PAK GURU SUKIDI
Ingatanku melayang pada Piala Dunia 90, bukan pada bintang-bintang lapangannya, tetapi pada Pak Sukidi. Sukidi adalah seorang guru di dusun kami yang puluhan tahun telah mengabdi di beberapa sekolah dasar. Ia adalah salah satu dari segelintir orang yang punya televisi berwarna di kampung. Jadilah rumahnya dijadikan sebagai tempat ‘nonton bareng'.
Dengan Bu Semi, istrinya, kami disambut ramah. Tak hanya itu, setiap malam selalu terhidang kopi atau teh ditemani penganan khas dusun semacam jagung atau singkong rebus. Kadang kami jadi tak enak hati hati. Udah nonton gratis, mengganggu jam tidur keluarga sederhana ini dan menghabiskan makanannya.
Suatu ketika, tak satupun orang yang nonton karena hari itu memang sangat melelahkan. Kami baru saja menyelesaikan proyek pengerasan jalan hingga batas dusun seberang. Sukidi merasa ‘kehilangan’. Berkali-kali ia membunyikan kentongan di pos ronda depan rumahnya. Barangkali untuk mengingatkan bahwa jam nonton bareng sudah tiba. Tak satupun dari kami yang menampakkan batang hidung.
Hari berikutnya baru kami bisa berkumpul kembali. Sebenarnya Piala Dunia bukanlah yang terpenting. Tetapi komunitas yang tercipta karena jauh lebih penting. Acara nonton bareng itu sendiri bisa jadi ajang kongkow-kongkow dan membicarakan banyak hal. Menyelesaikan masalah iuran di dusun, merencanakan sambatan (gotong royong) memperbaiki rumah warga yang rusak, siskamling dan sebagainya. Dan Sukidi telah menjadi fasilitator dalam hal ini. Keikhlasannya amat berkesan.
Kini aku menikmati Piala Dunia sendirian. Istri tidur karena sama sekali tak suka denga bola. Tak ada teman bersorak ketika gol terjadi. Tak ada teman ngobrol lagi. Seandainya….
1 comment:
Sayang cerita ini tak sampai tuntas,, aq seru bacanya dan penasaran,, dan di mana saya bisa baca sambungan'nya,,,,,???
Post a Comment