Thursday, November 27, 2008

ANTARA TONALAN & MERLION PARK


Tak perlu pusing menghubungkan kedua tempat di atas, hanya akan menghabiskan energi. Hanya, saya perlu sedikit menjelaskan. Tonalan adalah sebuah kampung kecil, 12km ke arah barat Jogjakarta. Di situlah saya lahir dan dibesarkan. Kampung yang sederhana dengan sebagian besar penduduknya adalah petani. Selebihnya pekerja pabrik dan beberapa guru.

Sedang Merlion Park adalah sebuah tempat terkenal di Singapura yang wajib dikunjungi oleh wisatawan. Rasanya belum ke Singapura kalau belum berfoto di kompleks patung singa di wilayah Raffless City itu. Jadi sudah jelas tidak ada hubungannya sama sekali.

Tapi dua tempat itu menjadi istimewa dalam perjalanan hidup saya. Melalui sejarah pribadi, kedua tempat berbeda jarak itu menjadi terhubung. Saya yang lahir di Tonalan setidaknya pernah menginjakkan kaki di Merlion. Pergi ke luar negeri merupakan impian banyak orang kampung, salah satunya saya. Bangga. Ing atase wong ndeso koq bisa ke luar negeri. Pilihannya biasanya kalo ngga jadi TKI, ya naik haji.

Seenak, seteratur dan seindah apapun di negeri orang, ternyata tidak bisa menghilangkan magnitude Tonalan. Di Singapura tidak ada sambel tomat dan trasi kesukaan. Semua makanan terasa gimana gitu... Tidak juga ada telo godhog/goreng. Semua sudut dibombardir Burger King, Subway, atau McDonald. Di Singapura bisa melihat gedung-gedung jangkung sepanjang perjalanan, di Tonalan hanya hamparan sawah.


Matur nuwun Gusti karena saya diberi kesempatan untuk memiliki cerita buat anak cucu....
B U N G L O N

“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (2 Timotius 3:16)

Tahukah Anda tentang binatang Brochocela Jubata? Sedikit di antara kita yang pernah mendengarnya. Tetapi jika Bunglon yang disebut, sebagian besar kita sudah sangat akrab dengannya. Ya, brochocela jubata tidak lain adalah bunglon, binatang yang namanya kerap dipakai untuk menggambarkan orang yang mencari keuntungan dengan cara berkompromi.
Bunglon memang memiliki kebiasaan mimikri, yaitu aktifitas menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi di sekitarnya. Warna kulitnya akan berubah merah, coklat, hijau atau kehitaman jika memang menyesuaikan dengan tempatnya berada. Bunglon berubah oleh lingkungan sekitar. Fungsi penyamaran ini sering disebut juga dengan kamuflase untuk tujuan penyamaran.

Kalau perubahan warna kulit bunglon lebih disebabkan karena faktor dari luar ke dalam (outside in), perubahan dalam diri orang percaya lebih disebabkan oleh kuasa firman yang bekerja di dalam hatinya. Perubahan itu kemudian mengalir keluar (inside out) dan dirasakan oleh orang lain juga. Kalau kamuflase bunglon bertujuan melindungi diri dengan penyamaran, orang percaya justru dituntut untuk menunjukkan perubahan hidup kepada orang lain sebagai sarana kesaksian.

Sahabat, perubahan adalah sebuah tuntutan yang tidak bisa ditawar. Dunia di sekitar kita membutuhkan model atau teladan agar mereka juga berubah sesuai kehendak Tuhan. Dan kita dipanggil sebagai garam dan terang agar dengan perubahan kita, nama Bapa Surgawi dipermuliakan. Seperti Ksatria Baja Hitam, mari kita “Berubah….!” [JP]
‘DEPARTEMEN DOA NASIONAL’

“Tetaplah berdoa.” (1 Tesalonika 5:17)

Tentu saja ini hanya sebuah kelakar. Masak sih, untuk urusan doa pemerintah harus membentuk sebuah departemen? Suatu kali terjadi percakapan antara Mas Celathu (tokoh rekaan Butet Kartaredjasa dalam kolom “Celathu” di harian Suara Merdeka Minggu) dengan isterinya, Mbakyu Celathu.

