti pola yang telah disiapkannya. Berhati-hati sekali dan dengan ketelitian yang tinggi. Sesekali ia terdiam sambil ‘ngeluk boyok’. Mengamati kalau-kalau ada yang kurang sempurna pada pekerjaan tangannya. Setelah pegel-pegel bisa diatasi, ia melanjutkan lagi membatik.
Aku mulai menerawang. Jauh menembus kain sutra yang sedang ditorehi Mbak Par dengan cairan malam. Membayangkan bagaimana ALLAH menjadikanku. TanganNya yang sangat terampil mulai merealisasikan konsepNya yang Mahasempurna. Apakah Ia juga perlu berhenti sebentar untuk memikirkan bagian mana yang kurang? Entahlah…
Seperti kata Denmas Marto, kita ini diciptakan dalam sebuah tarian Ilahi. Sebagai ciptaan, kita ini makhluk yang muncul sebagai hasil citarasa seni Sang Khalik. Tangan ALLAH yang terampil itu telah menciptakan kita.
Lho, tapi kulitku koq hitam begini? Bibirku juga seperti terlalu tebal dan kurang proporsional. Gigi-gigiku tak teratur rapi. Berat dan tinggi badan tidak ideal. Orang-orang sering memanggilku ‘genter’ karena tinggi kurusku. Apa ini yang disebut sempurna itu? Bernilai seni tinggi? Segambar dan serupa denganNya?
Ya. ALLAH memandangnya begitu. Kita sempurna di pemandanganNya. Nilai dan citra diri kita tidak bergantung pada apa kata orang. Bukan pada kondisi fisik kita. Tetapi pada apa kata ALLAH, yang membentuk kita.
Sunday, March 19, 2006
RAIH SUKSES SETELAH GAGAL
Krisis dan kegagalan dalam kehidupan akan menghasilkan 2 hal: pahlawan atau pecundang. Sejarah yang terus berputar menghasilkan krisis demi krisis yang harus dilewati tiap-tiap generasi. Ketika Indonesia diterpa krisis pada awal berdirinya, ia melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Hatta dan Sjahrir.
Tetapi Alkitab memberi catatan yang lain. Selain melahirkan tokoh, ternyata krisis juga memperkenalkan para pecundang. Adalah Yudas Iskariot, salah seorang murid Tuhan yang pada akhirnya mati mengenaskan dengan gantung diri. Akhir masa pelayanan Yesus yang penuh dengan pengalaman-pengalaman getir, telah membawa Yudas Iskariot menjadi seorang pengkhianat.
Tak seorang pun ingin menambahkan kata “kekalahan” dalam kamus hidupnya. Sebisa mungkin kosakata itu dihapuskan. Pengalaman kekalahan adalah pengalaman yang selalu dihindari. Sebaliknya setiap orang ingin keluar sebagai pemenang pada setiap pertandingan yang dihadapinya. Tapi nyatanya, pengalaman kegagalan itu sering membawa kita ke dalam krisis hidup yang tak terhindarkan. Bagaimana kiat untuk keluar sebagai pemenang setelah kita gagal?
Bersikap Positif Terhadap Kegagalan
Perspektif yang benar terhadap kegagalan akan menentukan bisa tidaknya kita keluar dari dalamnya. Bagi sebagian orang, gagal adalah ‘hantu’ yang menakutkan dan sering membuat trauma sepanjang hidup. Energi untuk bangkit dari kekalahan itu juga tiba-tiba tak kunjung muncul. Trauma itu akhirnya melahirkan mimpi buruk yang terus menerus mengahdirkan teror.
Kegagalan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Cobalah melihatnya dari sisi yang berbeda dari sisi biasanya kita melihat. Kegagalan justru bisa menjadi pemicu bagi kita untuk berbuat sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Kegagalan adalah penggalan dari peristiwa hidup yang justru menorehkan banyak makna untuk membangun strategi-strategi yang baru, asal saja kita punya sikap yang benar terhadapnya. Jadi, kegagalan bisa bermakna positif atau negatif. Semuanya bergantung pada bagaimana kita memandangnya.
Mencari Sumber Kegagalan
Langkah utama seorang dokter sebelum mencoba menyembuhkan penyakit adalah mendiagnosanya. Setelah berhasil menemukan bagian-bagian yang sakit, penanganan yang tepat dan obat-obat yang sesuai mulai disiapkan. Secara umum ada dua faktor utama penyebab kegagalan, internal dan eksternal. Kita bisa menemukannya dengan introspeksi dan observasi. Coba renungi bagian manakah yang paling banyak menyumbangkan kegagalan bagi kita. Dua langkah itu akan meminimalisir kebiasaan kita untuk mencari ‘kambing hitam’ atas setiap kegagalan kita.
Kegagalan bisa datang karena kita ceroboh atau kurang teliti dalam melakukan sesuatu. Mungkin juga karena kita tidak punya semangat juang dan motivasi atau bahkan kita tidak pernah meminta petunjuk Tuhan sebelum melakukannya. Jika faktor internal ini yang menjadi penyebab, kesediaan kita untuk mengoreksi diri dituntut di sini.
Bisa jadi juga penyebab kegagalan kita adalah karena minimnya dukungan dari orang-orang terdekat kita. Atau mungkin karena persaingan yang ekstra ketat padahal kita tidak memiliki cukup fasilitas untuk itu. Inilah faktor-faktor eksternal. Tetapi ini bukan akhir segala-galanya. Ketika kita menyadari faktor-faktor itu, masih ada kesempatan untuk membangun kembali hubungan agar ada teman-teman memberi dukungan semangat bagi kita.
Tak perlu terburu nafsu untuk menyelesaikan kendala-kendala itu sekaligus. Ada baiknya jika kita menyelesaikannya secara bertahap tapi pasti. Pada akhirnya, kemampuan kita untuk menyusun prioritas menjadi urgent dalam hal ini.
Gali Potensi Diri
Celakalah orang yang tidak mengenal kemampuannya sendiri! Kalimat ini mungkin terlalu profokatif, tetapi demikianlah adanya. Jika seseorang tidak mengerti kemampuan dirinya, ia tidak akan bisa melakukan sesuatu dengan tepat dan optimal. Dalam sebuah orkestra, seorang pianis tidak akan memaksakan diri untuk menjadi penabuh drum bukan? Mungkin kita perlu mencatat potensi apa saja yang kita miliki, yang sudah nampak maupun yang masih tersembunyi. Dari sana kita melanjutkan langkah dengan mengerjakan sesuatu semaksimal mungkin.
Tangkap Peluang dan Lakukan Sesuatu
Berdiam dan mengutuki nasib tak akan mengubah keadaan. Kejelian kita menangkap sebuah kesempatan lebih mendesak untuk dipenuhi. Kesempatanpun tak datang begitu saja tanpa kita mencarinya. Begitu kita mendapatkannya, tangkap dan gunakanlah sebaik-baiknya. Gunakanlah kesempatan itu seakan-akan itu peluang terakhir bagi kita, dan jika kita tidak melakukannya, semuanya akan berlalu.
Selesai? Tidak semudah itu. Last but not least, nasihat-nasihat Alkitab berikut layak dicermati dan dijadikan pegangan:
“Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh daripada TUHAN!” (Yeremia 17:5).
“Bagi Dialah, yang dapat melakukan lebih banyak daripada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita” (Efesus 3:20).
Mari keluar dari krisis yang membawa kepada kegagalan, balikkan keadaan itu menjadi peluang bagi kita keluar sebagai pemenang.
Krisis dan kegagalan dalam kehidupan akan menghasilkan 2 hal: pahlawan atau pecundang. Sejarah yang terus berputar menghasilkan krisis demi krisis yang harus dilewati tiap-tiap generasi. Ketika Indonesia diterpa krisis pada awal berdirinya, ia melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Hatta dan Sjahrir.
Tetapi Alkitab memberi catatan yang lain. Selain melahirkan tokoh, ternyata krisis juga memperkenalkan para pecundang. Adalah Yudas Iskariot, salah seorang murid Tuhan yang pada akhirnya mati mengenaskan dengan gantung diri. Akhir masa pelayanan Yesus yang penuh dengan pengalaman-pengalaman getir, telah membawa Yudas Iskariot menjadi seorang pengkhianat.
Tak seorang pun ingin menambahkan kata “kekalahan” dalam kamus hidupnya. Sebisa mungkin kosakata itu dihapuskan. Pengalaman kekalahan adalah pengalaman yang selalu dihindari. Sebaliknya setiap orang ingin keluar sebagai pemenang pada setiap pertandingan yang dihadapinya. Tapi nyatanya, pengalaman kegagalan itu sering membawa kita ke dalam krisis hidup yang tak terhindarkan. Bagaimana kiat untuk keluar sebagai pemenang setelah kita gagal?
Bersikap Positif Terhadap Kegagalan
Perspektif yang benar terhadap kegagalan akan menentukan bisa tidaknya kita keluar dari dalamnya. Bagi sebagian orang, gagal adalah ‘hantu’ yang menakutkan dan sering membuat trauma sepanjang hidup. Energi untuk bangkit dari kekalahan itu juga tiba-tiba tak kunjung muncul. Trauma itu akhirnya melahirkan mimpi buruk yang terus menerus mengahdirkan teror.
Kegagalan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Cobalah melihatnya dari sisi yang berbeda dari sisi biasanya kita melihat. Kegagalan justru bisa menjadi pemicu bagi kita untuk berbuat sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Kegagalan adalah penggalan dari peristiwa hidup yang justru menorehkan banyak makna untuk membangun strategi-strategi yang baru, asal saja kita punya sikap yang benar terhadapnya. Jadi, kegagalan bisa bermakna positif atau negatif. Semuanya bergantung pada bagaimana kita memandangnya.
