MENJEBOL KEMAPANAN
Masih ingat slogan iklan sebuah produk meubel, “Kalau sudah duduk lupa berdiri?” Realitas inilah yang kini tengah dihadapi gereja. Reformasi yang dipelopori Marthin Luther abad ke-XVI itu barangkali hanya pemantik awal dari gerakan pembaharuan yang akan terus berlangsung di dalam gereja selama berabad-abad.
Kita sepakat dengan Hieraclitus yang mengatakan bahwa tidak ada yang konstan di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri. Ya. Hanya perubahanlah satu-satunya hal yang tidak berubah di dunia ini. Dan ini adalah sebuah peringatan. Bahwa kemudian ada orang yang tidak setuju dan tidak mau berubah, itu masalah yang berbeda.
Allah yang Dinamis
Berbeda dengan konsep kepercayan paganisme (penyembah berhala), Allah dalam kekristenan adalah Pribadi yang dinamis. Ia bukan Allah yang tinggal diam sebagaimana patung atau benda sesembahan lainnya. Tuhan kita adalah Allah yang dinamis.
Karena Ia Allah yang dinamis, ia menyukai proses. Kehidupan manusia sebagai ciptaan termulia pun merupakan sebuah proses. Dibentuk di dalam kandungan, dilahirkan, menjadi kanak-kanak, remaja, pemuda dan seterusnya sampai dewasa. Allah tidak menghendaki umatNya berhenti pada satu titik dan berkata ‘cukup’ atau ‘puas’ kemudian tidak mau bertumbuh lagi.
Lihatlah bahwa Ia menuntut kita untuk, “Berubahlah oleh pembaharuan budimu…” (Roma 12:2). Itu berarti Ia adalah Allah yang tidak menghendaki stagnasi. Kemandegan dalam penjara kemapanan bukanlah ide yang berasal dari Allah.
Gereja dan Reformasi
Tanpa bermaksud menghakimi, ada banyak gereja masa kini yang puas dengan apa yang telah dialami dan dihasilkan. Pada titik tertentu, kepuasan itu memang penting untuk mensyukuri pertolongan Tuhan. Eben Haezer. Tetapi jika kepuasan itu membuat gereja berhenti, pada gilirannya kepuasan itu justru akan menjadi mesin penghancur yang efektif bagi gereja sendiri. Kehancuran, boleh jadi, bukanlah sebuah usaha sistematis dari luar. Tetapi justru sebuah proses pembusukan yang datangnya dari dalam.
Itu sebabnya gereja perlu mengikuti pergerakan Tuhan. Apa yang menjadi kehendak dan rencanaNya bagi gereja harus terus-menerus dicari. Goal akhir menjadi seperti Kristus akan dilewati dalam babak demi babak oleh gereja. Jika bagian demi bagian itu tak diikuti, bukan mustahil gereja akan menjadi institusi yang tidak saja ketinggalan zaman, tetapi juga akan ditinggalkan pengikutnya.
Seberapa Cepat Prosesnya?
Jawaban untuk pertanyaan ini tentu relatif. Cepat atau tidaknya akan bergantung pada respon gereja itu sendiri. Semakin gereja memahami ‘kehendak Allah pada zamannya’, semakin cepat pula proses pertumbuhan ke arah kedewasaannya.
Sebagian orang mungkin menjadi tidak sabar dan menghendaki revolusi. Entahlah, apakah kerinduan ini akan terwujud atau tidak? Agaknya Tuhan memang memiliki waktu tersendiri untuk melakukannya. Kita tidak punya kuasa apa-apa untuk mengusiknya.
Yang perlu dipersiapkan gereja, --dalam pengertian ‘orang’, bukan hanya institusi— adalah sikap sedia untuk menghadapi setiap perubahan. Kesiapan itu meliputi pemahaman seutuhnya mengenai kehendak Allah. Bukan sekedar ‘latah’ mengikuti arah angin tanpa memahami latar belakang permasalahannya. Kerinduan berubah yang berasal dari sekedar ‘latah’ dan dibumbui suasana emosional belum tentu berasal dari Tuhan. Salah-salah malah akan membuktikan bahwa gereja memang tidak siap berubah.
John Stott, seorang teolog Inggris mengatakan, “Yang paling penting dalam kehidupan ini adalah mengetahui kehendak Tuhan dan berjalan dalam kehendakNya itu!” Pemahaman kita akan kehendak Tuhan sangat dipengaruhi oleh hubungan yang kita bangun denganNya. Semakin intim dengan Tuhan, semakin kita mengenal kehendakNya.
Itu sebabnya, daripada Tuhan membongkar kemapanan kita, ada baiknya kita yang lebih dulu menyelaraskan diri dengan pergerakanNya.***
No comments:
Post a Comment