Mbakyu Celathu berujar, “Pakne, saya mau usul ke pemerintah kalau Departemen Agama dibubarkan atau dilebur saja dengan Departemen Perhubungan.” “Lho, apa ada hubungannya to Bu? Departemen Agama itu kan ngurusi bidang keagamaan, lalu Departemen Perhubungan ngurusi masalah transportasi. Kan ngga nyambung kalau digabung?” sergah Mas Celathu. Mbakyu segera menangkis, “Lha itu buktinya… Departemen Perhubungan dengan sukses telah meningkatkan kerohanian masyarakat. Orang di negeri kita ini kan jadi rajin berdoa sebelum naik kendaraan umum lantaran kondisi sarana transportasi yang buruk dan makin memprihatinkan. Naik pesawat takut jatuh, naik kereta takut anjlok, naik taxi takut dirampok. Lha ini kan mengambil ‘jatah’ Departemen Agama to Pakne? Lebih baik Depag dibubarkan saja…” Mas Celathu pun tercenung mengiyakan dalam hati.

Sahabat, bagaimanapun doa adalah masalah prifat, sangat pribadi. Tidak bisa dicampuri oleh pihak manapun sebab ini bentuk hubungan manusia dengan Penciptanya. Bagi kehidupan Kristen, doa adalah tempat dimana kekuatan hidup didapatkan kembali. Namun kenyataannya banyak orang percaya yang enggan melakukannya. Alasannya berderet, belum sempat, tidak ada waktu, hingga dengan jujur mengakui kalau malas melakukannya. Doa baru akan ditingkatkan saat mengalami kondisi yang serba terjepit. Dalam kondisi normal, aktifitas berkomunikasi dengan Allah ini lantas ditinggalkan.

Jika kita menyadari betapa bergunanya doa untuk mengokohkan kehidupan, pasti dengan kerelaan bahkan sebagai kebutuhan, kita akan melakukannya. [JP]
KUNO YANG TAK LEKANG

Apa yang kita bisa buat dengan dengan naskah-naskah kuno yang kita miliki? Hal yang paling sering kita lakukan adalah menyimpannya di gudang belakang bagian paling pojok. Sesekali saja kita membukanya, itupun jika ada data penting yang kita butuhkan. Untuk itu kita harus berjuang dengan tebalnya debu dan mungkin juga binatang-binatang semacam kecoa dan tikus ketika membongkarnya.

Saya pribadi suka mengkoleksi edisi khusus sebuah majalah mingguan nasional. Sepanjang ingatan, saya memulainya pada awal tahun 2000. Kebiasan itu masih saya lakukan hingga kini. Begitu ada edisi khusus muncul, biasanya saya langsung membelinya. Ada topik-topik yang menarik, tetapi ada juga hal-hal yang tak saya mengerti banyak. Yang penting saya punya koleksi. Edisi-edisi khusus itu biasanya menyoroti hal yang sedang hangat dibicarakan orang atau berkaitan dengan peristiwa-peristiwa khusus. Suatu ketika saat sudah kehilangan momentum, edisi khusus itu sudah tak menarik lagi.

Dalam hal inilah saya kemudian semakin mengagumi Alkitab. Kitab tebal dengan dua perjanjian [lama dan baru] ini tetap menunjukkan eksistensinya meskipun zaman terus berubah, musim selalu berganti dan dalam waktu yang cepat bergulir. Ia laksana bunglon yang menyesuaikan diri dengan kondisi. Ia seperti Pangeran Melar yang lentur/fleksibel dalam konteks manapun. Kalau ada buku yang paling laris sepanjang sejarah –meski mungkin tak pernah dicatat buku rekor Guinness– tidak lain adalah Alkitab, Firman Allah yang Hidup.

