Untuk Sahabat
Ki SUYITO BASUKI, M.Th.
Pertemuanku dengan Suyito Basuki (aku memanggilnya Pak Bas) terjadi di kelas Bahasa Indonesia ketika aku nyantrik di STII Jogja. Awalnya memang tidak ada yang istimewa dalam diri Pak Bas. Cara mengajarnya biasa-biasa saja, bahkan menurut beberapa teman cenderung membosankan. Gaya bicaranya juga datar.
Pertemuan berikutnya terjadi di kelas Bahasa Ibrani. Kali ini kurasakan perbedaan pada suami Bu Tuti ini. Ia lebih ‘centil’ dan mencoba untuk membuat Bahasa Ibrani menjadi menyenangkan. Dan ia berhasil. Meski tugas yang harus dikerjakan bejibun, tapi kelas ini menjadi sesuatu yang kuharap kehadirannya. Susana belajar-mengajar jadi lebih cair.
Saat aku aktif di senat mahasiswa bagian Publikasi, Humas dan Dokumentasi (PHD), salah satu tanggung jawabku adalah mengelola majalah dinding kampus. Pak Bas adalah salah satu penyumbang tulisan tetap di mading itu. Beberapa tulisannya yang masih kuingat adalah “Casper” yang mengulas tentang tidak ada hantu yang baik hati (satanologi). Juga “Eufemisme” yang mengangkat tentang sebuah kecenderungan berbahasa.
Lepas dari mading, Pak Bas menawariku untuk terlibat dalam pengelolaan Dinamika Pelayanan, buletin internal di kampusku. Awalnya aku ditugaskan menjadi bagian sirkulasi. Tetapi suatu kali Pak Bas memberiku kesempatan untuk menulis, meski awalnya hanya menulis pada rubrik kronika pelayanan (news).
Sejak itu hubunganku dengan Pak Bas menjadi semakin dekat. Selera makan pun sama. Kami sama-sama penggemar mie ayam dan tongseng. Jika ada ‘berkat’ mampir, agenda untuk makan mie ayam di depan kampus atau tongseng di pinggir selokan Mataram pasti tak terlewat. Kadang aku yang nraktir, tapi pasti lebih sering Pak Bas yang merogoh koceknya.
Pak Bas menaruh perhatian serius terhadap budaya lokal. Ia amat menggemari campur sari. Kala itu radio di Jogja yang rutin menyiarkan campur sari adalah Radio GCD di Bukit Pathuk, Gunung Kidul. Selepas makan siang, Pak Bas selalu stay tune untuk menikmati campur sari. Ia juga begitu menggemari wayang. Saking getolnya terhadap wayang, nama putra-putrinya selalu berbau wayang. Ada Woro Sembodro dan juga Muso Sadewo (maaf Pak, yang ketiga dan keempat saya lupa namanya). Sambil menyelesaikan studi pasca sarjananya pada program M.Th., ia juga menjadi siswa di Pawiyatan Habirandha, sekolah pedhalangan di Keraton Yogyakarta. Ketika ia lulus dari dua sekolah yang berbeda jalur itu, jadilah ia menyandang gelar ‘Ki’ dan ‘M.Th.’
Kini ia ‘madeg pandhita’ di GITJ Kedung Penjalin – Jepara. Kabarnya ia telah memiliki mobil pribadi dan menyetirnya sendiri. Lalu, dimana Honda 70 merah yang bersejarah itu Pak Bas?*** [Ngaturaken Sugeng Natal Pak. Mugi sih rahmatipun Gusti Yesus tansah paring kekiyatan kagem Pak Bas lan sedaya kulawarga. Amin]
1 comment:
Saya adalah adik kelas Mas Suyito Basuki waktu kuliah di UNS. Waktu itu beliau sudah terlihat serius. Beliau banyak memberi saya kesempatan untuk terlibat di majalah dinding yang beliau kelola, kalau tidak salah namanya "GENTA". Kalau sekarang saya ingat-ingat, saya cukup menyesal waktu itu, kenapa buang banyak kesempatan yang beliau berikan. Waktu itu saya tidak serius, lebih banyak main-main saja. Mas Suyito Basuki juga pintar memetik gitar, lho. Saya pernah rengeng-rengeng dan mas Bas mengiringi dengan gitarnya. Mungkin Mas Suyito Basuki sudah lupa pada saya. Tapi saya bangga kok, pernah kenal dengan Mas Suyito Basuki.
Sigit Susilo
Post a Comment