TOLERANSI YES, SINKRETISME NO!
“Demikianlah bagi orang Yahudi aku akan menjadi seperti orang yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi.” (1 Korintus 9:20)
Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di tengah masyarakat Jawa yang ‘Abangan’, sulit rasanya melepaskan diri dari tradisi-tradisi yang berkembang di lingkungan saya. Acapkali saya mengikuti tradisi-tradisi itu dan mulai menghubungkan dengan keyakinan Kristen yang saya pegang. Ada yang dengan tegas bisa ditolak, tetapi tak jarang juga yang harus bermain di wilayah abu-abu.
Salah satunya adalah kenduri. Kebiasaan membagi-bagikan makanan tertentu ini selalu terjadi setiap ada tetangga kampung punya hajatan. Entah itu pernikahan, sunatan, syukuran atau kematian. Biasanya kenduri menjadi penanda berakhirnya hajatan. Keluarga kami yang satu-satunya Kristen di kampung selalu diundang untuk hadir. Suatu kali saya mewakili orang tua saya yang berhalangan untuk mengikuti kenduri.
Sebelum makanan dibagikan untuk dibawa pulang oleh peserta kenduri, Pak Kaum (pemimpin doa) akan mempersembahkan makanan itu terlebih dahulu kepada para leluhur yang dipercaya di kampung kami. Sementara mereka berdoa demikian, saya menaikkan doa yang berbeda kepada Tuhan Yesus meskipun dalam hati. Saya berdoa, “Tuhan, sucikanlah makanan ini. Saya tidak mempersembahkan kepada siapapun, tetapi saya bersyukur karena makanan ini berasal dari padaMu.” Dan dengan damai sejahtera saya bisa menikmati makanan tanpa harus menyinggung perasaan orang yang memberikannya. Ada orang-orang yang ekstrim dengan membuang makanan itu, dan menurut saya ini kurang bijaksana.
Toleransi harus kita berikan kepada setiap penganut kepercayaan apapun. Sebagai orang Kristen kita harus bisa bergaul dan bermasyarakat dengan mereka. Yang tidak boleh terjadi adalah mencampur-adukkan (sinkretisme) keyakinan Kristen kita dengan keyakinan mereka. Toleransi Yes, Sinkretisme No! [JP]
Perjumpaanku dengan pribadi-pribadi dan permenunganku atas rentetan peristiwa...
Friday, September 19, 2008
KILLING ME SOFTLY...
“Ajaran orang bijak adalah sumber kehidupan, sehingga orang terhindar dari jerat-jerat maut.” (Amsal 13:14)
Saya pernah mendengar kisah bagaimana sesorang membunuh kodok untuk dijadikan swieke. Sebuah panci besar disiapkan dengan ¾ air di dalamnya. Panci itu lantas diletakkan di atas kompor. Kodok yang masih hidup dimasukkan ke dalam panci itu. Mereka senang karena bisa berenang di panci. Ketika api mulai dinyalakan, kodok-kodok itu merasa lebih hangat dan lebih nyaman berenang. Mereka tidak sadar bahwa lama-kelamaan air akan mendidih dan pada suhu tertentu matilah mereka kepanasan di dalam panci itu. Binatang amphibi itu tinggal menunggu waktu dikuliti.
Sahabat NK, tahukah Anda metode ‘membunuh pelan-pelan’ ini adalah strategi Iblis bagi orang-orang percaya? Pada awalnya kita dininabobokan dengan hal-hal yang kelihatannya enak. Iblis memberi tempat nyaman untuk memancing agar kita tertarik. Lalu ia memberi kenikmatan lebih hingga kita terlena dan akhirnya pada titik tertentu kita ditelikung. Pada saat tersebut, kita baru sadar bahwa kita telah dijerat Iblis.
Begitupun dengan masalah iman dan keyakinan yang kita pegang. Iblis kadang-kadang menawarkan keyakinan lain yang sepertinya tidak berbeda dengan kekristenan. Sama-sama mengajarkan kebaikan dan kasih. Sama-sama punya tujuan yang baik. Tidak jarang akhirnya orang Kristen yang belum dewasa rohani akan tertipu oleh ajaran-ajaran palsu itu.
