Yonas Pasiran Adi Prayitno, S.PAK.
MENDISIPLIN DIRI,
MENGENCANGKAN IKAT PINGGANG
Demi penghematan, ia menjual ikan dan burung kesayangannya. Anak-anaknya tak pernah jajan. Istrinya tak bisa menggunakan ponsel.
Panggilan hidup kadang memang menuntut pengorbanan dan kesetiaan. Untuk alasan itulah Yonas menekuni profesinya sebagai guru agama Kristen, meskipun secara finansial tak menjanjikan. Selama belasan tahun ia mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan Kristen di sebuah SMU Negeri di Bandung.
“Ya, memang saya ini tenaga honorer. Tapi bisa mengajar saja sudah syukur di Jawa Barat ini. Prosesnya panjang sekali sampai saya bisa diterima di sekolah ini,” ungkap pria berkumis asal Pati ini. Hingga kini masih banyak teman-teman seperjuangannya yang tidak bisa mengajar di dalam sekolah. Biasanya jika ada siswa yang beragama Kristen, untuk mendapatkan nilai, sekolah mewajibkan memintanya di gereja. Kegiatan belajar-mengajar pun tak bisa berlangsung di sekolah. Sudah menjadi rahasia umum jika diskriminasi masih terjadi dan menimpa guru agama Kristen.
Beruntung Yonas mendapat ‘fasilitas’ yang lebih baik. Ia bisa mengajar di ruang kelas dengan jadwal reguler seperti pelajaran agama yang lain. Iapun berhak menjadi anggota koperasi di sekolah tempatnya mengajar dan mengenakan setelan safari selayaknya pahlawan tanpa tanda jasa.
PENGHASILAN PAS-PASAN
Honor? Jangan ditanya. “Sebetulnya kalau berbicara masalah uang , guru agama, apalagi di (sekolah) negeri, itu kan istilahnya hanya ‘kerja bakti.’ Kalau ada honorpun hanya cukup untuk mengganti uang transport. Berbeda dengan guru swasta yang nasibnya mungkin lebih baik,” papar suami Eko Aprilianti Purwaningrum ini. Selain mendapat honor dari sekolah, Yonas juga mendapat ‘berkat’ tambahan yang jumlahnya hampir sama dari PGPK, sebuah wadah persekutuan gereja-gereja di Bandung, yang diterimanya rutin setiap bulan. Dengan uang itu praktis ia tak bisa mencukupi kebutuhan istri dan kedua anaknya.
USAHA SAMPINGAN
Dibantu istrinya yang juga lulusan pendidikan agama Kristen, Yonas merintis sebuah bimbingan belajar di rumah kontrakannya. “Usaha ini kan masih bergerak di bidang pendidikan juga, jadi saya nikmati lah,” paparnya. Ia kemudian menamai bimbingan belajarnya dengan “YONEKO.” Nama ini merupakan gabungan nama pasangan ini, Yonas dan Eko. Tak hanya dari lingkungan perumahan tempatnya tinggal, peserta bimbingan belajarnya berasal dari daerah-daerah lain di Bandung. Yonas pun menyempatkan diri untuk mendatangi rumah-rumah jika yang ada siswa yang ingin diajar secara privat.
Yonas meyakini bahwa usaha ini adalah cara lain yang Tuhan sediakan untuk memelihara kehidupan mereka. Ayah dari Maya Citra Dewi (13) dan Marzella Paskalia Singer (8) inipun percaya bahwa apa yang ia nikmati sekarang adalah campur tangan Tuhan sebagai buah dari kesetiaannya untuk tetap eksis di jalur pendidikan Kristen. Tuhan punya banyak cara untuk menolong umatNya. Itulah keyakinan Yonas.
BERTANGGUNG JAWAB MENGELOLA BERKAT
Mengingat penghasilannya tidak berlimpah, Yonas menerapkan disiplin yang ketat dalam masalah keuangan di dalam keluarganya. Hal ini dilakukannya sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap berkat Tuhan yang diterimanya. Selain untuk kebutuhan keluarga sehari-hari, alokasi keuangannya diprioritaskan kepada pendidikan kedua putrinya. Apalagi sesudah BBM naik Oktober silam, pengeluaran menjadi bertambah sedangkan pemasukannya tetap. “Semua burung dan ikan kesukaan saya sudah saya jual untuk menghemat pengeluaran. Saya tak pernah jalan-jalan dan makan di luar,” lanjutnya. Hingga kini, istrinya tak bisa mengoperasikan HP. Bukan karena tidak mampu membeli, alasan satu-satunya adalah demi penghematan. Sejak dini, kebiasaan berhemat sudah ia ajarkan kepada anak-anaknya. Ia melarang mereka jajan dan menggantinya dengan bekal makanan kecil dari rumah.Berkat kedisiplinan dan keuletannya, Yonas kini mampu membeli rumah yang dulu dikontraknya. Pun sebuah motor yang setia mengantarnya mengajar. Bahkan kuliah adiknyapun ia yang membiayai. Sebuah teladan dan pelajaran berharga bagi kita yang selama ini selalu berkata tidak cukup. (dimuat di BAHANA, Februari '06)
No comments:
Post a Comment