Mencari Sumber Kegagalan
Langkah utama seorang dokter sebelum mencoba menyembuhkan penyakit adalah mendiagnosanya. Setelah berhasil menemukan bagian-bagian yang sakit, penanganan yang tepat dan obat-obat yang sesuai mulai disiapkan. Secara umum ada dua faktor utama penyebab kegagalan, internal dan eksternal. Kita bisa menemukannya dengan introspeksi dan observasi. Coba renungi bagian manakah yang paling banyak menyumbangkan kegagalan bagi kita. Dua langkah itu akan meminimalisir kebiasaan kita untuk mencari ‘kambing hitam’ atas setiap kegagalan kita.
Kegagalan bisa datang karena kita ceroboh atau kurang teliti dalam melakukan sesuatu. Mungkin juga karena kita tidak punya semangat juang dan motivasi atau bahkan kita tidak pernah meminta petunjuk Tuhan sebelum melakukannya. Jika faktor internal ini yang menjadi penyebab, kesediaan kita untuk mengoreksi diri dituntut di sini.
Bisa jadi juga penyebab kegagalan kita adalah karena minimnya dukungan dari orang-orang terdekat kita. Atau mungkin karena persaingan yang ekstra ketat padahal kita tidak memiliki cukup fasilitas untuk itu. Inilah faktor-faktor eksternal. Tetapi ini bukan akhir segala-galanya. Ketika kita menyadari faktor-faktor itu, masih ada kesempatan untuk membangun kembali hubungan agar ada teman-teman memberi dukungan semangat bagi kita.
Tak perlu terburu nafsu untuk menyelesaikan kendala-kendala itu sekaligus. Ada baiknya jika kita menyelesaikannya secara bertahap tapi pasti. Pada akhirnya, kemampuan kita untuk menyusun prioritas menjadi urgent dalam hal ini.
Gali Potensi Diri
Celakalah orang yang tidak mengenal kemampuannya sendiri! Kalimat ini mungkin terlalu profokatif, tetapi demikianlah adanya. Jika seseorang tidak mengerti kemampuan dirinya, ia tidak akan bisa melakukan sesuatu dengan tepat dan optimal. Dalam sebuah orkestra, seorang pianis tidak akan memaksakan diri untuk menjadi penabuh drum bukan? Mungkin kita perlu mencatat potensi apa saja yang kita miliki, yang sudah nampak maupun yang masih tersembunyi. Dari sana kita melanjutkan langkah dengan mengerjakan sesuatu semaksimal mungkin.
Tangkap Peluang dan Lakukan Sesuatu
Berdiam dan mengutuki nasib tak akan mengubah keadaan. Kejelian kita menangkap sebuah kesempatan lebih mendesak untuk dipenuhi. Kesempatanpun tak datang begitu saja tanpa kita mencarinya. Begitu kita mendapatkannya, tangkap dan gunakanlah sebaik-baiknya. Gunakanlah kesempatan itu seakan-akan itu peluang terakhir bagi kita, dan jika kita tidak melakukannya, semuanya akan berlalu.
Selesai? Tidak semudah itu. Last but not least, nasihat-nasihat Alkitab berikut layak dicermati dan dijadikan pegangan:
“Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh daripada TUHAN!” (Yeremia 17:5).
“Bagi Dialah, yang dapat melakukan lebih banyak daripada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita” (Efesus 3:20).
Mari keluar dari krisis yang membawa kepada kegagalan, balikkan keadaan itu menjadi peluang bagi kita keluar sebagai pemenang.
Thursday, March 16, 2006
KETERBUKAAN ADALAH AWAL PEMULIHAN?
Secara spiritual dan psikologis, manusia butuh diterima apa adanya. Dalam hubungan kita dengan Tuhan, kebutuhan diterima apa adanya sudah terpenuhi. Tuhan telah melakukannya dengan sempurna bagi kita. Tuhan menerima kita apa adanya. Kecuali dalam kasus-kasus tertentu memang ada orang yang masih merasa malu, minder dan takut di hadapan Tuhan.
Permasalah yang lebih sering muncul adalah ketika kita menarik konteks pembicaraan ini kepada hubungan dengan sesama manusia, entah itu dalam hubungan keluarga, persekutuan gereja atau dalam kelompok masyarakat yang lebih luas. Pengakuan dan keterbukaan kita kepada orang lain justru kadang menjadi bumerang bagi kita. Alih-alih mendapat kelegaan, tak jarang justru muncul permasalahan baru dari rahasia yang kita beberkan kepada sesama kita. Padahal kita berharap agar orang-orang yang kepadanya kita membuka rahasia, adalah orang-orang yang mampu memahami situasi dan kondisi kita, sehingga rahasia kita tidak bocor ke manapun.
Memilih Hal yang Tepat
Hal-hal rahasia yang tersimpan dan menekan kita, perlu dibongkar ke luar. Jika tidak, tingkat stress kita akan merangkak naik dan tentu saja hal itu mengganggu harmoni kehidupan. Alam bawah sadar yang kita miliki kadang tak mau diajak kompromi dalam merahasiakan sesuatu. Itulah sebabnya tak sedikit orang yang mengalami mimpi buruk atau bahkan ngelindur saat tertidur. Pada saat itulah sesuatu yang kita sembunyikan menjadi terbongkar.