Karena itu jangan mudah terbujuk iming-iming sesuatu yang kelihatannya baik padahal ujungnya adalah kejahatan. Seperti kata sebuah lagu “Killing me softly with this song...”, sebenarnya kita juga sedang menyerahkan diri untuk dibunuh pelan-pelan jika mulai berkompromi dengan Iblis. Hindari bujukan ajaran-ajaran palsu, sebaliknya semakin mendalami Alkitab akan menjadi benteng perlindungan yang aman. Telitilah ajaran yang asli dan murni, maka dengan mudah yang palsu akan kita ketahui. [JP]
“Ajaran orang bijak adalah sumber kehidupan, sehingga orang terhindar dari jerat-jerat maut.” (Amsal 13:14)
Saya pernah mendengar kisah bagaimana sesorang membunuh kodok untuk dijadikan swieke. Sebuah panci besar disiapkan dengan ¾ air di dalamnya. Panci itu lantas diletakkan di atas kompor. Kodok yang masih hidup dimasukkan ke dalam panci itu. Mereka senang karena bisa berenang di panci. Ketika api mulai dinyalakan, kodok-kodok itu merasa lebih hangat dan lebih nyaman berenang. Mereka tidak sadar bahwa lama-kelamaan air akan mendidih dan pada suhu tertentu matilah mereka kepanasan di dalam panci itu. Binatang amphibi itu tinggal menunggu waktu dikuliti.
Sahabat NK, tahukah Anda metode ‘membunuh pelan-pelan’ ini adalah strategi Iblis bagi orang-orang percaya? Pada awalnya kita dininabobokan dengan hal-hal yang kelihatannya enak. Iblis memberi tempat nyaman untuk memancing agar kita tertarik. Lalu ia memberi kenikmatan lebih hingga kita terlena dan akhirnya pada titik tertentu kita ditelikung. Pada saat tersebut, kita baru sadar bahwa kita telah dijerat Iblis.
Begitupun dengan masalah iman dan keyakinan yang kita pegang. Iblis kadang-kadang menawarkan keyakinan lain yang sepertinya tidak berbeda dengan kekristenan. Sama-sama mengajarkan kebaikan dan kasih. Sama-sama punya tujuan yang baik. Tidak jarang akhirnya orang Kristen yang belum dewasa rohani akan tertipu oleh ajaran-ajaran palsu itu.
Karena itu jangan mudah terbujuk iming-iming sesuatu yang kelihatannya baik padahal ujungnya adalah kejahatan. Seperti kata sebuah lagu “Killing me softly with this song...”, sebenarnya kita juga sedang menyerahkan diri untuk dibunuh pelan-pelan jika mulai berkompromi dengan Iblis. Hindari bujukan ajaran-ajaran palsu, sebaliknya semakin mendalami Alkitab akan menjadi benteng perlindungan yang aman. Telitilah ajaran yang asli dan murni, maka dengan mudah yang palsu akan kita ketahui. [JP]
TERIMA KASIH
”Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita...” (Efesus 5:20)
Kita paling tidak suka dengan orang yang tidak tahu berterima kasih. Mungkin Anda pernah mengalaminya sendiri. Suatu kali Anda memberikan sesuatu kepada orang lain, tetapi alih-alih berterima kasih, orang tersebut malah menipu Anda dan menikam dari belakang. Apa yang Anda rasakan? Jengkel dan kesal bukan? Sesudah itu kemudian Anda berjanji untuk tidak mau berhubungan dengan orang itu lagi.
Jika kita telisik lebih jauh, ada ‘filosofi’ yang mendalam dalam kata terima kasih itu sendiri. Kata itu tersusun dari dua kata ‘terima’ dan ‘kasih’. Pada saat seseorang memberikan sesuatu kepada kita, kita kemudian mengatakan ucapan ini. Artinya kita memang sedang menerima sesuatu, tetapi pada saat yang sama kita juga harus rela untuk menyalurkannya lagi. Kita tidak menerima untuk menikmatinya sendiri, tetapi untuk membagikannya kepada orang lain.
