PAK GURU SUKIDI
Ingatanku melayang pada Piala Dunia 90, bukan pada bintang-bintang lapangannya, tetapi pada Pak Sukidi. Sukidi adalah seorang guru di dusun kami yang puluhan tahun telah mengabdi di beberapa sekolah dasar. Ia adalah salah satu dari segelintir orang yang punya televisi berwarna di kampung. Jadilah rumahnya dijadikan sebagai tempat ‘nonton bareng'.
Dengan Bu Semi, istrinya, kami disambut ramah. Tak hanya itu, setiap malam selalu terhidang kopi atau teh ditemani penganan khas dusun semacam jagung atau singkong rebus. Kadang kami jadi tak enak hati hati. Udah nonton gratis, mengganggu jam tidur keluarga sederhana ini dan menghabiskan makanannya.
Suatu ketika, tak satupun orang yang nonton karena hari itu memang sangat melelahkan. Kami baru saja menyelesaikan proyek pengerasan jalan hingga batas dusun seberang. Sukidi merasa ‘kehilangan’. Berkali-kali ia membunyikan kentongan di pos ronda depan rumahnya. Barangkali untuk mengingatkan bahwa jam nonton bareng sudah tiba. Tak satupun dari kami yang menampakkan batang hidung.
Hari berikutnya baru kami bisa berkumpul kembali. Sebenarnya Piala Dunia bukanlah yang terpenting. Tetapi komunitas yang tercipta karena jauh lebih penting. Acara nonton bareng itu sendiri bisa jadi ajang kongkow-kongkow dan membicarakan banyak hal. Menyelesaikan masalah iuran di dusun, merencanakan sambatan (gotong royong) memperbaiki rumah warga yang rusak, siskamling dan sebagainya. Dan Sukidi telah menjadi fasilitator dalam hal ini. Keikhlasannya amat berkesan.
Kini aku menikmati Piala Dunia sendirian. Istri tidur karena sama sekali tak suka denga bola. Tak ada teman bersorak ketika gol terjadi. Tak ada teman ngobrol lagi. Seandainya….
Perjumpaanku dengan pribadi-pribadi dan permenunganku atas rentetan peristiwa...
Tuesday, June 13, 2006
Monday, June 12, 2006
PALALANGON, POTRET KOMUNITAS KRISTEN DI TATAR SUNDA
Palalangon menjadi kampung Kristen yang eksis di tengah suku Sunda yang Islami. Penduduknya menjunjung tinggi warisan leluhur dan mencantumkan marga di belakang namanya.
Tak sulit menebak jika ada orang yang menggunakan nama belakang Simanjuntak atau Situmorang. Bisa dipastikan mereka beretnis Batak. Atau jika menggunakan marga Wattimena dan Marantika. Mereka pasti berasal dari Maluku. Tapi jika nama marga seperti Markhasan, Dantji dan Masad yang disebut, coba tebak dari manakah mereka berasal?
Sedikit orang yang tahu bahwa mereka adalah orang-orang Sunda. Demi menjaga tradisi leluhur, komunitas Kristen yang berada di wilayah Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, menerapkan sistem marga ini dalam kehidupan sosial-kemasyarakatannya. “Sistem kekerabatan ini sudah berlangsung lama, bahkan sejak generasi pertama orang Kristen datang ke wilayah ini,” papar Yohanes Taruno (55), majelis jemaat Gereja Kristen Pasundan (GKP) Sindangjaya.
Menurut Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan GKP Palalangon (disusun oleh Pdt. Alex Fernando Banua, S.Th.), kekristenan di Ciranjang merupakan hasil pelayanan Nederlandsche Zendings Vereeniging (NZV), sebuah lembaga misi pekabaran Injil yang berkedudukan di Rotterdam, Belanda nun di tahun 1901. Karena prihatin dengan kondisi komunitas orang Kristen pribumi, dalam hal ini orang Sunda, NZV mengutus B. M. Alkema untuk mencari lahan yang cocok untuk pemukiman jemaat. Ekspedisi untuk menemukan lahan pemukiman itu dimulai dengan menyusuri aliran Sungai Citarum. Akhirnya mereka menemukan sebuah hutan untuk dijadikan lahan pemukiman dan menamainya Palalangon (menara).
