Rajapolah, menjelang Lebaran tahun 2000.
Kala itu baru beberapa bulan aku menjalani hari-hari baru karena bekerja di Tasikmalaya. Selesai mengurus beberapa hal di Jogja dalam dua hari, aku harus bersegera pulang ke Tasik. Dan seperti biasanya, bus Suka menjadi pilihan moda transportasi. Disamping terjangkau, Suka adalah satu-satunya bus dengan trayek Jogja-Tasik.
Cilakanya, hari dimana aku merencanakan perjalanan, bus tanpa AC itu tak beroperasi. Agen penjualan karcis di terminal kemudian menyarankan beberapa alternatif. Pertama, naik bus jurusan Purwokerto dan menyambung ke Tasik dari Kota Mendoan itu. Kedua, naik bus Kramat Djati jurusan Bandung, turun di Cikoneng - Ciamis, nanti tinggal cari ojek menuju Tasik yang tinggal lebih-kurang lima kilometer lagi. Aku pilih alternatif kedua.
Tiket dipesan dan jadilah saya menumpang Kramat Djati hari itu. Bus malam itu lebih nyaman karena ber-AC dan lebih lega jarak antarbangkunya. Seperti biasa, setelah mampir makan malam, bus kembali meluncur melanjutkan perjalanan dan tertidurlah aku. Singkat cerita, aku terbangun di Banjar, kota paling timur di jalur selatan Jawa Barat. Tetapi dasar si 'pelor' (begitu nempel langsung molor…), aku kembali tertidur. Ketika bus melintas di Cikoneng, tempat dimana seharusnya aku turun, aku masih terlelap. Kebablasan...
Aku baru sadar menjelang bus masuk Rajapolah, kota kecamatan yang terletak belasan kilometer di arah Bandung dari Tasikmalaya. Kondektur menyarakan agar aku turun di kecamatan yang terkenal dengan kerajinan tangannya itu. Memang tidak ada pilihan lain, jadilah aku turun di sana. Waktu itu jam 02.00 dinihari. Subuh yang dingin dan lengang. "Naik apa saya ke Tasik?" saya bergumam dalam hati. Angkutan umum belum ada, ojek menawarkan jasa dengan ongkos yangterlalu mahal, jalan kaki jelas tak mungkin. Saya berdoa lirih dalam hati di trotoar seberang masjid, "Tuhan, tolong saya dalam masalah ini. Berikanku jalan keluar…"
Tak berapa lama sebuah mobil Ferosa melintas dengan kecepatan sedang dari arah Bandung. Lampu sign sebelah kirinya menyala, memberi tanda hendak menepi. Dan benar, mobil berhenti tepat di depan aku berdiri. Kaca mobil perlahan bergerak turun.
"Maaf Mas, saya mau ke Ciamis lewat Tasik. Apakah ini arah yang benar?" tanya pengemudi mobil.
"Benar Pak, lurus aja terus ikuti jalan ini," jawabku kepada pria berkumis dan berjaket kulit hitam itu.
"Lho, Mas lagi nungguin siapa? Mau kemana?"
"Dari Jogja mau ke Tasik Pak. Tadi ketiduran di bus dan kebabalasan sampai ke sini..."
"Jadi mau ke Tasik juga? Ya udah, naik aja ikut saya. Sekalian bisa nunjukin jalan kan? Ayo..." pintanya sambil membuka pintu.
Akhirnya aku menumpang mobil itu. Pria baik hati pemberi tumpangan itu ternyata seorang polisi. Ia berkisah akan mengunjungi mertuanya di Ciamis menjelang Lebaran. Tanpa disertai istrinya, ia tak terlalu hafal jalan karena memang jarang mengemudi sendiri ke luar kota. Apalagi ia asli Padang.
Sampai di simpang lima Tasik saya turun.
"Bapak belok kiri, terus saja ikuti jalan ini. Ciamis tak terlalu jauh lagi Pak. Terima kasih untuk tumpangannya," ujarku berterima kasih.
"Ok. Eh, sebentar Mas, ini ada sedikit kue. Bawa aja, lagian kebanyakan kalau harus dikasih semua ke mertua. Terima kasih untuk menunjukkan jalan."
“Terima kasih banyak sekali lagi Pak. Selamat jalan!”
Tak terlalu banyak informasi tentang Polisi itu, bahkan aku tak sempat bertanya siapa namanya. Tetapi kedatangannya yang tepat waktu, mengingatkan kembali tentang pertolongan Tuhan yang tak pernah terlambat. Di pagi buta itu, doa lirih di dalam hati mendapatkan jawabannya...***