Kita tentu pernah mendengar tentang perbedaan Danau Galilea dan Laut Mati. Meskipun dialiri oleh sungai yang sama (Yordan), tetapi keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Tidak ada kehidupan di Laut Mati karena air hanya ditampung saja dan tidak mengalir lagi. Kadar garamnya menjadi sangat tinggi. Sementara Danau Galilea mengalirkannya ke sungai-sungai yang lebih kecil. Dari sanalah kemudian kehidupan bagi hewan air dan tetumbuhan di sekitarnya dimulai.
Tentu ini pelajaran menarik bagi kita. Bahwa sesuatu yang tidak dinikmati sendiri adalah kekuatan untuk menghidupi pihak lain. Sementara kerakusan dan keserakahan menyebabkan kematian bagi pihak lain. Saya percaya bahwa inilah rahasia hidup berkelimpahan di hadapan Allah; yaitu jika kita menjadi orang yang tahu berterima kasih. Sahabat, terima kasih karena Anda telah membaca renungan ini. [JP]
”Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita...” (Efesus 5:20)
Kita paling tidak suka dengan orang yang tidak tahu berterima kasih. Mungkin Anda pernah mengalaminya sendiri. Suatu kali Anda memberikan sesuatu kepada orang lain, tetapi alih-alih berterima kasih, orang tersebut malah menipu Anda dan menikam dari belakang. Apa yang Anda rasakan? Jengkel dan kesal bukan? Sesudah itu kemudian Anda berjanji untuk tidak mau berhubungan dengan orang itu lagi.
Jika kita telisik lebih jauh, ada ‘filosofi’ yang mendalam dalam kata terima kasih itu sendiri. Kata itu tersusun dari dua kata ‘terima’ dan ‘kasih’. Pada saat seseorang memberikan sesuatu kepada kita, kita kemudian mengatakan ucapan ini. Artinya kita memang sedang menerima sesuatu, tetapi pada saat yang sama kita juga harus rela untuk menyalurkannya lagi. Kita tidak menerima untuk menikmatinya sendiri, tetapi untuk membagikannya kepada orang lain.
Kita tentu pernah mendengar tentang perbedaan Danau Galilea dan Laut Mati. Meskipun dialiri oleh sungai yang sama (Yordan), tetapi keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Tidak ada kehidupan di Laut Mati karena air hanya ditampung saja dan tidak mengalir lagi. Kadar garamnya menjadi sangat tinggi. Sementara Danau Galilea mengalirkannya ke sungai-sungai yang lebih kecil. Dari sanalah kemudian kehidupan bagi hewan air dan tetumbuhan di sekitarnya dimulai.
Tentu ini pelajaran menarik bagi kita. Bahwa sesuatu yang tidak dinikmati sendiri adalah kekuatan untuk menghidupi pihak lain. Sementara kerakusan dan keserakahan menyebabkan kematian bagi pihak lain. Saya percaya bahwa inilah rahasia hidup berkelimpahan di hadapan Allah; yaitu jika kita menjadi orang yang tahu berterima kasih. Sahabat, terima kasih karena Anda telah membaca renungan ini. [JP]
CAPER
“Susulah yang kuberikan kepadamu, bukanlah makanan keras, sebab kamu belum dapat menerimanya. Dan sekarangpun kamu belum dapat menerimanya.” (1 Korintus 3:2)
Anda pasti pernah mendengar istilah dalam judul di atas. Coba amati dan ucapkan sekali lagi. Ya, ‘caper’ alias cari perhatian. Suatu kali saya mengamati seorang anak tetangga saya yang dikenal cukup nakal. Kebiasaan buruknya adalah menangis dan meronta di tempat umum setiap kali menginginkan sesuatu untuk dimiliki. Tangisan di tempat umum itu rupanya telah menjadi senjata yang ampuh baginya. Ketika ia menangis, kadang disertai dengan bergulung-gulung, orang tuanya merasa malu sehingga terpaksa membelikan apa yang diinginkan anaknya.
Namanya juga anak-anak. Ia belum bisa berpikir tentang bagaimana beratnya mencari uang. Kadang-kadang uang juga tidak selalu cukup karena sudah dialokasikan untuk hal-hal tertentu. Anehnya lagi kalau sudah dapat mainan baru dan ia melihat teman lain yang punya mainan yang sama, keinginan untuk memiliki muncul lagi. Jadi satu saja belum cukup. Demikianlah anak-anak yang selalu memusatkan segala sesuatu pada dirinya sendiri. Ia tidak peduli dengan kondisi sekeliling karena segala sesuatu adalah untuk dirinya. Semua akan berubah secara alami jika didikan orang tuanya menyertai dalam perjalanannya menjadi dewasa.
