SE-EKSTRIM ITU KAH?
“Allah telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia...” (Kisah Para Rasul 17:24)
Suatu kali saya mengantar (alm) Dr. Wagiyono Sumarto, seorang dosen dari Institut Injil Indonesia Malang untuk melihat gamelan di beberapa tempat di Jogja. Ia seorang dosen yang kala itu menggunakan budaya Jawa sebagai sarana kesaksian. Menurutnya tradisi bisa dipakai sebagai sarana komunikasi Injil yang efektif. Tetapi apakah semudah itu?
Ternyata tidak. Akar budaya di Indonesia telah bersinggungan dengan kepercayaan dan praktek agama suku yang sebagian besar menganut animisme. Menyembah batu besar, pohon-pohon keramat, tempat-tempat angker dan sejenisnya. Tidak jarang kemudian terjadi percampuran (sinkretisme) dan akhirnya kalau kita mendengar ‘tradisi’, kita mengidentikkannya dengan hal-hal yang magis dan mistis. Lalu tradisi menjadi semakin jauh dengan kekristenan, bahkan telah dianggap musuh oleh kalangan tertentu. Harus se-ekstrim itu kah?
Sebagai orang percaya yang hidup di Indonesia, bersinggungan dengan tradisi yang sudah lebih lama ada adalah sebuah keniscayaan. Mau atau tidak, suka atau tidak, kita akan mengalaminya. Kita perlu menyadari bahwa budaya sebagai hasil dari peradaban manusia adalah netral sifatnya. Ia seperti sebilah pisau yang bisa digunakan untuk maksud yang baik (memasak misalnya), tetapi juga bisa menjadi alat kejahatan (membunuh, merampok, dll).
Kebudayaan pun bisa dimanfaatkan untuk maksud pelayanan, tetapi juga bisa dipakai iblis untuk melaksanakan maksudnya. Jadi bukan senjatanya yang penting, tetapi siapa yang menggunakannya. Yang mendesak untuk dilakukan sekarang adalah bagaimana kita bisa memilih dan memilah, mana tradisi yang bisa kita lestarikan dan manfaatkan; dan mana tradisi yang perlu dibuang. Bukankah begitu? [JP]
No comments:
Post a Comment