Di lain pihak kita mengalami ketakutan untuk terbuka. Kita sering berpesan, “Jangan bilang siapa-siapa lagi, hanya kamu yang tahu,” ketika menceritakan rahasia kita kepada orang lain. Percayalah bahwa orang itu juga akan memesankan hal yang sama ketika dia bercerita tentang rahasia kita kepada orang lain lagi. Begitu seterusnya, sampai sebuah rahasia bukan menjadi rahasia lagi. Rahasia itu berpindah dari wilayah privat menjadi konsumsi publik.
Kita harus membedakan antara masalah pribadi dengan hal-hal yang rahasia. Orang lain tak perlu tahu berapa uang yang kita alokasikan untuk persembahan perpuluhan. Berapa kali kita berhubungan intim dengan pasangan dalam seminggu, juga tak pantas diketahui publik. Itu masalah pribadi kita. Tetapi mungkin kadang ada rahasia yang membuat kita tertekan dan hidup tidak normal seperti biasanya. Karena sesuatu yang kita sembunyikan itu membuat kita minder, terintimidasi, dan mengalami hubungan yang retak. Atau bahkan menimbulkan akibat-akibat yang lebih parah lainnya, seperti keinginan untuk bunuh diri. Kita akan sangat terbantu untuk terbuka ketika berhasil membedakan kedua hal itu. Mungkin dalam tahap identifikasi ini kita memerlukan waktu yang lama. Tetapi itu lebih baik, sambil terus kita pikirkan implikasi-implikasi dari pengakuan kita.
Mempertimbangkan Orang yang Tepat
Kita perlu jujur kepada Tuhan. Tak satupun hal yang dapat disembunyikan di hadapanNya. Semuanya transparan. Jika kita menyembunyikan sesuatu, apalagi itu sebuah pelanggaran, kita tak akan beruntung. Sebaliknya, yang mengakui dan meninggalkannya akan disayangi (Ams 28:32).
Selanjutnya kita perlu jujur kepada diri kita sendiri. Hal ini penting agar kita bisa berdamai dengan diri kita sendiri dan menerimanya secara utuh. Ada sebagian orang yang bahkan untuk menerima dirinya sendiri saja mengalami kesulitan, apalagi menerima orang lain.
Setelah itu pikirkanlah ‘orang yang tepat’ sebagai pemegang rahasia yang kita buka. Orang itulah yang akan membuat kita tenang dan aman setelah bercerita tentang apapun rahasia kita. Bisa saja orang itu adalah gembala/pendeta atau sahabat kita. Mungkin juga orang-orang yang punya ikatan emosi dengan kita, misalnya saudara atau pasangan kita.
Membuka hal yang tersembunyi kepada umum mungkin tidak bijaksana. Selain kita tak mengenalnya satu persatu, tidak ada jaminan bahwa mereka akan dengan dewasa menerima apa yang kita ceritakan. Lebih baik kita melakukannya empat mata, daripada di hadapan berpasang-pasang mata.
Memilih Saat yang Tepat
Masalahnya belum selesai ketika kita berhasil menjatuhkan pilihan pada hal dan orang yang tepat atas pengakuan kita. Kita harus menentukan saat yang tepat. Kita sering diliputi perasaan bahwa masalah kitalah yang paling berat. Orang lain pasti memiliki beban pergumulan yang ringan saja. Siapa bilang? Orang yang kepadanya kita mengaku bisa jadi punya problem yang lebih kompleks dari yang kita ceritakan.Dengan alasan inilah saat yang tepat harus kita peroleh supaya keterbukaan kita tidak menjadi kontraproduktif.
Dalam hal ini kesabaran kita memainkan peranan yang sangat besar. Kita tidak ingin hanya karena kita ‘terburu nafsu’ untuk menyelesaikan sebuah masalah, akhirnya malah membuat masalah itu menjadi semakin kompleks. Memang ada hal-hal yang mendesak dan perlu segera diselesaikan, tetapi jadilah tenang sehingga kita betul-betul memilih waktu atau saat yang paling tepat untuknya.
Demikianlah keterbukaan akan menjadi sarana yang paling efektif untuk membantu kita keluar dari masalah asalkan kita mampu memilih hal-hal yang tepat, orang-orang yang tepat dalam saat yang tepat pula. Anda mau melakukannya?
Secara spiritual dan psikologis, manusia butuh diterima apa adanya. Dalam hubungan kita dengan Tuhan, kebutuhan diterima apa adanya sudah terpenuhi. Tuhan telah melakukannya dengan sempurna bagi kita. Tuhan menerima kita apa adanya. Kecuali dalam kasus-kasus tertentu memang ada orang yang masih merasa malu, minder dan takut di hadapan Tuhan.