Kepada anak-anak rohaninya di Korintus, Paulus melakukan hal yang sama. Ia menegur mereka agar tidak terus-menerus menjadi bayi rohani, tetapi harus berangsur-angsur bertumbuh menjadi dewasa di dalam Kristus. Pribadi yang dewasa di dalam Kristus tidak lagi memusatkan segala sesuatu pada dirinya dan mencari perhatian orang lain, sebaliknya pusat hidupnya adalah untuk menyengkan Kristus. Pusat perhatiannya adalah Kristus.
Sahabat, ada sebuah pertanyaan menggelitik, “Are you growing up or you just growing old?” Anda bertumbuh dewasa atau hanya sekedar menjadi tua? Mari renungkan bersama jawabannya. [JP]
“Susulah yang kuberikan kepadamu, bukanlah makanan keras, sebab kamu belum dapat menerimanya. Dan sekarangpun kamu belum dapat menerimanya.” (1 Korintus 3:2)
Anda pasti pernah mendengar istilah dalam judul di atas. Coba amati dan ucapkan sekali lagi. Ya, ‘caper’ alias cari perhatian. Suatu kali saya mengamati seorang anak tetangga saya yang dikenal cukup nakal. Kebiasaan buruknya adalah menangis dan meronta di tempat umum setiap kali menginginkan sesuatu untuk dimiliki. Tangisan di tempat umum itu rupanya telah menjadi senjata yang ampuh baginya. Ketika ia menangis, kadang disertai dengan bergulung-gulung, orang tuanya merasa malu sehingga terpaksa membelikan apa yang diinginkan anaknya.
Namanya juga anak-anak. Ia belum bisa berpikir tentang bagaimana beratnya mencari uang. Kadang-kadang uang juga tidak selalu cukup karena sudah dialokasikan untuk hal-hal tertentu. Anehnya lagi kalau sudah dapat mainan baru dan ia melihat teman lain yang punya mainan yang sama, keinginan untuk memiliki muncul lagi. Jadi satu saja belum cukup. Demikianlah anak-anak yang selalu memusatkan segala sesuatu pada dirinya sendiri. Ia tidak peduli dengan kondisi sekeliling karena segala sesuatu adalah untuk dirinya. Semua akan berubah secara alami jika didikan orang tuanya menyertai dalam perjalanannya menjadi dewasa.
Kepada anak-anak rohaninya di Korintus, Paulus melakukan hal yang sama. Ia menegur mereka agar tidak terus-menerus menjadi bayi rohani, tetapi harus berangsur-angsur bertumbuh menjadi dewasa di dalam Kristus. Pribadi yang dewasa di dalam Kristus tidak lagi memusatkan segala sesuatu pada dirinya dan mencari perhatian orang lain, sebaliknya pusat hidupnya adalah untuk menyengkan Kristus. Pusat perhatiannya adalah Kristus.
Sahabat, ada sebuah pertanyaan menggelitik, “Are you growing up or you just growing old?” Anda bertumbuh dewasa atau hanya sekedar menjadi tua? Mari renungkan bersama jawabannya. [JP]
Wednesday, September 03, 2008
NARSIS
“Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah.” (Filipi 1:21-22)
Narsisme adalah perasaan mengasihi diri sendiri secara berlebihan. Hal ini bisa disebabkan olah beberapa hal, salah satunya adalah merasa bahwa dirinyalah pusat kehidupan. Segala sesuatu adalah tentang dirinya. Menurut Dharmayanti Utoyo Lubis, MA., Ph.D., seorang psikolog, narsisme menyerang sebagian besar remaja. Mengapa demikian? Karena remaja cenderung memiliki sifat self conscious, alias perhatian yang mendalam terhadap dirinya sendiri.