GKP Palalangon adalah gereja tertua di wilayah Ciranjang. Setahun kemudian pada 1902 berdiri Gereja Kerasulan Pusaka di Rawaselang, tak jauh dari Palalangon. Dari dua gereja ini kemudian berkembang beberapa jemaat lokal baru di wilayah itu karena alasan pengembangan atau perpecahan. Kini tercatat sebelas gereja lokal yang berdiri di Ciranjang, yakni GKP Palalangon, GKP Sindangjaya, GKP Ciranjang, Gereja Kerasulan Pusaka Rawaselang, Gereja Kerasulan Baru Rawaselang, Gereja Persekutuan Injili Eliezer, GPdI Pasirnangka, Gereja Pantekosta Ciranjang, GKI Ciranjang, Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh dan Gereja Persekutuan Oikumene Indonesia (GEPKOIN).
Potret Kerukunan Beragama
Dengan motto ‘Gerbang Marhamah’ (Gerakan Membangun Masyarakat Berakhlakul Karimah), Cianjur adalah salah satu kabupaten yang menerapkan Syariat Islam. Meski demikian tidak ada gesekan dan permasalahan berarti bagi warga Nasrani di Kecamatan Ciranjang.
Potret toleransi terlihat ketika ada warga yang meninggal. Masyarakat Kristen – Muslim, bahu-membahu untuk mengurus segala keperluan dan perlengkapan hingga pemakaman dilaksanakan. “Untuk hal-hal lain seperti Pemilu misalnya, kami juga terlibat sebagai KPPS. Pada dasarnya tidak ada masalah dalam hubungan dengan umat Muslim, padahal Syariat Islam telah diterapkan di Kabupaten Cianjur” tegas Hendra Tirtadinata Dantji (34), yang juga majelis jemaat di GKP Sindangjaya.
Bahkan di tingkat Desa Sindangjaya, pemerintah memfasilitasi dibentuknya forum Majelis Gereja (MG), sebuah lembaga yang setara dengan MUI. “Rasanya ini satu-satunya di Jawa Barat, atau mungkin di Indonesia,” imbuh Hendra. Lembaga ini menjadi mediator antara anggota jemaat dengan aparat pemerintahan desa. Kepentingan jemaat Kristen diakomodir dalam lembaga MG ini.
Masyarakat Agraris
Sebagai kelompok Kristen yang hidup di tengah-tengah masyarakat Sunda yang berbudaya, mereka sadar betul arti memelihara warisan leluhur. Mereka, misalnya, masih mempertahankan tradisi ‘Sedekah Bumi’ (pesta panen) yang lazim dirayakan kebanyakan orang Sunda. Perayaan setiap 13 Juni ini sekaligus diperingati sebagai hari ‘Kabudalan’ atau masuknya kekristenan ke wilayah itu.
80% jemaat yang tersebar di Desa Kertajaya dan Sindangjaya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Meski ada beberapa yang berwiraswata dan menjadi PNS, kebanyakan jemaat berprofesi sebagai buruh tani (petani penggarap). Selama ini Cianjur dikenal khalayak sebagai lumbung padi nasional. “Tapi kami sendiri tak pernah menikmati beras Cianjur. Malah beras raskin yang kami makan,” ujar Sartinah Masad (35) seorang majelis wanita. Bantuan pemerintah berupa pupuk dan alat-alat pertanian belum pernah turun. Jadilah mereka berswadaya untuk memenuhi kebutuhan itu.
Untuk membantu perekonomian jemaat, ada sebuah lembaga pelayanan dari Bandung yang melatih kaum ibu di sejumlah gereja untuk membuat selimut. Mereka digaji dan selimut yang dihasilkan dipasarkan di Bandung. “Ini sangat menolong kami. Ibu-ibu punya kegiatan dan penghasilan” tandas Sartinah.