Permasalah yang lebih sering muncul adalah ketika kita menarik konteks pembicaraan ini kepada hubungan dengan sesama manusia, entah itu dalam hubungan keluarga, persekutuan gereja atau dalam kelompok masyarakat yang lebih luas. Pengakuan dan keterbukaan kita kepada orang lain justru kadang menjadi bumerang bagi kita. Alih-alih mendapat kelegaan, tak jarang justru muncul permasalahan baru dari rahasia yang kita beberkan kepada sesama kita. Padahal kita berharap agar orang-orang yang kepadanya kita membuka rahasia, adalah orang-orang yang mampu memahami situasi dan kondisi kita, sehingga rahasia kita tidak bocor ke manapun.
Memilih Hal yang Tepat
Hal-hal rahasia yang tersimpan dan menekan kita, perlu dibongkar ke luar. Jika tidak, tingkat stress kita akan merangkak naik dan tentu saja hal itu mengganggu harmoni kehidupan. Alam bawah sadar yang kita miliki kadang tak mau diajak kompromi dalam merahasiakan sesuatu. Itulah sebabnya tak sedikit orang yang mengalami mimpi buruk atau bahkan ngelindur saat tertidur. Pada saat itulah sesuatu yang kita sembunyikan menjadi terbongkar.
Di lain pihak kita mengalami ketakutan untuk terbuka. Kita sering berpesan, “Jangan bilang siapa-siapa lagi, hanya kamu yang tahu,” ketika menceritakan rahasia kita kepada orang lain. Percayalah bahwa orang itu juga akan memesankan hal yang sama ketika dia bercerita tentang rahasia kita kepada orang lain lagi. Begitu seterusnya, sampai sebuah rahasia bukan menjadi rahasia lagi. Rahasia itu berpindah dari wilayah privat menjadi konsumsi publik.
Kita harus membedakan antara masalah pribadi dengan hal-hal yang rahasia. Orang lain tak perlu tahu berapa uang yang kita alokasikan untuk persembahan perpuluhan. Berapa kali kita berhubungan intim dengan pasangan dalam seminggu, juga tak pantas diketahui publik. Itu masalah pribadi kita. Tetapi mungkin kadang ada rahasia yang membuat kita tertekan dan hidup tidak normal seperti biasanya. Karena sesuatu yang kita sembunyikan itu membuat kita minder, terintimidasi, dan mengalami hubungan yang retak. Atau bahkan menimbulkan akibat-akibat yang lebih parah lainnya, seperti keinginan untuk bunuh diri. Kita akan sangat terbantu untuk terbuka ketika berhasil membedakan kedua hal itu. Mungkin dalam tahap identifikasi ini kita memerlukan waktu yang lama. Tetapi itu lebih baik, sambil terus kita pikirkan implikasi-implikasi dari pengakuan kita.
Mempertimbangkan Orang yang Tepat
Kita perlu jujur kepada Tuhan. Tak satupun hal yang dapat disembunyikan di hadapanNya. Semuanya transparan. Jika kita menyembunyikan sesuatu, apalagi itu sebuah pelanggaran, kita tak akan beruntung. Sebaliknya, yang mengakui dan meninggalkannya akan disayangi (Ams 28:32).
Selanjutnya kita perlu jujur kepada diri kita sendiri. Hal ini penting agar kita bisa berdamai dengan diri kita sendiri dan menerimanya secara utuh. Ada sebagian orang yang bahkan untuk menerima dirinya sendiri saja mengalami kesulitan, apalagi menerima orang lain.
Setelah itu pikirkanlah ‘orang yang tepat’ sebagai pemegang rahasia yang kita buka. Orang itulah yang akan membuat kita tenang dan aman setelah bercerita tentang apapun rahasia kita. Bisa saja orang itu adalah gembala/pendeta atau sahabat kita. Mungkin juga orang-orang yang punya ikatan emosi dengan kita, misalnya saudara atau pasangan kita.
Membuka hal yang tersembunyi kepada umum mungkin tidak bijaksana. Selain kita tak mengenalnya satu persatu, tidak ada jaminan bahwa mereka akan dengan dewasa menerima apa yang kita ceritakan. Lebih baik kita melakukannya empat mata, daripada di hadapan berpasang-pasang mata.
Memilih Saat yang Tepat
Masalahnya belum selesai ketika kita berhasil menjatuhkan pilihan pada hal dan orang yang tepat atas pengakuan kita. Kita harus menentukan saat yang tepat. Kita sering diliputi perasaan bahwa masalah kitalah yang paling berat. Orang lain pasti memiliki beban pergumulan yang ringan saja. Siapa bilang? Orang yang kepadanya kita mengaku bisa jadi punya problem yang lebih kompleks dari yang kita ceritakan.Dengan alasan inilah saat yang tepat harus kita peroleh supaya keterbukaan kita tidak menjadi kontraproduktif.
Dalam hal ini kesabaran kita memainkan peranan yang sangat besar. Kita tidak ingin hanya karena kita ‘terburu nafsu’ untuk menyelesaikan sebuah masalah, akhirnya malah membuat masalah itu menjadi semakin kompleks. Memang ada hal-hal yang mendesak dan perlu segera diselesaikan, tetapi jadilah tenang sehingga kita betul-betul memilih waktu atau saat yang paling tepat untuknya.
Demikianlah keterbukaan akan menjadi sarana yang paling efektif untuk membantu kita keluar dari masalah asalkan kita mampu memilih hal-hal yang tepat, orang-orang yang tepat dalam saat yang tepat pula. Anda mau melakukannya?
KIAT MENGATASI PENCOBAAN HIDUP
Krisis multidimensi yang terjadi hampir satu dasawarsa ini telah menimbulkan dampak yang luas bagi masyarakat. Pengaruhnya tidak hanya terbatas pada masalah-masalah jasmaniah semacam ekonomi, sosial-politik, dan keamanan; tetapi juga telah merambah ke wilayah spiritual.
Ada banyak catatan media mengenai tingkat depresi pada masyarakat yang cenderung menaik angkanya. Selain semakin larisnya obat penenang di pasaran, konon pasien penghuni Rumah Sakit Jiwa juga melonjak jumlahnya.
Masalah memang menjadi penanda kehidupan. Artinya, di mana ada kehidupan, di situlah masalah. Kita tak bisa menghindar darinya. Pencobaan memang datang silih berganti dan kewajiban kita adalah untuk menghadapi dan mengalahkannya.
Ibarat berperang, taktik dan strategi memang harus kita kantongi sebelum kita berdiri di garis depan dalam melawan pencobaan. Berperang tanpa siasat dan senjata, sama saja dengan ‘pasrah bongkokan’ (menyerah) begitu saja terhadap lawan.
MASALAH PERSPEKTIF
Ingat kisah klasik bangsa Israel tentang duabelas pengintai? Mereka dipilih dan diterjunkan sebagai spionase yang kemudian dituntut memberi laporan tentang kondisi Kanaan. Meski objek yang dilihat sama, tetapi respon dari para pengintai itu berbeda-beda.
Sepuluh pengintai menyatakan bahwa tidaklah mungkin mereka mengalahkan bangsa Kanaan. Di hadapan mereka, bangsa Israel ibarat belalang yang amat kecil dan tak sebanding kekuatannya. Dua yang lain (Yosua dan Kaleb) punya versi yang berbeda. Atas pertolongan dan kasih setia Tuhan, negeri berlimpah susu dan madu itu akan mudah ditaklukkan. Masalah sebenarnya terletak pada perbedaan perspektif. Kelompok pertama lebih melihat kemustahilan, sementara yang kedua melihat kesempatan.
Yakobus mengingatkan agar kita menganggap sebagai sebuah kebahagiaan apabila jatuh ke dalam pelbagai pencobaan (Yak 1:2). Mengapa kita harus menggunakan cara pandang sedemikian? Yakobus melanjutkan bahwa ada hasil yang akan dicapai jika pencobaan itu kita kalahkan. Tahan uji akan disusul ketekunan yang berhasil akhir kedewasaan penuh di dalam Tuhan.
Kegagalan melihat pencobaan dari sisi ini bukan saja akan membuat pencobaan itu sendiri terasa berat, tetapi juga akan membuat kita menjadi pecundang. Mari berlatih untuk mencari sisi lain dari setiap permasalahan agar persoalan-persoalan bisa diatasi.
MENGENAL JENIS PENCOBAAN
Jika dibagi, jenis pencobaan terdiri dari dua bagian. Pertama, pencobaan yang datangnya dari luar (ekstrinsik). Kekristenan selalu diperhadapkan pada tekanan-tekanan pihak luar. Sudah menjadi rahasia umum kalau orang Kristen ditindas dalam berbagai aspek kehidupan. Diskriminasi di sana-sini telah menjadi hal yang biasa.
Tingkat ketahanan orang Kristen terhadap pencobaan jenis ini berbeda-beda. Tak bisa dipungkiri bahwa orang Kristen yang patah arang di tengah jalan karena ditekan pihak luar, tidak sedikit jumlahnya. Namun harus diakui juga bahwa pencobaan ini tidak jarang menghasilkan buah positif. Kesatuan antardenominasi merupakan akibat menggembirakan dari proses ini. Menyejukkan sekali melihat para pemimpin gereja dari berbagai macam aliran bisa bergandeng tangan berdoa bersama.
Kedua, pencobaan dari dalam (intrinsik). Mengamati Yakobus 1:13-15 membuat kita berkesimpulan bahwa ‘keinginan’ kita telah menjadi jalan masuk utama pencobaan. Perannya sangat besar sekali dalam kejatuhan orang-orang percaya ke dalam dosa. Masalahnya, semua orang punya keinginan (daging) ini. Tidak peduli jenis kelamin, tingkatan usia, latar belakang pendidikan, status sosial atau apapun; semuanya punya kedagingan.
Keinginan itu menyeret dan memikat, lalu dibuahi menjadi dosa dan menghasilkan maut. Kalau kita mendengar ada hamba Tuhan yang ‘jatuh’, tidak lain alasannya adalah masalah kegagalan mengelola keinginannya sendiri. Kita berjuang keras dalam hal ini karena keinginan daging tidak bisa ditangkal dengan undang-undang. Meski dihadang undang-undang pornografi/pornoaksi, jika keinginan daging tak dibendung, pasti akan jatuh juga. Jenis pencobaan kedua ini barangkali memang lebih berat dari yang pertama dan lebih banyak mengalahkan orang percaya.