Simaklah pengakuan Cecil (bukan nama sebenarnya) yang masih berseragam biru-putih berikut, “Aku suka aja lihat mukaku di foto. Ih... Cantik banget. Pokoknya fotogenik abisss... Bagian-bagian tubuhku yang lain juga keren lho kalau difoto.” Ia memajang fotonya di setiap tepat yang memungkinkan. Kamar, dompet, layar telepon selular, situs pertemanan dan blog pribadinya dipenuhi foto-fotonya. Dan remaja SMP itu akhirnya terlibat dalam produksi foto-foto porno. Anda yang memiliki anak remaja putri, perlu berhati-ati dalam hal ini.
Celakanya, orang sulit membedakan antara percaya diri dan narsis. Keduanya memang beda tipis. Bahkan ‘penyakit cinta diri’ ini telah menghinggapi orang-orang yang bukan remaja lagi. Kalau sudah begini, biasanya kesombongan dan keangkuhanlah yang menjadi ‘teman dekat.’
Tidaklah demikian dengan kekristenan. Alkitab mengajarkan bahwa pusat dalam hidup kita bukanlah diri kita sendiri, tetapi Kristus (Christocentris). Motto hidup Paulus yang sangat terkenal adalah, “Bagiku hidup adalah Kristus!” Yohanes Pembaptis punya filosofi, “Dia harus makin bertambah, aku harus makin berkurang!” Semuanya menyiratkan satu hal: Kristus sebagai pusat kehidupan kekristenan kita. [JP]
“Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah.” (Filipi 1:21-22)
Narsisme adalah perasaan mengasihi diri sendiri secara berlebihan. Hal ini bisa disebabkan olah beberapa hal, salah satunya adalah merasa bahwa dirinyalah pusat kehidupan. Segala sesuatu adalah tentang dirinya. Menurut Dharmayanti Utoyo Lubis, MA., Ph.D., seorang psikolog, narsisme menyerang sebagian besar remaja. Mengapa demikian? Karena remaja cenderung memiliki sifat self conscious, alias perhatian yang mendalam terhadap dirinya sendiri.
Simaklah pengakuan Cecil (bukan nama sebenarnya) yang masih berseragam biru-putih berikut, “Aku suka aja lihat mukaku di foto. Ih... Cantik banget. Pokoknya fotogenik abisss... Bagian-bagian tubuhku yang lain juga keren lho kalau difoto.” Ia memajang fotonya di setiap tepat yang memungkinkan. Kamar, dompet, layar telepon selular, situs pertemanan dan blog pribadinya dipenuhi foto-fotonya. Dan remaja SMP itu akhirnya terlibat dalam produksi foto-foto porno. Anda yang memiliki anak remaja putri, perlu berhati-ati dalam hal ini.
Celakanya, orang sulit membedakan antara percaya diri dan narsis. Keduanya memang beda tipis. Bahkan ‘penyakit cinta diri’ ini telah menghinggapi orang-orang yang bukan remaja lagi. Kalau sudah begini, biasanya kesombongan dan keangkuhanlah yang menjadi ‘teman dekat.’
Tidaklah demikian dengan kekristenan. Alkitab mengajarkan bahwa pusat dalam hidup kita bukanlah diri kita sendiri, tetapi Kristus (Christocentris). Motto hidup Paulus yang sangat terkenal adalah, “Bagiku hidup adalah Kristus!” Yohanes Pembaptis punya filosofi, “Dia harus makin bertambah, aku harus makin berkurang!” Semuanya menyiratkan satu hal: Kristus sebagai pusat kehidupan kekristenan kita. [JP]
INJAK KE BAWAH, SIKUT KE SAMPING, JILAT KE ATAS
“Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.” (Yakobus 4:14b)
Urip mung mampir ngombe (hidup ibarat mampir minum), begitu kata pepatah bijak Jawa. Tekanan utama yang ingin disampaikan di sini adalah untuk mengingatkan kepada manusia mengenai kesementaraan hidup di dunia. Sesungguhnya ada sebuah kehidupan lain yang akan dijalani dalam kekekalan.
Senada dengan itu, Donald Coggan (uskup Agung Canterbury) menyatakan, “Saya menjalani hidup ini sebagai seorang yang mengadakan perjalanan menuju kekekalan, seorang yang diciptakan menurut gambar Allah, tetapi gambar itu telah hilang kemuliaannya hingga saya perlu belajar cara bermeditasi, beribadah, dan berpikir.”
Orang yang tidak melihat kepada kekekalan cenderung untuk menghabiskan energi pada hal-hal yang sebenarnya bersifat sementara. Fokus hidup mereka adalah mengumpulkan kekayaan. Waktu banyak dihabiskan untuk mengejar kedudukan. Dan untuk mendapatkan itu semua, sebuah jurus dilakukan. Jurus itu adalah injak ke bawah, sikut ke samping dan jilat ke atas. Dengan cara yang culas orang berusaha mendapatkan apa yang diinginkannya, padahal hanya bersifat temporal. Orang tega menginjak orang di bawahnya, berani menyikut rekan-rekan sekerjanya dan hobi menjilat orang-orang di atasnya.
Sahabat, kita perlu mengingat kembali tentang betapa sementaranya hidup kita ini. Semuanya berlalu begitu cepat. Alangkah sayangnya kalau kita justru berfokus pada hal-hal kekinian yang tidak ada hubungannya dengan kekekalan sama sekali. Kata Rick Warren, sekarang ini kita baru berlatih menuju kekekalan. Karena itu manfaatkan sebaik mungkin waktu yang kita miliki untuk perkara-perkara abadi. [JP]
note: thanks to Ps. Gideon Rusli untuk inspirasi judulnya...
“Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.” (Yakobus 4:14b)
Urip mung mampir ngombe (hidup ibarat mampir minum), begitu kata pepatah bijak Jawa. Tekanan utama yang ingin disampaikan di sini adalah untuk mengingatkan kepada manusia mengenai kesementaraan hidup di dunia. Sesungguhnya ada sebuah kehidupan lain yang akan dijalani dalam kekekalan.
Senada dengan itu, Donald Coggan (uskup Agung Canterbury) menyatakan, “Saya menjalani hidup ini sebagai seorang yang mengadakan perjalanan menuju kekekalan, seorang yang diciptakan menurut gambar Allah, tetapi gambar itu telah hilang kemuliaannya hingga saya perlu belajar cara bermeditasi, beribadah, dan berpikir.”
Orang yang tidak melihat kepada kekekalan cenderung untuk menghabiskan energi pada hal-hal yang sebenarnya bersifat sementara. Fokus hidup mereka adalah mengumpulkan kekayaan. Waktu banyak dihabiskan untuk mengejar kedudukan. Dan untuk mendapatkan itu semua, sebuah jurus dilakukan. Jurus itu adalah injak ke bawah, sikut ke samping dan jilat ke atas. Dengan cara yang culas orang berusaha mendapatkan apa yang diinginkannya, padahal hanya bersifat temporal. Orang tega menginjak orang di bawahnya, berani menyikut rekan-rekan sekerjanya dan hobi menjilat orang-orang di atasnya.
Sahabat, kita perlu mengingat kembali tentang betapa sementaranya hidup kita ini. Semuanya berlalu begitu cepat. Alangkah sayangnya kalau kita justru berfokus pada hal-hal kekinian yang tidak ada hubungannya dengan kekekalan sama sekali. Kata Rick Warren, sekarang ini kita baru berlatih menuju kekekalan. Karena itu manfaatkan sebaik mungkin waktu yang kita miliki untuk perkara-perkara abadi. [JP]
note: thanks to Ps. Gideon Rusli untuk inspirasi judulnya...
SE-EKSTRIM ITU KAH?
“Allah telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia...” (Kisah Para Rasul 17:24)
Suatu kali saya mengantar (alm) Dr. Wagiyono Sumarto, seorang dosen dari Institut Injil Indonesia Malang untuk melihat gamelan di beberapa tempat di Jogja. Ia seorang dosen yang kala itu menggunakan budaya Jawa sebagai sarana kesaksian. Menurutnya tradisi bisa dipakai sebagai sarana komunikasi Injil yang efektif. Tetapi apakah semudah itu?
Ternyata tidak. Akar budaya di Indonesia telah bersinggungan dengan kepercayaan dan praktek agama suku yang sebagian besar menganut animisme. Menyembah batu besar, pohon-pohon keramat, tempat-tempat angker dan sejenisnya. Tidak jarang kemudian terjadi percampuran (sinkretisme) dan akhirnya kalau kita mendengar ‘tradisi’, kita mengidentikkannya dengan hal-hal yang magis dan mistis. Lalu tradisi menjadi semakin jauh dengan kekristenan, bahkan telah dianggap musuh oleh kalangan tertentu. Harus se-ekstrim itu kah?
Sebagai orang percaya yang hidup di Indonesia, bersinggungan dengan tradisi yang sudah lebih lama ada adalah sebuah keniscayaan. Mau atau tidak, suka atau tidak, kita akan mengalaminya. Kita perlu menyadari bahwa budaya sebagai hasil dari peradaban manusia adalah netral sifatnya. Ia seperti sebilah pisau yang bisa digunakan untuk maksud yang baik (memasak misalnya), tetapi juga bisa menjadi alat kejahatan (membunuh, merampok, dll).
Kebudayaan pun bisa dimanfaatkan untuk maksud pelayanan, tetapi juga bisa dipakai iblis untuk melaksanakan maksudnya. Jadi bukan senjatanya yang penting, tetapi siapa yang menggunakannya. Yang mendesak untuk dilakukan sekarang adalah bagaimana kita bisa memilih dan memilah, mana tradisi yang bisa kita lestarikan dan manfaatkan; dan mana tradisi yang perlu dibuang. Bukankah begitu? [JP]
“Allah telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia...” (Kisah Para Rasul 17:24)
Suatu kali saya mengantar (alm) Dr. Wagiyono Sumarto, seorang dosen dari Institut Injil Indonesia Malang untuk melihat gamelan di beberapa tempat di Jogja. Ia seorang dosen yang kala itu menggunakan budaya Jawa sebagai sarana kesaksian. Menurutnya tradisi bisa dipakai sebagai sarana komunikasi Injil yang efektif. Tetapi apakah semudah itu?
Ternyata tidak. Akar budaya di Indonesia telah bersinggungan dengan kepercayaan dan praktek agama suku yang sebagian besar menganut animisme. Menyembah batu besar, pohon-pohon keramat, tempat-tempat angker dan sejenisnya. Tidak jarang kemudian terjadi percampuran (sinkretisme) dan akhirnya kalau kita mendengar ‘tradisi’, kita mengidentikkannya dengan hal-hal yang magis dan mistis. Lalu tradisi menjadi semakin jauh dengan kekristenan, bahkan telah dianggap musuh oleh kalangan tertentu. Harus se-ekstrim itu kah?
Sebagai orang percaya yang hidup di Indonesia, bersinggungan dengan tradisi yang sudah lebih lama ada adalah sebuah keniscayaan. Mau atau tidak, suka atau tidak, kita akan mengalaminya. Kita perlu menyadari bahwa budaya sebagai hasil dari peradaban manusia adalah netral sifatnya. Ia seperti sebilah pisau yang bisa digunakan untuk maksud yang baik (memasak misalnya), tetapi juga bisa menjadi alat kejahatan (membunuh, merampok, dll).
Kebudayaan pun bisa dimanfaatkan untuk maksud pelayanan, tetapi juga bisa dipakai iblis untuk melaksanakan maksudnya. Jadi bukan senjatanya yang penting, tetapi siapa yang menggunakannya. Yang mendesak untuk dilakukan sekarang adalah bagaimana kita bisa memilih dan memilah, mana tradisi yang bisa kita lestarikan dan manfaatkan; dan mana tradisi yang perlu dibuang. Bukankah begitu? [JP]
BATAS KERAMAH-TAMAHAN KRISTEN
“...janganlah kamu menerima dia di dalam rumahmu dan janganlah memberi salam kepadanya. Sebab barangsiapa memberi salam kepadanya, ia mendapat bagian dalam perbuatannya yang jahat.” (2 Yohanes 1:10-11)
Beberapa tahun belakangan marak terjadi kasus penculikan anak. Modus operandinya beragam. Dari yang menyamar sebagai pembantu rumah tangga, berpura-pura sebagai sosok yang baik dan menyayangi anak, hingga modus kekerasan. Tetapi ujung-ujungnya selalu untuk mencelakai si anak dan kemudian mendapatkan keuntungan materi dari orang tuanya dengan meminta tebusan sejumlah uang. Untuk menghadapi problem ini, orang tua pasti punya batas-batas keramahan terhadap orang-orang tak dikenal yang mendekati anaknya. Masalahnya bukan tidak punya kasih, tetapi kalau jiwa anak terancam pasti lain urusannya.