Menyimpan Potensi
Dalam Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan GKP Palalangon, Pdt. Alex mencatat tentang beberapa kendala yang dihadapi komunitas Kristen di Ciranjang. Tak tersedianya lapangan kerja bagi generasi muda yang sebagian besar hanya lulus SLTA, telah meningkatkan angka pengangguran. Lebih jauh Alex menyebut tentang adanya ‘tragedi anomia budaya’, sebuah situasi dilematis dimana sebuah generasi tidak mengakar pada budaya asal dan tergerus modernisasi di sisi lain. “Generasi yang seperti ini tak cukup memiliki daya saing ketika merantau ke kota,” tulis Alex lebih lanjut.
Namun Palalangon bukan tak menyimpan potensi. Desa Kristen itu jika dikelola dengan baik setidaknya akan menjadi kawasan wisata rohani yang menarik. Banyak tamu yang diharapkan berkunjung untuk mengikuti kebaktian, mengadakan retreat, pelatihan kepemimpinan dan banyak hal lain. Dengan keunikan-keunikan yang terdapat di dalamnya, wilayah ini menunggu uluran tangan-tangan investor untuk memajukan daerah Kristen di Tatar Sunda ini. Anda tertarik? (dimuat di BAHANA, Juni '06)
Palalangon menjadi kampung Kristen yang eksis di tengah suku Sunda yang Islami. Penduduknya menjunjung tinggi warisan leluhur dan mencantumkan marga di belakang namanya.
Tak sulit menebak jika ada orang yang menggunakan nama belakang Simanjuntak atau Situmorang. Bisa dipastikan mereka beretnis Batak. Atau jika menggunakan marga Wattimena dan Marantika. Mereka pasti berasal dari Maluku. Tapi jika nama marga seperti Markhasan, Dantji dan Masad yang disebut, coba tebak dari manakah mereka berasal?
Sedikit orang yang tahu bahwa mereka adalah orang-orang Sunda. Demi menjaga tradisi leluhur, komunitas Kristen yang berada di wilayah Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, menerapkan sistem marga ini dalam kehidupan sosial-kemasyarakatannya. “Sistem kekerabatan ini sudah berlangsung lama, bahkan sejak generasi pertama orang Kristen datang ke wilayah ini,” papar Yohanes Taruno (55), majelis jemaat Gereja Kristen Pasundan (GKP) Sindangjaya.
Menurut Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan GKP Palalangon (disusun oleh Pdt. Alex Fernando Banua, S.Th.), kekristenan di Ciranjang merupakan hasil pelayanan Nederlandsche Zendings Vereeniging (NZV), sebuah lembaga misi pekabaran Injil yang berkedudukan di Rotterdam, Belanda nun di tahun 1901. Karena prihatin dengan kondisi komunitas orang Kristen pribumi, dalam hal ini orang Sunda, NZV mengutus B. M. Alkema untuk mencari lahan yang cocok untuk pemukiman jemaat. Ekspedisi untuk menemukan lahan pemukiman itu dimulai dengan menyusuri aliran Sungai Citarum. Akhirnya mereka menemukan sebuah hutan untuk dijadikan lahan pemukiman dan menamainya Palalangon (menara).
GKP Palalangon adalah gereja tertua di wilayah Ciranjang. Setahun kemudian pada 1902 berdiri Gereja Kerasulan Pusaka di Rawaselang, tak jauh dari Palalangon. Dari dua gereja ini kemudian berkembang beberapa jemaat lokal baru di wilayah itu karena alasan pengembangan atau perpecahan. Kini tercatat sebelas gereja lokal yang berdiri di Ciranjang, yakni GKP Palalangon, GKP Sindangjaya, GKP Ciranjang, Gereja Kerasulan Pusaka Rawaselang, Gereja Kerasulan Baru Rawaselang, Gereja Persekutuan Injili Eliezer, GPdI Pasirnangka, Gereja Pantekosta Ciranjang, GKI Ciranjang, Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh dan Gereja Persekutuan Oikumene Indonesia (GEPKOIN).
Potret Kerukunan Beragama
Dengan motto ‘Gerbang Marhamah’ (Gerakan Membangun Masyarakat Berakhlakul Karimah), Cianjur adalah salah satu kabupaten yang menerapkan Syariat Islam. Meski demikian tidak ada gesekan dan permasalahan berarti bagi warga Nasrani di Kecamatan Ciranjang.