Isi Alkitab tak pernah lekang meski telah ditulis ribuan tahun. Buku yang ditulis oleh 40 orang dalam kurun waktu hampir 1500 tahun ini memuat sejumlah besar informasi yang akurat dan tetap relevan. Meski bukan buku sejarah, tetapi Alkitab tidak ngawur ketika mencatat sejarah. Meski bukan buku geografi, tetapi data-data geografisnya selalu tepat. Berita Alkitab yang paling penting, yaitu penebusan, berlaku sepanjang zaman. Berita ini dibutuhkan manusia secara universal dan terus-menerus.

Firman Tuhan tidak pernah menjadi ketinggalan zaman. Berbeda dengan telepon genggam kita yang akan disebut usang hanya dalam hitungan tahun, bahkan bulan, setelah muncul seri terbaru. Alkitab tetap menjadi relevan dalam zaman apapun. Generasi berganti, hukum berubah, kebudayaan mengalami degradasi, tetapi hanya Alkitab yang mampu bertahan.

Alkitab terbukti telah mengalami berbagai macam ujian. Berkali-kali, sepanjang masa, Alkitab berusaha dimusnahkan tetapi masih ada hingga kini. Orang-orang yang menyebarkannya dipenjara dan dibunuh, tetapi firman Tuhan tak terpenjara dan tetap hidup. Ia memang kuno, tetapi tak pernah lekang.

Jika sedemikian luar biasanya Alkitab yang kita miliki, mengapa tak kemudian kita membagikan kebenaran yang tercatat di dalamnya? Sayang jika kita sendiri yang menikmati sebab masih banyak orang yang membutuhkan di luar sana.***
TEBAR FIRMAN MELALUI TULISAN

“Sesuai dengan kasih karunia Allah, yang dianugerahkan kepadaku, aku sebagai seorang yang ahli bangunan yang cakap meletakkan dasar, dan orang lain membangun terus di atasnya. Tetapi tiap-tiap orang harus memperhatikan, bagaimana ia harus membangun di atasnya.” (1 Korintus 3:10)

Seorang pemimpin redaksi sebuah majalah rohani bulanan memberikan kesaksian. “Melayani Dia melalui tulisan memang menggoreskan suka-duka tersendiri. Di Indonesia, budaya tutur (lisan) masih lebih dihargai daripada budaya tulisan. Orang Indonesia lebih suka mendengarkan dongeng daripada membaca,” begitu katanya bernada mengeluh.

Tetapi Sang Pemred melanjutkan bahwa melayani melalui pena adalah sebuah panggilan mulia. Hasilnya mungkin tidak segera bisa dinikmati. Ia menyepertikan pelayanan ini sebagaimana aktifitas menabur yang menuainya entah berlangsung kapan. Yang namanya panggilan memang harus dihidupi dan dinikmati. Dan untuk itu ia telah mendapatkan hasilnya.

Suatu kali datang sepucuk surat di meja redaksi. Ternyata surat itu dikirim oleh seorang narapidana yang meringkuk di Nusakambangan, yang sering disebut sebagai Alcatras-nya Indonesia. Tentu ini adalah sebuah surprise. Yang lebih mengejutkan adalah isi surat itu. Kira-kira berbunyi, “Terimakasih banyak atas tulisan-tulisan di majalah lusuh yang telah mengubahkan hidup saya. Majalah yang robek-robek, tidak bercover dan kotor itu telah membersihkan hati saya. Saya memiliki semangat hidup lagi sejak berjumpa Yesus melalui tulisan Anda. Tuhan memberkati!”