MAHKOTA SEDANG MENUNGGU
Motivasi memengaruhi arah langkah dan gerak. Seorang anak melihat ibunya yang pulang kerja dari jendela lantai delapan apartemennya. Saking gembiranya melihat sang ibu pulang, tiba-tiba si anak meloncat dari jendela itu. Sang ibu kemudian lari secepat kilat untuk menangkapnya agar tak terjerembab ke aspal. Ia berhasil. Anaknya bisa diselamatkan. Beberapa hari berselang, ibu itu diminta kembali untuk memeragakan sebuah simulasi. Ia diminta berdiri tepat pada posisi sewaktu ia mulai berlari ketika menyelematkan anaknya. Dari jendela yang sama, dijatuhkan sebuah boneka yang bobotnya dibuat sama dengan anaknya. Ketika boneka dijatuhkan, si ibu diminta untuk berlari menangkapnya. Berkali-kali hal itu dilakukan, boneka itu tak tertangkap juga.
Motivasinya jauh berbeda, dulu ia berlari untuk menyelamatkan anaknya. Kini hanya untuk mengejar boneka. Pandangan terhadap hasil akhir sebuah aktivitas rupanya berpengaruh sekali terhadap motivasi seseorang mengerjakannya. Menurut Yakobus, kalau kita tahan uji, bagi kita telah disediakan mahkota kehidupan. Ada sebuah hadiah menanti ketika kita mengalahkan pencobaan. Kiranya hal ini pula yang menguatkan kita untuk tetap bertahan meskipun pencobaan datang bertubi-tubi.
BERHARAP KEBAIKAN TUHAN
Kunci lain dari kemenangan kita atas pencobaan terletak pada ketergantungan penuh kita kepada kebaikan Tuhan. Masih dari kitab Yakobus, kita mendapat penjelasan bahwa Dia adalah Allah yang baik dan menganugerahkan segala yang sempurna bagi kita (1: 17). Karyanya itu memungkinkan kita berharap agar Dia menyediakan bagi kita sebuah jalan keluar.
Seperti yang ditulis Don Moen dalam lagu God Will Make A Way, apa yang dikerjakan Tuhan memang kadang ‘tersembunyi’ dan muncul ketika semua cara telah tertutup. Kalau mati saja Dia rela, apalagi untuk menolong kita lepas dari pencobaan.
Mari kita yakini bahwa pencobaan yang kita hadapi saat ini adalah cara-Nya untuk memberi kita kesempatan menang sekali lagi.
Krisis multidimensi yang terjadi hampir satu dasawarsa ini telah menimbulkan dampak yang luas bagi masyarakat. Pengaruhnya tidak hanya terbatas pada masalah-masalah jasmaniah semacam ekonomi, sosial-politik, dan keamanan; tetapi juga telah merambah ke wilayah spiritual.
Ada banyak catatan media mengenai tingkat depresi pada masyarakat yang cenderung menaik angkanya. Selain semakin larisnya obat penenang di pasaran, konon pasien penghuni Rumah Sakit Jiwa juga melonjak jumlahnya.
Masalah memang menjadi penanda kehidupan. Artinya, di mana ada kehidupan, di situlah masalah. Kita tak bisa menghindar darinya. Pencobaan memang datang silih berganti dan kewajiban kita adalah untuk menghadapi dan mengalahkannya.
Ibarat berperang, taktik dan strategi memang harus kita kantongi sebelum kita berdiri di garis depan dalam melawan pencobaan. Berperang tanpa siasat dan senjata, sama saja dengan ‘pasrah bongkokan’ (menyerah) begitu saja terhadap lawan.
MASALAH PERSPEKTIF
Ingat kisah klasik bangsa Israel tentang duabelas pengintai? Mereka dipilih dan diterjunkan sebagai spionase yang kemudian dituntut memberi laporan tentang kondisi Kanaan. Meski objek yang dilihat sama, tetapi respon dari para pengintai itu berbeda-beda.
Sepuluh pengintai menyatakan bahwa tidaklah mungkin mereka mengalahkan bangsa Kanaan. Di hadapan mereka, bangsa Israel ibarat belalang yang amat kecil dan tak sebanding kekuatannya. Dua yang lain (Yosua dan Kaleb) punya versi yang berbeda. Atas pertolongan dan kasih setia Tuhan, negeri berlimpah susu dan madu itu akan mudah ditaklukkan. Masalah sebenarnya terletak pada perbedaan perspektif. Kelompok pertama lebih melihat kemustahilan, sementara yang kedua melihat kesempatan.
Yakobus mengingatkan agar kita menganggap sebagai sebuah kebahagiaan apabila jatuh ke dalam pelbagai pencobaan (Yak 1:2). Mengapa kita harus menggunakan cara pandang sedemikian? Yakobus melanjutkan bahwa ada hasil yang akan dicapai jika pencobaan itu kita kalahkan. Tahan uji akan disusul ketekunan yang berhasil akhir kedewasaan penuh di dalam Tuhan.
Kegagalan melihat pencobaan dari sisi ini bukan saja akan membuat pencobaan itu sendiri terasa berat, tetapi juga akan membuat kita menjadi pecundang. Mari berlatih untuk mencari sisi lain dari setiap permasalahan agar persoalan-persoalan bisa diatasi.
MENGENAL JENIS PENCOBAAN
Jika dibagi, jenis pencobaan terdiri dari dua bagian. Pertama, pencobaan yang datangnya dari luar (ekstrinsik). Kekristenan selalu diperhadapkan pada tekanan-tekanan pihak luar. Sudah menjadi rahasia umum kalau orang Kristen ditindas dalam berbagai aspek kehidupan. Diskriminasi di sana-sini telah menjadi hal yang biasa.
Tingkat ketahanan orang Kristen terhadap pencobaan jenis ini berbeda-beda. Tak bisa dipungkiri bahwa orang Kristen yang patah arang di tengah jalan karena ditekan pihak luar, tidak sedikit jumlahnya. Namun harus diakui juga bahwa pencobaan ini tidak jarang menghasilkan buah positif. Kesatuan antardenominasi merupakan akibat menggembirakan dari proses ini. Menyejukkan sekali melihat para pemimpin gereja dari berbagai macam aliran bisa bergandeng tangan berdoa bersama.
Kedua, pencobaan dari dalam (intrinsik). Mengamati Yakobus 1:13-15 membuat kita berkesimpulan bahwa ‘keinginan’ kita telah menjadi jalan masuk utama pencobaan. Perannya sangat besar sekali dalam kejatuhan orang-orang percaya ke dalam dosa. Masalahnya, semua orang punya keinginan (daging) ini. Tidak peduli jenis kelamin, tingkatan usia, latar belakang pendidikan, status sosial atau apapun; semuanya punya kedagingan.
Keinginan itu menyeret dan memikat, lalu dibuahi menjadi dosa dan menghasilkan maut. Kalau kita mendengar ada hamba Tuhan yang ‘jatuh’, tidak lain alasannya adalah masalah kegagalan mengelola keinginannya sendiri. Kita berjuang keras dalam hal ini karena keinginan daging tidak bisa ditangkal dengan undang-undang. Meski dihadang undang-undang pornografi/pornoaksi, jika keinginan daging tak dibendung, pasti akan jatuh juga. Jenis pencobaan kedua ini barangkali memang lebih berat dari yang pertama dan lebih banyak mengalahkan orang percaya.
MAHKOTA SEDANG MENUNGGU
Motivasi memengaruhi arah langkah dan gerak. Seorang anak melihat ibunya yang pulang kerja dari jendela lantai delapan apartemennya. Saking gembiranya melihat sang ibu pulang, tiba-tiba si anak meloncat dari jendela itu. Sang ibu kemudian lari secepat kilat untuk menangkapnya agar tak terjerembab ke aspal. Ia berhasil. Anaknya bisa diselamatkan. Beberapa hari berselang, ibu itu diminta kembali untuk memeragakan sebuah simulasi. Ia diminta berdiri tepat pada posisi sewaktu ia mulai berlari ketika menyelematkan anaknya. Dari jendela yang sama, dijatuhkan sebuah boneka yang bobotnya dibuat sama dengan anaknya. Ketika boneka dijatuhkan, si ibu diminta untuk berlari menangkapnya. Berkali-kali hal itu dilakukan, boneka itu tak tertangkap juga.
Motivasinya jauh berbeda, dulu ia berlari untuk menyelamatkan anaknya. Kini hanya untuk mengejar boneka. Pandangan terhadap hasil akhir sebuah aktivitas rupanya berpengaruh sekali terhadap motivasi seseorang mengerjakannya. Menurut Yakobus, kalau kita tahan uji, bagi kita telah disediakan mahkota kehidupan. Ada sebuah hadiah menanti ketika kita mengalahkan pencobaan. Kiranya hal ini pula yang menguatkan kita untuk tetap bertahan meskipun pencobaan datang bertubi-tubi.
BERHARAP KEBAIKAN TUHAN
Kunci lain dari kemenangan kita atas pencobaan terletak pada ketergantungan penuh kita kepada kebaikan Tuhan. Masih dari kitab Yakobus, kita mendapat penjelasan bahwa Dia adalah Allah yang baik dan menganugerahkan segala yang sempurna bagi kita (1: 17). Karyanya itu memungkinkan kita berharap agar Dia menyediakan bagi kita sebuah jalan keluar.
Seperti yang ditulis Don Moen dalam lagu God Will Make A Way, apa yang dikerjakan Tuhan memang kadang ‘tersembunyi’ dan muncul ketika semua cara telah tertutup. Kalau mati saja Dia rela, apalagi untuk menolong kita lepas dari pencobaan.
Mari kita yakini bahwa pencobaan yang kita hadapi saat ini adalah cara-Nya untuk memberi kita kesempatan menang sekali lagi.
Subscribe to:
Posts (Atom)