MARTIR: MATI SYAHID ATAU MATI KONYOL?
‘Syahid’ adalah istilah dalam bahasa Arab untuk seorang martir atau seseorang yang mati dalam perjuangan demi membela keyakinan atau imannya. Kadang istilah syahid juga dikenakan pada para pejuang yang gugur untuk kejayaan bangsa dan negara semasa perang.
Kata ‘martir’ sendiri berasal dari istilah Gerika ‘martur’ yang berarti ‘saksi’ atau ‘orang yang memberi kesaksian’. Jadi orang Kristen mengambil ungkapan martir atau syahid dalam nuansa ‘kesaksian’ untuk sebuah tindakan, penderitaan dan pengorbanan diri mereka yang teraniaya karena memberi kesaksian tentang Yesus.
Martir yang pertama sesudah kematian Kristus dalam Perjanjian Baru adalah Stefanus (Kis 7-8). Biasanya dia disebut sebagai protomartir. Sesudah itu, orang-orang Kristen pada abad pertama – ketiga, banyak yang disalibkan oleh kekaisaran Romawi atau dijadikan mangsa bagi singa di depan umum. Ini adalah akibat kesetiaan mereka mempercayai Yesus di tengah tekanan penguasa. Mereka diakui sebagai martir karena atau syahid karena mereka tetap mengikuti ajaran Yesus dan tidak menyangkal iman mereka. Tertulianus, seorang penulis Kristen pada abad mula-mula, menyatakan bahwa, “Darah para martir adalah benih Gereja!”
Ketika Kaisar Konstantin memeluk Kristen dan seantero Roma diwajibkan mengikutinya, keadaan berubah. Orang justru dianggap mati syahid jika menolak Kaisar Roma yang memerintahkan untuk berpindah agama ke Kristen.
Sejarah terus bergulir. Dalam perjalanannya, sejarah menorehkan catatan tentang Ratu Mary I dari Inggris. Ia memerintahkan penganiayaan dan pembunuhan terhadap hampir 300 orang Protestan karena menolak untuk menyangkal iman reformis dan kembali ke Katholik Roma. Peristiwa ini dicatat dalam buku Foxe’s Book of Martyrs.
Pada abad ke-20, kembali terjadi kesyahidan orang Kristen karena berbagai sebab. Orang bukan Kristen yang meminjam tangan penguasa politik yang antipati terhadap kekristenan, telah mengakhiri hidup banyak orang percaya. Sebutlah penganiayaan di Uni Sovyet dan Republik Rakyat Cina (RRC) yang telah menimbulkan martir-martir baru. Juga rezim Taliban di Afghanistan yang telah melakukan gelombang penganiayaan, meskipun skalanya tidak terlalu luas. Di Indonesia, orang mengenal Pdt. Ishak Christian yang hangus terbakar dalam kasus pembakaran gereja di Situbondo, Jawa Timur, medio 1996. Ia dan beberapa anggota keluarganya ‘ditahbiskan’ sebagai martir menyusul peristiwa yang sering disebut ‘Kamis hitam’ kala itu.
Sebagian orang menganggap bahwa darah mereka yang mati karena membela iman telah ditumpahkan secara sia-sia. Mati konyol katanya. Tetapi sebagian lagi menganggapnya sebagai kematian yang heroik dan terhormat.
Menilik kisah Stefanus dalam sejarah gereja mula-mula, kita bisa menyimpulkan bahwa adalah sebuah karunia jika kita dipilih untuk mati dengan cara sedemikian. Dengan penuh ketulusan, Stefanus menyerahkan nyawanya sembari memohon ampun dosa-dosa para penganiayanya. Alkitab bahwa Yesus ‘berdiri’ di sebelah kanan Allah (sesuatu yang tidak lazim menurut para penafsir, karena biasanya Yesus dicatat ‘duduk’ di sebelah kanan Allah) untuk menyambut hambaNya yang setia (Kis. 7:56). Menurut tradisi, kebanyakan murid Yesus juga tidak mati ‘enak’, tetapi kebanyakan meregang nyawa setelah dipenggal, disalib terbalik, digoreng hidup-hidup, dan dengan cara mati menyakitkan yang lain.
Meski tidak semua kita dipanggil untuk mati dengan cara ini, adalah sebuah kehormatan bila kita diberi kesempatan untuk tetap mempertahankan iman sampai putus nyawa, meski penganiayaan mendera. Mari kita kembalikan kepada Dia, Pemilik hidup kita. Bahwa bagaimana cara kita mati, tidaklah terlalu menjadi soal. Kematian hanyalah sebuah jalan untuk mendapatkan kebangkitan dan memulai sebuah hidup yang baru lagi dalam kekekalan. Selamat PASKAH! (sumber: http://id.wikipedia.org)
No comments:
Post a Comment