Pemimpin redaksi itupun menitikkan air mata. Selama ini ia berdoa agar Tuhan mengurapi setiap tulisannya dan menjadi berkat bagi pembacanya. Ia rindu ‘berkhotbah’ dan berbagi firman melalui tulisannya. Ia mengalami jawaban doanya melalui surat seorang narapidana itu.
Setiap cara bisa dipakai Tuhan untuk menjangkau jiwa-jiwa terhilang. Sahabat NK, apapun yang kita bisa lakukan untuk membagikan firmanNya, mari kita lakukan dengan kerelaan dan kesungguhan. Tuhan pasti menyertai. [JP]
JEJAK-JEJAK PEMBAGI ALKITAB ITU...

“Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!” (Roma 10:15b)

Nun di wilayah Luwu, Sulawesi Tengah, tersebutlah kecamatan Seko yang amat terpencil. Wilayah yang terisolir itu dihuni sub-suku Toraja yang mayoritas beragama Kristen. Karena kondisi yang terpencil itu, orang-orang di Seko mengalami berbagai macam hambatan. Salah satunya adalah tidak tersedianya Alkitab untuk memenuhi kebutuhan rohani jemaat.

Melihat kondisi tersebut, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) mengutus sebuah tim untuk mengirim 5000 eksemplar Alkitab. Untuk masuk ke wilayah Seko, tidak semudah yang kita bayangkan. Medan dengan jalan setapak berlumpur sangat menyulitkan proses pengiriman Alkitab. Adakalanya bukan manusia yang naik motor, jika terjebak lumpur, motorlah yang harus diangkat manusia. Biaya ojek bisa mencapai Rp. 500.000,-/orang. Hampir sama dengan tiket pesawat terbang bukan? Bahkan jika musim penghujan tiba, biaya itu bisa naik menjadi Rp. 700.000,- hingga Rp. 1.000.000.- untuk jarak tempuh 125 km. Beberapa kali sungai tanpa jembatan harus dilalui. Kalaupun ada jembatan, sport jantung harus dialami karena kondisi jembatan yang memprihatinkan. Sepeda motor melewati papan sempit yang rapuh dengan batu-batu terjal di bawahnya. Tidak jarang jarak 2 km bisa ditepuh dalam 2 jam karena medannya yang berat. Setiap tukang ojek melengkapi dirinya dengan spare part kendaraan dan persediaan bahan bakar.

Kondisi serba terbatas dan membahayakan itu ternyata tidak menghalangi tim LAI untuk tetap pergi dan membagikan Firman Tuhan berupa Alkitab. Kerinduan untuk berbagi berkat telah membuat mereka mengatasi rasa takut. Bisa saja mereka kecelakaan, sakit di perjalanan atau bahkan meregang nyawa. Tetapi itu semua tidak menghalangi niat mulia mereka untuk berbagi kabar baik.

Sahabat NK, ada banyak orang di sekitar kita yang juga membutuhkan Alkitab. Tidakkah kita tergerak untuk memberikannya kepada mereka? Alangkah indahnya jejak-jejak orang yang membagikan firmanNya. [JP]
NGANTUK BERAT

“Berbahagialah orang-orang yang memegang peringatan-peringatanNya, yang mencari di dengan segenap hati,...” (Mazmur 119:2)

Seorang anak Sekolah Minggu bertanya, “Kak, mengapa setiap membaca Alkitab, pasti deh saya mengantuk?” Guru Sekolah Minggunya memberi beberapa alternatif jawaban. “Pertama, mungkin kamu kurang tidur waktu baca Alkitab, sehingga kamu mengantuk. Kedua, kamu baca Alkitab dalam waktu yang tidak pas. Misalnya kamu baca Alkitab pada malam hari sesudah seharian lelah sekolah, bikin PR dan bermain. Ketiga, kamu baca Alkitabnya terlalu panjang. Sebaiknya 1-2 pasal saja supaya kamu tidak bosan. Keempat, mungkin karena kamu kurang mencintai Alkitab. Kamu lebih suka dengan komik atau majalah anak kesukaanmu,” papar guru SM itu.