Potret toleransi terlihat ketika ada warga yang meninggal. Masyarakat Kristen – Muslim, bahu-membahu untuk mengurus segala keperluan dan perlengkapan hingga pemakaman dilaksanakan. “Untuk hal-hal lain seperti Pemilu misalnya, kami juga terlibat sebagai KPPS. Pada dasarnya tidak ada masalah dalam hubungan dengan umat Muslim, padahal Syariat Islam telah diterapkan di Kabupaten Cianjur” tegas Hendra Tirtadinata Dantji (34), yang juga majelis jemaat di GKP Sindangjaya.
Bahkan di tingkat Desa Sindangjaya, pemerintah memfasilitasi dibentuknya forum Majelis Gereja (MG), sebuah lembaga yang setara dengan MUI. “Rasanya ini satu-satunya di Jawa Barat, atau mungkin di Indonesia,” imbuh Hendra. Lembaga ini menjadi mediator antara anggota jemaat dengan aparat pemerintahan desa. Kepentingan jemaat Kristen diakomodir dalam lembaga MG ini.
Masyarakat Agraris
Sebagai kelompok Kristen yang hidup di tengah-tengah masyarakat Sunda yang berbudaya, mereka sadar betul arti memelihara warisan leluhur. Mereka, misalnya, masih mempertahankan tradisi ‘Sedekah Bumi’ (pesta panen) yang lazim dirayakan kebanyakan orang Sunda. Perayaan setiap 13 Juni ini sekaligus diperingati sebagai hari ‘Kabudalan’ atau masuknya kekristenan ke wilayah itu.
80% jemaat yang tersebar di Desa Kertajaya dan Sindangjaya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Meski ada beberapa yang berwiraswata dan menjadi PNS, kebanyakan jemaat berprofesi sebagai buruh tani (petani penggarap). Selama ini Cianjur dikenal khalayak sebagai lumbung padi nasional. “Tapi kami sendiri tak pernah menikmati beras Cianjur. Malah beras raskin yang kami makan,” ujar Sartinah Masad (35) seorang majelis wanita. Bantuan pemerintah berupa pupuk dan alat-alat pertanian belum pernah turun. Jadilah mereka berswadaya untuk memenuhi kebutuhan itu.
Untuk membantu perekonomian jemaat, ada sebuah lembaga pelayanan dari Bandung yang melatih kaum ibu di sejumlah gereja untuk membuat selimut. Mereka digaji dan selimut yang dihasilkan dipasarkan di Bandung. “Ini sangat menolong kami. Ibu-ibu punya kegiatan dan penghasilan” tandas Sartinah.
Menyimpan Potensi
Dalam Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan GKP Palalangon, Pdt. Alex mencatat tentang beberapa kendala yang dihadapi komunitas Kristen di Ciranjang. Tak tersedianya lapangan kerja bagi generasi muda yang sebagian besar hanya lulus SLTA, telah meningkatkan angka pengangguran. Lebih jauh Alex menyebut tentang adanya ‘tragedi anomia budaya’, sebuah situasi dilematis dimana sebuah generasi tidak mengakar pada budaya asal dan tergerus modernisasi di sisi lain. “Generasi yang seperti ini tak cukup memiliki daya saing ketika merantau ke kota,” tulis Alex lebih lanjut.
Namun Palalangon bukan tak menyimpan potensi. Desa Kristen itu jika dikelola dengan baik setidaknya akan menjadi kawasan wisata rohani yang menarik. Banyak tamu yang diharapkan berkunjung untuk mengikuti kebaktian, mengadakan retreat, pelatihan kepemimpinan dan banyak hal lain. Dengan keunikan-keunikan yang terdapat di dalamnya, wilayah ini menunggu uluran tangan-tangan investor untuk memajukan daerah Kristen di Tatar Sunda ini. Anda tertarik? (dimuat di BAHANA, Juni '06)
Subscribe to:
Posts (Atom)