Pdt. dr. Rebekka Loanita Zakaria
SEBERKAS HARAPAN DARI BALIK JERUJI PENJARA
Vonis kontroversial yang dijatuhkan PN Indramayu, Jabar, tak membuatnya patah arang. Meyakini bahwa keyakinan iman kadang-kadang membutuhkan pengorbanan. Dari balik jeruji penjara yang memisahkannya dengan profesi, keluarga dan jemaat, ia masih melihat seberkas harapan untuk menjalani hari-hari sulitnya.
Hari-hari dr. Rebekka kini dilalui di dalam pengapnya lembaga pemasyarakatan Indaramayu, Jawa Barat. Bersama dua rekan sepelayanan yang lain, Eti dan Ratna, ia harus meringkuk di hotel prodeo itu tiga tahun lamanya. Karena masalah kriminalitas? Bukan. Ketiga ibu rumah tangga itu mengajak anak-anak, beberapa diantaranya bukan beragama Kristen, untuk mengikuti kegiatan Minggu Ceria yang melatih anak-anak dalam mengerjakan pelajaran-pelajaran sekolah. Akhirnya mereka dituduh melakukan kristenisasi, diseret ke pengadilan dan dijebloskan ke dalam penjara.
Teror dan Penjara
Selama persidangan, Rebekka terus mengalami teror dan intimidasi massa. Teriakan, “bakar dan gantung Rebekka” telah menjadi ‘menu harian’ selama menjalani sidang. “Saya sendiri tidak terlalu surprise dengan vonis ini. Demonstran terus-menerus menekan proses persidangan. Saya sudah memperkirakan kalau vonisnya akan demikian, jadi saya tabah menerimanya,” paparnya melalui ponsel Linda, putrinya. Ia mendengar dari pengacaranya bahwa hakim dan jaksa pun sudah tidak bisa berbuat banyak. Hakim yang sebenarnya tidak menemukan kesalahan apapun dalam dirinya, terpaksa menjatuhkan vonis itu di bawah tekanan massa. Persidangan selalu berjalan tidak fair karena ancaman demonstran yang memenuhi ruang sidang PN Indramayu yang sempit.
Harapan untuk mendapatkan keringanan hukuman ditempuh dokter yang melayani di Kecamatan Haurgeulis, Indramayu ini dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jabar dan juga ke Mahkamah Agung. Namun semuanya kandas. Kedua lembaga peradilan di tingkat propinsi dan pusat itu menolak bandingnya. “Yang paling sedih memang waktu di MA, karena itu harapan saya yang terakhir,” ungkap hamba Tuhan yang melayani di GKKD ini.
Dalam beberapa hari Rebekka berjuang untuk menyaput kesedihannya. Ia menyadari bahwa apa yang dialaminya berada di dalam kerangka rencana Tuhan. Iapun menguatkan kedua temannya yang terlihat shock karena tidak dikabulkannya tuntutan mereka. “Waktu saya berdoa, Tuhan memberi saya kekuatan secara khusus melalui Ibrani 6:10. Saya tahu bahwa Tuhan bukannya tidak adil. IA mengerti apa yang saya kerjakan,” tegasnya.
Dukungan Keluarga
Dalam kamus hidup Rebekka, keyakinan iman bukanlah sesuatu yang sekedar diucapkan, melainkan membutuhkan pengorbanan. Dukungan dari luar terus mengalir untuk menguatkan ibu tiga putri ini. Jemaat yang setia mendoakan dan mengunjunginya. Apalagi dari suami dan ketiga putrinya. “Mereka mendampingi saya sedemikian rupa, sehingga saya tidak down. Jemaatpun dikuatkan dan tidak mundur rohaninya. Mereka tetap setia,” ujarnya.
Rebekka menandaskan bahwa bukanlah sesuatu yang aneh jika orang Kristen harus menderita. “Saya sendiri tetap berpedang teguh dan melekat kepada Tuhan. Hanya Dialah yang memberi saya seberkas harapan, meskipun saya mengalami pengalaman pahit ini. Hidup kekal yang saya terima nanti, lebih mulia dari penderitaan badani yang sekarang saya jalani,” tandasnya.
Bagi sebagian orang, penjara bisa menjadi akhir dari sebuah cerita hidup. Tetapi bagi Rebekka, ini adalah sebuah babak yang harus dimainkan sampai ceritanya memang benar-benar selesai. (dimuat di BAHANA, Mei ’06)
No comments:
Post a Comment