Saya pribadi tertohok dengan jawaban keempat sang guru. Rasanya kecintaan saya terhadap Alkitab selama ini memang meluntur. Koran, majalah dan buku-buku kesukaan menggeser posisi Alkitab dari tempat terbaik di hati saya. Kalau pun membaca Alkitab, dasar utamanya lebih sering karena kewajiban saja, bukan didasari oleh kecintaan.

Sikap kita terhadap Alkitab rupanya sangat menentukan apakah Alkitab itu sendiri menjadi membosankan atau tidak. Jika kita menganggapnya sebagai ‘surat cinta’ Tuhan, tentunya kita akan membaca berulang-ulang. Kita tidak pernah merasa bosan dengannya, kalau perlu membacanya siang-malam.

Jerry MacGregor dan Marie Prys berhasil mencatat “1001 Fakta Mengejutkan tentang Alkitab.” Mereka kemudian membukukan temuannya itu dengan judul yang sama. Saya terkesima ketika membacanya. Betapa Alkitab yang kita miliki memiliki kekayaan yang luar biasa. Dalam hati ini lantas timbul sebuah keyakinan bahwa pasti masih banyak fakta lagi yang belum terungkap. Pasti lebih dari angka 1001, tentu saja jika kita mencintai dan membacanya setiap hari. Mari berjanji agar ketika membaca Alkitab, kita tak ngantuk lagi. [JP]
PETUAH BIJAK DARI TEGAL

“Dan aku berdoa, agar persekutuanmu di dalam iman turut mengerjakan pengetahuan akan yang baik di antara kita untuk Kristus.” (Filemon 1:6)

Dalam sebuah kesempatan, saya menyaksikan tayangan singkat tentang aktifitas sebuah gereja di Tegal yang ingin berbuat sesuatu bagi kotanya. Pdt. John Ruslie, gembala gereja itu, ‘turun gunung’ memimpin langsung jemaatnya untuk membersihkan selokan dan gorong-gorong di depan gereja yang menjadi simpul banjir ketika musim penghujan tiba. Lalu apa istimewanya kerja bakti yang dilakukan warga gereja itu? Bukankah jemaat gereja lain bisa melakukannya, bahkan dengan aktifitas lain yang lebih besar?

Yang istimewa adalah dampaknya! Kerja bakti itu telah menarik perhatian seseorang untuk meliput beritanya dan memasukkannya ke sebuah surat kabar lokal. Alhasil, berita jemaat gereja yang membersihkan selokan untuk mengatasi banjir itu sampai ke meja pemerintah kota. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, muncul sebuah instruksi untuk membersihkan selokan di seantero kota. Gerakan kecil warga jemaat itu telah menginspirasi pemerintah dan unsur masyarakat untuk melakukan gerakan yang sama. Jadilah selokan dan gorong-gorong di Tegal bersih dan bebas dari mampet. Banjir berlalu, keindahan kota dituai.

Dari kisah di atas kita belajar bahwa Tuhan acap memakai kita untuk menjadi jawaban doa. Air yang menggenang di depan gereja itu ternyata tidak cukup dihadapi dengan seruan di ruang (menara) doa. Ada aksi nyata yang harus dilakukan untuk sebuah perubahan segera sesudah doa-doa dinaikkan. Dalam konteks ini, berdoa dan bekerja mendapatkan ‘tempat pertemuan’. Ada kalanya kita cukup hanya berdoa karena memang tanpa daya. Tetapi Tuhan lebih banyak mengajar kita untuk mulai mengayunkan langkah sebagai tindakan iman. Apakah Anda belum mendapat jawaban doa? Jangan-jangan karena Anda belum bekerja… [JP]
KUBURAN KERAKUSAN

“Maka tempat itu dinamakan "Kuburan Kerakusan", karena di situ dikuburkan orang-orang yang mati karena rakus.” (Bilangan 11:34)

