RAPTURE (PENGANGKATAN) DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP ETIKA KRISTEN
Rapture menjadi isu penting dalam pembahasan mengenai Eskatologi. Karena pentingnya, masalah ini sering diberi porsi yang lebih oleh para penafsir dan peneliti Alkitab ketika mengemukakan opininya tentang masalah-masalah yang berkenaan dengan akhir zaman. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan tentang rapture atau “pengangkatan” dari sisi etimologis (pencarian tentang makna dan arti dari sisi bahasa), tetapi lebih bertekanan kepada aspek praktis dan mencari implikasi dari istilah rapture itu sendiri. Juga tidak sedang mencari jawaban atas pertanyaan kapan peristiwa itu akan terjadi, karena masih banyak perdebatan dalam hal ini.
Sesungguhnya, apakah memang ada hubungan antara etika Kristen dengan rapture? Pertanyaan itu memang lebih sering mengemuka dan mendesak untuk dijawab. Sepintas, kedua masalah itu tidak saling berhubungan. Rapture berbicara tentang tindakan Kristus dalam sebuah titik waktu pada masa yang akan datang untuk memberikan kepada gereja-Nya hakikat dan posisi baru. Mengangkat gerejaNya untuk menjadi mempelai wanita dan kemudian berlangsung pesta perjamuan kawin Anak Domba. Sedangkan Etika Kristen bersangkut paut dengan keputusan dan tindakan orang Kristen di dalam proses hidupnya pada masa kini. Orang Kristen diperhadapkan pada keputusan-keputusan tentang benar dan salah, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Dan semua itu terjadi pada masa kini.
Keyakinan awal yang hendak kita kembangkan di sini adalah bahwa tindakan dan perilaku orang Kristen pada masa kini akan berdampak pada kehidupannya pada masa mendatang. Tidak ada satu perilakupun yang akan terlepas dari penilaian dan penghakiman Tuhan. Tentu saja kita semua tahu bahwa perbuatan seseorang tidak akan berpengaruh terhadap keselamatannya. Maksudnya, segala perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Bukan untuk menjadi dasar penilaian apakah ia layak masuk sorga atau tidak, tetapi untuk mengukur seberapa besar mahkota yang akan diterimanya.
Pada masa kini, orang Kristen menghadapi banyak sekali pergumulan etis kontemporer. Dunia yang terus berkembang membawa kesulitan-kesulitan baru bagi kita untuk mengambil keputusan etis. Sikap terhadap aborsi (pengguguran bayi), ketaatan pada pemerintah, peperangan dan isu-isu tentang pernikahan dan perceraian, mungkin telah selesai dirumuskan, meski tidak steril dari pro dan kontra. Tetapi kesulitan yang baru muncul ketika di beberapa negara kaum gay mulai dengan lantang menyuarakan haknya. Para lesbian dan homoseks menuntut haknya untuk bisa diberkati ‘pernikahannya’ secara legal di dalam gereja. Kemudian masalah kloning yang juga masih menjadi kontroversi publik. Bagaimana gereja harus menentukan sikapnya? Sampai saat ini, belum ada sikap yang seragam di dalam gereja terhadap kasus ini. Belum lagi problem-problem kontemporer lain semacam eutanasia, isu-isu biomedis dan sikap orang Kristen terhadap pemeliharaan ekologi (lingkungan). Orang Kristen masih terus mencari rumusan sikap dan tindakan yang harus diambil menghadapi masalah-masalah baru ini.
