Wednesday, January 11, 2012

BUNGKUS ATAU ISI?

“Celakalah kamu, ..., hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.” (Matius 23:27)

Akhir November lalu, harian Kompas merilis berita yang menyentak berkaitan dengan perilaku korup instansi pemerintah. Sesuai dengan informasi yang dikeluarkan KPK, ada tiga kementerian yang menduduki rangking terburuk dalam masalah integritas yakni Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Tenaga Kerja dan TransmigrasI dan Kementerian Agama. Dan jangan heran, dari antara ketiganya Kementerian Agama-lah yang dinilai terkorup! Celakanya, ‘prestasi’ ini sudah lama disandang oleh kementerian yang mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai spiritual. Tak heran, mendiang Presiden Gus Dur berniat membubarkan kementerian ini pada masa pemerintahannya.

Apa yang sesungguhnya terjadi? Mungkin karena manusia –secara khusus di Indonesia– suka dengan hal-hal yang sifatnya formal-lahiriah, tanpa mementingkan hal yang rohaniah. Kita mudah silap dengan atributatribut yang berbau keagamaan. Bungkus-bungkus yang menarik (pakaian, gelar, dll) amat digemari sehingga akhirnya dijadikan komoditas untuk menggeser isi yang sesungguhnya jauh lebih penting. Asal sudah sedikit ‘tempelan’ berbau agama, amanlah semuanya.

Yesus mengecam praktik beragama formalitas semacam ini. Berkali-kali Ia harus berhadapan dengan ahli-ahli Taurat dan orang Farisi untuk mengoreksi bahwa kebusukan tidak bisa ditutupi dengan tindakan ‘sok rohani’. Suatu ketika praktik culas semacam ini pasti akan terbongkar. Spiritualitas sesungguhnya adalah sesuatu yang sifatnya mengalir dari dalam ke luar, inside out. Manusia rohani yang sejati akan dapat dirasakan orang lain, bukan dari penampilan luarnya, tetapi dari kedalaman hati yang memancar dalam perbuatan-perbuatan yang berkenan kepada Tuhan.***
BUDAYA INSTAN

“Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari penyataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras.” (Ibrani 5:12)

Apakah sesuatu instant selalu buruk? Tentu saja tidak. Shortcut di komputer misalnya. Hal ini mempercepat pengoperasian software dengan memotong langkah-langkah tertentu. Sesuatu yang biasanya bisa disajikan dalam beberapa ‘klik’, kini cukup dengan satu ‘klik’ dan langsung beroperasi. Dalam kondisi mendesak, mie atau kopi instan menjadi hal yang sangat membantu seseorang.

Tetapi tentu saja hal ini tidak berlaku dalam hal ingin kaya, mendapat gelar dan juga memiliki kehidupan rohani yang kuat dan dewasa. Ingin cepat kaya dan mengandalkan shortcut, jadilah korupsi sebagai hasilnya. Ingin menambahkan gelar di depan atau di belakang nama, jadinya melakukan praktik tipu-tipu dengan membeli gelar tanpa melalui proses studi. Celakanya, praktik culas ini juga dilakukan anak-anak Tuhan, mereka yang mengaku orang Kristen.

Kehidupan rohani tidak akan bisa didapatkan melalui jalan pintas. Kalaupun ada, itu semu dan menipu. Sebentar saja kan kelihatan borokboroknya. Rick Warren menyatakan bahwa salah satu alat yang Tuhan pakai untuk membentuk manusia rohani kita adalah waktu. Biarkanlah Ia bekerja di dalam waktu itu untuk memberi kepada kita lebih banyak pengalaman rohani yang mendewasakan. Kita mengenal Allah melalui pengalaman kita sendiri, bukan melalui teori yang tertulis di buku rohani maupun melalui apa kata orang.