Keserakahan adalah salah satu sifat negatif manusia yang amat menghancurkan. Karena digerakkan oleh keserakahan, manusia bisa melakukan hal-hal yang merugikan orang lain. Nilai-nilai sosial dan persahabatan hancur. Jabatan untuk mengabdi, disalahgunakan menjadi sarana mengeruk keuntungan pribadi. Kehidupan moral-spiritual diabaikan begitu saja, dianggap tidak berarti sama sekali.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cukup berprestasi dalam membongkar kasus korupsi di Indonesia. Yang lebih mencengangkan adalah begitu banyak anggota DPR yang ditangkap karena kasus korupsi tersebut. Anggota dewan mustinya menjadi teladan karena kedudukannya yang terhormat, tetapi inilah wajah negeri ini yang masih harus berjuang menghadapi kerakusan bangsa sendiri. Dari manakah akar korupsi? Karena manusia tidak bisa mencukupkan diri dengan apa yang ada. Meskipun gaji sudah ada, ‘penghasilan’ tambahan diupayakan dengan segala cara. Alhasil, korupsi yang menjadi pilihannya. Dengan melupakan bahwa hal itu adalah kejahatan, keuntungan besar dapat diperoleh dalam waktu yang relatif singkat. Inilah bentuk kerakusan manusia.

Bangsa Israel pernah dihukum Tuhan karena watak rakusnya. Tuhan ingin menyatakan pemeliharaanNya memlaui manna dan burung puyuh. IA memerintahkan agar bangsa Israel mengambil secukupnya karena pemeliharaanNya akan muncul setiap hari. Dasar bangsa rakus, bukannya mentaati perintah Tuhan, mereka malah mengumpulkan sebanyak-banyaknya demi memuaskan kerakusan. Alih-alih menjadi berkat dan mengenyangkan, tindakan itu justru mengantarkan mereka kepada kuburan kerakusan.

Begitu pula dalam hal berdoa. Orang Kristen sering terjebak dalam doa yang berfokus hanya pada kebutuhan pribadinya. Semuanya untuk aku, demi aku dan bagi aku. Kiranya apa yang kita renungkan di atas membawa kita kepada pemahaman bahwa kerakusan, apapun bentuknya, adalah sebuah ketidakpercayaan kepada Tuhan. Mulailah berdoa untuk kepentingan orang lain juga. [JP]
“BAWA PAPA SAYA PULANG, TUHAN...”

“Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.” (Yakobus 5:16b)

Sebait doa dinaikkan seorang anak kecil ketika ayahnya berpamitan ke luar kota kepadanya. Ia berkata lirih, “Tuhan... tolong bawa papa saya pulang ke rumah!” Pria itu, sebut saja Pak Andy, bersyukur dengan kepolosan anaknya, tanpa tahu bahwa doa yang dinaikkan anaknya itu akan berarti beberapa hari kemudian.

Pak Andy bergegas pergi karena ia telah berjanji bertemu dengan rekan bisnisnya di sebuah kota. Sesampai di kota tujuan, ia menginap di sebuah hotel sebelum keesokan harinya melakukan sebuah kontrak bisnis bernilai milyaran rupiah. Malam itu seorang pemuda berbadan tegap mengetuk kamar hotelnya ketika ia sedang berdoa dan membaca firman. Pemuda itu mengaku sebagai suruhan rekan bisnis untuk menjemputnya besok pagi. Pak Andy mengucapkan terima kasih sambil menepuk bahu pemuda itu, “Terima kasih banyak, saya tunggu besok pagi. Tuhan memberkati Anda!”

Keesokan harinya, pemuda itu menepati janji untuk menjemput Pak Andy. Perjalanan terasa lama dan tak segera sampai ke tempat tujuan. Di tengah perjalanan, pemuda itu berkata, “Sebenarnya saya adalah orang suruhan untuk mencelakai Bapak supaya kontrak bisnis bernilai milyaran itu batal. Tapi saya berubah pikitan semalam ketika Bapak menepuk pundak saya. Saya melihat Bapak orang baik.” Pemuda itu melanjutkan ceritanya panjang lebar tentang rencana jahat rekan bisnisnya untuk menghabisi nyawa Pak Andy. Akhirnya pemuda itu membawa Pak Andy kembali ke hotel dan menyarankan agar ia segera pulang ke rumahnya.
Di sepanjang perjalanan ke rumah, barulah ia menyadari arti doa anaknya yang masih kecil. Ia tidak bisa membayangkan jika anaknya tidak berdoa, mungkin yang pulang ke rumah tinggal namanya.

Doa sederhana yang dinaikkan dengan kepolosan itu ternyata amat berkuasa. Dalam setiap kesempatan berdoalah dengan kesungguhan sambil terus berharap agar kuasanya dinyatakan. [JP]

Tuesday, November 25, 2008

NATAL YANG MEMESONA

Cobalah hitung, sudah berapa kali kita merayakan Natal selama hidup? Natal yang ke berapakah tahun ini? Kita kesulitan untuk mengingatnya bukan?

Tetapi dari sekian kali perayaan Natal kita lakukan, ada sebuah pertanyaan yang jauh lebih penting ketimbang mengurus masalah jumlah. Pertanyaan itu adalah: Masih memesonakah Natal setiap kali kita berjumpa dengannya di akhir tahun? Kita tentu sepakat bahwa sesuatu yang berulang, apalagi berlangsung periodik, cenderung membuat kita bosan. Termasuk jika itu adalah hal-hal berbau rohani seperti Natal. Kita menyanyikan ‘Malam Kudus’ lagi, menjadi panitia lagi, menyusun pohon terang lagi, begitu seterusnya.

Itulah sebabnya kita perlu memiliki ‘kecerdikan’ khusus agar bisa mengantisipasi kebosanan. Jawaban untuk itu, tidak lain adalah kreatifitas. Semakin kreatifitas mewarnai Natal yang kita rayakan, semakin kita bisa menjauhkan kejenuhan. Jika kita merayakan Natal dengan cara yang itu-itu saja, bisa dipastikan Natal tidak akan memesona. Sesuatu yang baru perlu dicoba meski tidak harus mengorbankan nilai-nilai dari peristiwa kelahiran Sang Juru Selamat. Dalam hal ini ‘cara’ kita lakukan sebagai siasat mengatasi kejenuhan.

Yang jauh lebih penting dari itu semua adalah sikap hati. Ini hal paling esensial yang patut kita cermati. Sebagus dan semenarik apapun acara Natal, kalau sikap hati belum beres, rasanya tidak akan banyak menolong. Paling-paling hanya membekaskan kesan temporal yang sebentar lagi kita lupakan.

Allah yang merendahkan diri-Nya menjadi manusia, lahir dalam kesederhanaan, menyatakan anugrah keselamatan dan berjanji menyertai senantiasa; bukankah itu sesuatu yang amat sangat mengagumkan dan memesona? Selamat Natal! Selamat berjuang dan membawa semangatnya di ladang pelayanan!***

_________________
Sepagi ini sudah memposting tulisan Natal? Nyuwun pangapunten, ini pesenane cah-cah untuk membuat sambutan pada buku acara Natal STT Kharisma.

Saturday, November 22, 2008

PRESIDEN GUYONAN

Entah karena fanatik terhadap Butet atau karena saking menikmati, saya melahap Presiden Guyonan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Sepanjang terbang Jakarta - Batam, di atas Ferry ke Singapura dan habis G4 Station Mackenzie Rd, tempatku menginap.
Buku ini adalah kumpulan essai Butet pada Kolom Celathu di harian Suara Merdeka, korane wong Jawa Tengah. Ia dengan jenaka menangkap realitas yang sedang terjadi dan menyuguhkan kepada pembaca sebagai pendapat Mas Celathu, yang tidak lain adalah dirinya. Banyak pesan yang tertangkap dalam buku ini. Tetapi yang paling mengesankan adalah perhatian Butet terhadap keluarga. Diam-diam 'Presiden SBY' ini seorang figur yang mengasihi keluarganya, tentu dengan caranya sendiri.
Baginya, keluarga adalah tempat belajar banyak hal. Tempat menyemai ide-ide kreatif yang kelak menjadi modalnya sebagai pengecer cangkem. Tempat bersosialisasi dengan istri dan anak-anak yang memungkinkan sikap tenggang rasa terbangun setiap hari. Butet ternyata menikmati dunia fathering dan parenting juga. Perhatianya kepada keluarga itu muncul dalam berbagai bentuk di sebagian besar essainya.
Selebihnya Butet banyak 'berkicau' tentang dunia sosial politik, dunia yang juga tak kalah diminatinya. Saya sudah merekomendasikan buku ini ke beberapa teman. Syukur-syukur mereka mau beli. Syukur-syukur lagi kalau Butet membaca tulisan ini dan menyisihkan sedikit royaltinya buat saya. Halah....

Tuesday, November 04, 2008

MENGAGUMI BUTET

Kekagumanku kepada Butet bermula nun di awal 80-an. Kala itu ibu yang guru tari di sebuah SMP, masih nyantrik di Padepokan Pak Bagong. Kalau Butet muncul, ibu sering berbisik, "Itu Mas Butet, salah satu putrane Pak Bagong." Kadang ibu juga acap bertutur tentang putra-putri Pak Bagong yang lain.

Dalam sebuah kesempatan, aku diajak ibu mampir nyoto Pak Marto di Sonosewu. Rupanya Butet sudah nangkring di salah satu sudut menikmati sedapnya soto. Ibu berbisik kembali, "Itu Mas Butet. Kamu masih ingat to? Itu lho putrane Pak Bagong." Aku mengangguk setuju, meski hanya mengingat Butet sebatas putrane Pak Bagong, penari terkenal itu. Tidak lebih.

Belasan tahun sesudahnya kekagumanku kepada Butet semakin mengkristal karena terpengaruh caranya menulis di media massa. Ia selalu menggunakan sindiran-sindiran nakal yang disebutnya dengan 'guyon parikena' khas Jogja. Ia mengkombinasikan bahasa populer, kadang ilmiah dengan sentuhan jargon-jargon berbahasa Jawa yang kental. Kelihatan sekali bahwa Butet berdarah Jawa (meskipun namanya Butet) yang otaknya encer dan wawasannya luas.

'Pertemuan' berikutnya dengan Butet acap terjadi di Bundaran UGM, Bulaksumur. Kala itu ia sering berorasi di kerumunan demonstrasi mahasiswa untuk menggulingkan Soeharto, tokoh yang ditirukannya dengan amat piawai. Dari panggung demonstrasi, Butet aku 'nikmati' di panggung teater dan monolog. Penampilannya, baik dengan Gandrik, Koma atau Kua Etnika, sama-sama ciamik. Dia cerdas berperan sebagai tukang kritik. Cangkemnya lancar mengucapkan tuntutan skenario. Dalam hal ini ia menghidupi amsal dalam blog pribadinya, "Gunakan cangkem secara baik dan benar..."

Butet merindukan kematian tanpa merepotkan. Akankah ia meraihnya? Rasanya agak jauh dari harapan. Kebiasaannya mengisap rokok tiga bungkus sehari dan kegemarannya menyantap daging kambing dengan segala varian cara memasaknya, bisa jadi hambatan untuk meraih cita-citanya itu. Agaknya kematiannya akan merepotkan, atau setidaknya ia sendiri bisa repot mati dengan hobinya itu.

Bagiku Butet tetap mengagumkan. Bangsa ini berhutang banyak pada seniman yang satu ini. Selamat (terus) berkarya Butet, tetap gunakan cangkem dengan baik dan benar. Mudah-mudahan bisa mati tanpa merepotkan....