Kekagumanku kepada Butet bermula nun di awal 80-an. Kala itu ibu yang guru tari di sebuah SMP, masih nyantrik di Padepokan Pak Bagong. Kalau Butet muncul, ibu sering berbisik, "Itu Mas Butet, salah satu putrane Pak Bagong." Kadang ibu juga acap bertutur tentang putra-putri Pak Bagong yang lain.
Dalam sebuah kesempatan, aku diajak ibu mampir nyoto Pak Marto di Sonosewu. Rupanya Butet sudah nangkring di salah satu sudut menikmati sedapnya soto. Ibu berbisik kembali, "Itu Mas Butet. Kamu masih ingat to? Itu lho putrane Pak Bagong." Aku mengangguk setuju, meski hanya mengingat Butet sebatas putrane Pak Bagong, penari terkenal itu. Tidak lebih.
Belasan tahun sesudahnya kekagumanku kepada Butet semakin mengkristal karena terpengaruh caranya menulis di media massa. Ia selalu menggunakan sindiran-sindiran nakal yang disebutnya dengan 'guyon parikena' khas Jogja. Ia mengkombinasikan bahasa populer, kadang ilmiah dengan sentuhan jargon-jargon berbahasa Jawa yang kental. Kelihatan sekali bahwa Butet berdarah Jawa (meskipun namanya Butet) yang otaknya encer dan wawasannya luas.
'Pertemuan' berikutnya dengan Butet acap terjadi di Bundaran UGM, Bulaksumur. Kala itu ia sering berorasi di kerumunan demonstrasi mahasiswa untuk menggulingkan Soeharto, tokoh yang ditirukannya dengan amat piawai. Dari panggung demonstrasi, Butet aku 'nikmati' di panggung teater dan monolog. Penampilannya, baik dengan Gandrik, Koma atau Kua Etnika, sama-sama ciamik. Dia cerdas berperan sebagai tukang kritik. Cangkemnya lancar mengucapkan tuntutan skenario. Dalam hal ini ia menghidupi amsal dalam blog pribadinya, "Gunakan cangkem secara baik dan benar..."
Butet merindukan kematian tanpa merepotkan. Akankah ia meraihnya? Rasanya agak jauh dari harapan. Kebiasaannya mengisap rokok tiga bungkus sehari dan kegemarannya menyantap daging kambing dengan segala varian cara memasaknya, bisa jadi hambatan untuk meraih cita-citanya itu. Agaknya kematiannya akan merepotkan, atau setidaknya ia sendiri bisa repot mati dengan hobinya itu.
Bagiku Butet tetap mengagumkan. Bangsa ini berhutang banyak pada seniman yang satu ini. Selamat (terus) berkarya Butet, tetap gunakan cangkem dengan baik dan benar. Mudah-mudahan bisa mati tanpa merepotkan....
1 comment:
Makasih,..ternyata ada yang memperhatikan saya dengan detail. Jadinya saya merasa tidak sia-sia melaksanakan hidup ini. Emang sampeyan sekarang tinggal dimana? Di Yogya or di Jakarta? Boleh tahu nama sang ibu?
Post a Comment