Sahabat, sejak sejarah gereja mula-mula penyesatan telah menjadi masalah yang pelik bagi para rasul. Penyesatan adalah bahaya terbesar bagi sebuah keyakinan iman dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Sepintas, kalau kita amati bacaan ayat di atas, Yohanes bisa terkesan kejam. Tidak bolehkah sekedar memberi salam? Asalkan tidak menerima ajarannya, bukankah tidak menjadi soal? Apalagi bagi kita orang Timur yang mengedepankan sopan santun dan keramah-tamahan; sulit rasanya untuk melaksanakan ayat di atas.
Dari sebuah buku yang saya baca, ada penjelasan menarik terhadap ayat di atas. Keramah-tamahan Kristen harus dihentikan jika bahaya penyesatan kemudian mengancam. Memberi salam dalam konteks Timur Tengah memang berbeda dengan bersalaman dalam budaya Indonesia. Memberi salam bisa berarti mempersilakan mereka masuk, menjamu mereka di meja makan dan membiarkan guru palsu itu mengajarkan ajarannya yang menyimpang. Itulah alasan mengapa memberi salam pun merupakan sebuah bagian dari perbuatannya yang jahat.
Tidak ada larangan untuk bergaul dengan orang yang sesat asal jangan kita menjadi terpengaruh. Kita tidak membenci orangnya, yang kita tolak dengan tegas adalah ajarannya. [JP]
“...janganlah kamu menerima dia di dalam rumahmu dan janganlah memberi salam kepadanya. Sebab barangsiapa memberi salam kepadanya, ia mendapat bagian dalam perbuatannya yang jahat.” (2 Yohanes 1:10-11)
Beberapa tahun belakangan marak terjadi kasus penculikan anak. Modus operandinya beragam. Dari yang menyamar sebagai pembantu rumah tangga, berpura-pura sebagai sosok yang baik dan menyayangi anak, hingga modus kekerasan. Tetapi ujung-ujungnya selalu untuk mencelakai si anak dan kemudian mendapatkan keuntungan materi dari orang tuanya dengan meminta tebusan sejumlah uang. Untuk menghadapi problem ini, orang tua pasti punya batas-batas keramahan terhadap orang-orang tak dikenal yang mendekati anaknya. Masalahnya bukan tidak punya kasih, tetapi kalau jiwa anak terancam pasti lain urusannya.
Sahabat, sejak sejarah gereja mula-mula penyesatan telah menjadi masalah yang pelik bagi para rasul. Penyesatan adalah bahaya terbesar bagi sebuah keyakinan iman dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Sepintas, kalau kita amati bacaan ayat di atas, Yohanes bisa terkesan kejam. Tidak bolehkah sekedar memberi salam? Asalkan tidak menerima ajarannya, bukankah tidak menjadi soal? Apalagi bagi kita orang Timur yang mengedepankan sopan santun dan keramah-tamahan; sulit rasanya untuk melaksanakan ayat di atas.
Dari sebuah buku yang saya baca, ada penjelasan menarik terhadap ayat di atas. Keramah-tamahan Kristen harus dihentikan jika bahaya penyesatan kemudian mengancam. Memberi salam dalam konteks Timur Tengah memang berbeda dengan bersalaman dalam budaya Indonesia. Memberi salam bisa berarti mempersilakan mereka masuk, menjamu mereka di meja makan dan membiarkan guru palsu itu mengajarkan ajarannya yang menyimpang. Itulah alasan mengapa memberi salam pun merupakan sebuah bagian dari perbuatannya yang jahat.
Tidak ada larangan untuk bergaul dengan orang yang sesat asal jangan kita menjadi terpengaruh. Kita tidak membenci orangnya, yang kita tolak dengan tegas adalah ajarannya. [JP]
Subscribe to:
Posts (Atom)