Lebih baik di sini, rumah kita sendiri... Segala nikmat dan anugerah Yang Kuasa, semuanya ada di sini. Rumah kita... (Rumah Kita – God Bless). 
Kelompok  musik cadas God Bless, menggambarkan tentang kesederhanaan sebuah  rumah tangga melalui Rumah Kita, yang syairnya saya penggal di  atas. Ahmad Albar dkk mungkin sedang ingin melancarkan kritik  terhadap rumah megah tetapi kosong kasih sayang. Dan itulah yang acap  tersaji dalam tabung televisi kita hari-hari ini. Sinetron dengan  setting orang kaya, rumah bagus dan segala intrik yang terjadi di  dalamnya.
Tayangan  yang menghadirkan kebersahajaan dan keharmonisan sebuah keluarga  rasanya jarang, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali, muncul di  ruang tonton kita. Apakah itu memang mewakili keadaan sesungguhnya  di dunia nyata? Entahlah...
Baru-baru ini ada sebuah riset  yang menyatakan bahwa kemudahan dan perkembangan internet  dianggap mengorbankan keharmonisan keluarga. Waktu kebersamaan dinilai  semakin sedikit lantaran banyak anggota keluarga yang lebih memilih  untuk berinternet ria ketimbang bercengkerama dengan keluarga.  Penelitian itu dilakukan oleh Michael Gilbert, peneliti senior Center for the Digital Future dari University of Annenberg School for Communication.
Lebih lanjut Gilbert mengatakan bahwa waktu bagi anggota keluarga untuk bercengkerama secara face to face  semakin terkikis. Sebab, setelah seharian dijejali oleh kesibukan  kantor dan berbagai aktivitas lainnya, setelah pulang ke rumah pun hal  yang mereka lakukan adalah eksis di dunia maya. Waktu dihabiskan di  depan layar komputer. Penelitian ini bukan yang pertama kali. Beberapa  riset sebelumnya telah mengungkap sisi negatif internet yang  mengubah jutaan perilaku penggunanya. 
“Internet berbeda  dengan televisi. Internet lebih menonjolkan layanan perorangan dan  membuat ketergantungan. Faktor utama ‘keberhasilan’ internet  adalah interaktif. Anda hanya tinggal duduk dan memberikan respon,”  jelas Gilbert. Center Digital Future Project sendiri telah  melakukan survei kepada sekitar 2.000 keluarga di AS. Ketika tahun 2005,  hasil survei menyimpulkan bahwa rata-rata setiap keluarga  menghabiskan waktu kebersamaan mereka adalah sekitar 26 jam sebulan.  Namun, waktu kebersamaan keluarga tersebut pada 2008 langsung  turun drastis menjadi hanya 18 jam per bulan. “Situs jaringan sosial  seperti Twitter dan Facebook meledak pada 2007. Pada saat itu,  lebih dari setengah orang yang online mengatakan bahwa komunitas online  seperti ini sangat penting bagi kehidupan offline mereka,” tuturnya.
Rasanya  tidak berlebihan jika mengatakan bahwa si jahat memang punya  kepentingan dalam kehancuran keluarga. Iblis tahu persis bahwa keluarga  adalah satuan komunitas terkecil yang amat menyokong komunitas lain yang  lebih besar yaitu masyarakat dan bangsa. Logikanya, kalau yang kecil  dihancurkan terlebih dahulu, secara otomatis kehancuran komunitas yang  lebih besar tinggal menunggu waktu. Alat untuk mencapai tujuannya itu  adalah: media!  
Karena itu kita perlu menaruh perhatian  lebih terhadap sisi negatif media yang dikonsumsi setiap anggota  keluarga kita. Dengan berusaha saling mendukung dan mengingatkan,  kiranya media  seperti televisi, internet, dll; justru menjadi sarana  mempererat keharmonisan keluarga. Jangan  beri kesempatan kepada iblis  untuk merebut dan memanfaatkan media sebagai alat penghancur  rumah tangga. Mari selamatkan rumah kita...***

 
 
No comments:
Post a Comment