Hubungannya dengan rapture? Kepada jemaat di Tesalonika, Paulus menegaskan bahwa hendaknya rapture disampaikan sebagai berita penghiburan bagi jemaat (1 Tes. 4:16-18). Tak terelakkan bahwa saat pengangkatan tersebut adalah saat-saat yang membahagiakan orang Kristen. Ketika gerejanya diberi tubuh baru dalam sekejap dan dilepaskan dari segala bentuk penderitaan dunia. Tubuh kemuliaan yang tidak lagi mengenal sakit penyakit, penderitaan dan air mata. Berangkat dari keyakinan ini, kita termotivasi untuk terus berjuang menghadapi segala problem etis yang terjadi. Semua yang harus terjadi pada masa kini bukanlah peristiwa-peristiwa yang tidak akan berakhir. Akan ada saat-saat di mana pergumulan etis semacam ini akan dihentikan. Keputusan-keputusan etis yang diambil orang Kristen setiap hari harus dilihat sebagai kewajiban yang tak terelakkan. Merupakan ‘salib’ yang harus dipanggul setiap hari sebagai konsekuensi hidup di dunia, meskipun kadang berat dan sulit.
Peristiwa rapture tidak hanya berhenti pada sebatas penggantian tubuh baru semata-mata, tetapi akan diikuti dengan serangkain peristiwa yang lain. Pernikahan Anak Domba dengan gereja sebagai mempelai perempuan-Nya, ‘reuni’ besar orang-orang yang ditebus-Nya dan pembagian mahkota, akan mengikuti peristiwa rapture. Kita kembali kepada keyakinan semula bahwa setiap perbuatan dan tingkah laku manusia (yang sebenarnya merupakan sebuah keputusan etis) akan dipertanggungjawabkan di hadapan takhta pengadilan Kristus. Kalau kita melihat hal ini, tentu saja kita dimotivasi untuk melakukan apa saja yang terbaik bagi Tuhan. Semangat asal-asalan dan tanpa dasar yang benar dalam mengambil sebuah keputusan etis, sudah waktunya untuk ditinggalkan. Dasar kita untuk menilai dan menyikapi sesuatu harus dikembalikan kepada kebenaran Firman Tuhan, sambil terus menantikan saat-saat membahagiakan tersebut, di mana Tuhan mengatakan, “baik sekali perbuatanmu, hai hamba-Ku yang setia!”***
TERHADAP ETIKA KRISTEN
Rapture menjadi isu penting dalam pembahasan mengenai Eskatologi. Karena pentingnya, masalah ini sering diberi porsi yang lebih oleh para penafsir dan peneliti Alkitab ketika mengemukakan opininya tentang masalah-masalah yang berkenaan dengan akhir zaman. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan tentang rapture atau “pengangkatan” dari sisi etimologis (pencarian tentang makna dan arti dari sisi bahasa), tetapi lebih bertekanan kepada aspek praktis dan mencari implikasi dari istilah rapture itu sendiri. Juga tidak sedang mencari jawaban atas pertanyaan kapan peristiwa itu akan terjadi, karena masih banyak perdebatan dalam hal ini.
Sesungguhnya, apakah memang ada hubungan antara etika Kristen dengan rapture? Pertanyaan itu memang lebih sering mengemuka dan mendesak untuk dijawab. Sepintas, kedua masalah itu tidak saling berhubungan. Rapture berbicara tentang tindakan Kristus dalam sebuah titik waktu pada masa yang akan datang untuk memberikan kepada gereja-Nya hakikat dan posisi baru. Mengangkat gerejaNya untuk menjadi mempelai wanita dan kemudian berlangsung pesta perjamuan kawin Anak Domba. Sedangkan Etika Kristen bersangkut paut dengan keputusan dan tindakan orang Kristen di dalam proses hidupnya pada masa kini. Orang Kristen diperhadapkan pada keputusan-keputusan tentang benar dan salah, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Dan semua itu terjadi pada masa kini.
Keyakinan awal yang hendak kita kembangkan di sini adalah bahwa tindakan dan perilaku orang Kristen pada masa kini akan berdampak pada kehidupannya pada masa mendatang. Tidak ada satu perilakupun yang akan terlepas dari penilaian dan penghakiman Tuhan. Tentu saja kita semua tahu bahwa perbuatan seseorang tidak akan berpengaruh terhadap keselamatannya. Maksudnya, segala perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Bukan untuk menjadi dasar penilaian apakah ia layak masuk sorga atau tidak, tetapi untuk mengukur seberapa besar mahkota yang akan diterimanya.
Pada masa kini, orang Kristen menghadapi banyak sekali pergumulan etis kontemporer. Dunia yang terus berkembang membawa kesulitan-kesulitan baru bagi kita untuk mengambil keputusan etis. Sikap terhadap aborsi (pengguguran bayi), ketaatan pada pemerintah, peperangan dan isu-isu tentang pernikahan dan perceraian, mungkin telah selesai dirumuskan, meski tidak steril dari pro dan kontra. Tetapi kesulitan yang baru muncul ketika di beberapa negara kaum gay mulai dengan lantang menyuarakan haknya. Para lesbian dan homoseks menuntut haknya untuk bisa diberkati ‘pernikahannya’ secara legal di dalam gereja. Kemudian masalah kloning yang juga masih menjadi kontroversi publik. Bagaimana gereja harus menentukan sikapnya? Sampai saat ini, belum ada sikap yang seragam di dalam gereja terhadap kasus ini. Belum lagi problem-problem kontemporer lain semacam eutanasia, isu-isu biomedis dan sikap orang Kristen terhadap pemeliharaan ekologi (lingkungan). Orang Kristen masih terus mencari rumusan sikap dan tindakan yang harus diambil menghadapi masalah-masalah baru ini.
Hubungannya dengan rapture? Kepada jemaat di Tesalonika, Paulus menegaskan bahwa hendaknya rapture disampaikan sebagai berita penghiburan bagi jemaat (1 Tes. 4:16-18). Tak terelakkan bahwa saat pengangkatan tersebut adalah saat-saat yang membahagiakan orang Kristen. Ketika gerejanya diberi tubuh baru dalam sekejap dan dilepaskan dari segala bentuk penderitaan dunia. Tubuh kemuliaan yang tidak lagi mengenal sakit penyakit, penderitaan dan air mata. Berangkat dari keyakinan ini, kita termotivasi untuk terus berjuang menghadapi segala problem etis yang terjadi. Semua yang harus terjadi pada masa kini bukanlah peristiwa-peristiwa yang tidak akan berakhir. Akan ada saat-saat di mana pergumulan etis semacam ini akan dihentikan. Keputusan-keputusan etis yang diambil orang Kristen setiap hari harus dilihat sebagai kewajiban yang tak terelakkan. Merupakan ‘salib’ yang harus dipanggul setiap hari sebagai konsekuensi hidup di dunia, meskipun kadang berat dan sulit.
Peristiwa rapture tidak hanya berhenti pada sebatas penggantian tubuh baru semata-mata, tetapi akan diikuti dengan serangkain peristiwa yang lain. Pernikahan Anak Domba dengan gereja sebagai mempelai perempuan-Nya, ‘reuni’ besar orang-orang yang ditebus-Nya dan pembagian mahkota, akan mengikuti peristiwa rapture. Kita kembali kepada keyakinan semula bahwa setiap perbuatan dan tingkah laku manusia (yang sebenarnya merupakan sebuah keputusan etis) akan dipertanggungjawabkan di hadapan takhta pengadilan Kristus. Kalau kita melihat hal ini, tentu saja kita dimotivasi untuk melakukan apa saja yang terbaik bagi Tuhan. Semangat asal-asalan dan tanpa dasar yang benar dalam mengambil sebuah keputusan etis, sudah waktunya untuk ditinggalkan. Dasar kita untuk menilai dan menyikapi sesuatu harus dikembalikan kepada kebenaran Firman Tuhan, sambil terus menantikan saat-saat membahagiakan tersebut, di mana Tuhan mengatakan, “baik sekali perbuatanmu, hai hamba-Ku yang setia!”***
No comments:
Post a Comment