Tuesday, September 26, 2006

ATHAUW
TEKUN BERKARIER, SETIA BERBAKTI

Tersedot magnet sukses di kota besar, Athauw (38) bertekad meninggalkan Ciamis dan mengadu nasib di Bandung pada akhir dekade 80-an. Ia jenuh menjadi pengangguran yang menghabiskan waktu dengan mabuk dan judi. Meski tak memiliki cukup bekal, niat sudah telanjur dicanangkan.

Tak seperti kebanyakan keturunan Tionghoa, pria bernama lengkap Ho Tow Fa ini termasuk orang yang berkantong tipis. Belum lagi SBKRI tak ia miliki. Memulai usaha menjadi sesuatu yang sulit bukan main. Tak ada pilihan lain, ia lalu mengawali ‘karier’ dengan menjadi kuli angkut pada sebuah bandar oli. Menaik-turunkan drum menjadi kegiatan sehari-hari yang ia akrabi. Athauw juga sempat menjadi pelayan toko dan tukang tagih keliling.

Perjumpaan dengan seorang teman lama menjadi babak baru dalam perjalanan Athauw. “Dia yang mengajak saya ke gereja dan diperkenalkan dengan dunia pelayanan,” ujarnya mengenang. Sejak itu ia memiliki keyakinan baru bahwa sukses hanya dapat diraih jika usaha disertai penyerahan kepada ‘Yang di Atas’. Di gereja pula ia akhirnya bertemu dengan Lily Suciawati yang kemudian dipersunting menjadi istri.

Teman hidup punya, pelayanan ada, tapi sukses masih gelap. Selepas nikah Athauw malah menganggur lagi. Jadilah Lily yang bekerja untuk menjaga agar dapur tetap berasap. Kondisi ini memicu Athauw untuk berusaha meminjam modal ke sana-sini. “Sulit sekali mendapat modal. Mana ada orang percaya kepada saya? Mereka selalu bertanya tentang jaminan apa yang bisa saya berikan untuk mengembalikan pinjaman,” paparnya.

Di lain pihak kerohanian Athauw makin terpupuk. Penyerahan total kepada Tuhan menjadi semangat untuk menghadapi hidup yang sarat beban. Dalam doa-doanya ia memohon agarTuhan buka jalan.

Tak lama, ada beberapa pengusaha dari Jakarta tiba-tiba mengajaknya bekerja sama dalam membuka toko. Athauw tak langsung mengiyakan, meski ia hanya diminta memasok saham 10%. Tak ingin membuang kesempatan, ia berjibaku untuk mengantongi modal. Karena tak satupun orang meminjami uang, ia mengikuti arisan bulanan dan mendapat kesempatan kedua untuk mendapat modal. Sisa uangnya ia simpan di bank agar bulan-bulan berikutnya tetap bisa membayar.

Toko bahan-bahan kimia makanan mulai bergulir. Alih-alih untung, delapan bulan awal perjalanan toko itu malah dibebani dengan masalah. Athauw seperti ditinggal sendirian. Tapi ayah Milka Gabriella dan Ribka Josephine ini tak menyerah. Toko itu akhirnya ditawarkan kepadanya untuk dikelola sendiri. Kembali ia terbentur dengan masalah dana. Tapi entah dari mana, keberanian muncul untuk mengambil alih toko dan mengelolanya sendiri. Dia mengajukan penawaran agar diijinkan untuk mencicil pembayarannya dalam beberapa bulan.
Ditemani istrinya, Athauw tekun mengurus ‘mesin uang’ itu. Ketaatan berbakti pun dipertebal. Alhasil, utang bisa ditutup dan perjalanan toko makin sehat. Tak berhenti di situ, ritme hidup juga mulai lebih teratur. Kini ia bisa mencukupi kebutuhan keluarga, menikmati berkat rumah dan kendaraan pribadi. Dan yang terpenting, ia tak menyurutkan semangat untuk berbakti dan berbagi.*** (dimuat di BAHANA, Oktober 06)

No comments: