Sunday, March 30, 2008

HUJAN ES

Sejak bermukim di Bandung hampir delapan tahun lalu, ini hujan es keempat yang pernah kulihat. Sepulang gereja, aku dan Fenty menyusuri Jl. Statsion Selatan, Viaduct, Braga dan tembus ke Lembong. Mendung memang sudah menggantung di langit Bandung.

Sampai di samping Grand Preanger, gerimis jatuh. Lalu disusul suara-suara seperti lemparan kerikil di atap mobil gereja yang kukemudikan. "Kayanya hujan es nih. Tuh liat butiran-butiran putih berjatuhan," kata Fenty sambil mencoba menengadah.

Sampai di Jl. Lengkong Besar hujan es berhenti diganti dengan hujan lebat yang mengguyur disertai angin. Ketakutan akan pohon tumbang lalu menghinggapi. Maklum, di sepanjang Lengkong banyak pohon besar di sisi jalan. Herannya, mobil-mobil di depanku malah melambatkan lajunya. Kecemasan menghilang begitu berbelok ke Jl. Pungkur. Tak lama kami sampai di asrama.


Baru saja turun dari mobil, hujan kembali menggila. Derasnya minta ampun dan kali ini kembali disertai tiupan angin kencang. Sejurus kemudian butiran-butiran es kembali menghujam dari langit. Kanopi asrama yang kutinggali bolong-bolong dihajar es batu. Apalagi yang di lantai dua karena plastiknya lebih tipis.

Jeremy tampak ketakutan. Erat-erat ia peluk mamanya. Anak sekecil itu sudah punya ekspresi ketakutan juga rupanya. Kucoba kutenangkan dan tampaknya berhasil. Listrik sementara aku padamkan, takut terjadi konsleting.

Ehmmm... manusia itu kecil! Kalau sudah berhadapan dengan alam, ia tak mampu berbuat banyak. Apalagi kalau sudah berhadapan dengan Sang Pencipta alam...

Wednesday, March 12, 2008

BUNG LEO

Pada medio 1995 aku pertama kali bertemu dengan Leonardo Pattipeilohy. Waktu itu pada acara P3K Awam yang diselenggarakan kampus di Kaliurang. Kebetulan aku jadi salah satu panitia dan Leo adalah salah seorang pesertanya. Beberapa bulan kemudian Leo 'nyantrik' sekampus denganku. Jadilah dia adik tingkatku.

Kesan pertama tentang Leo... Ah, suer... aku lupa. Hanya sepeda onthel, tas punggung dan topi Om Pasikom yang membekas. Selebihnya gelap, sama seperti warna kulit Nyong Ambon yang fasih berbahasa jawa itu. Pertemananku dengan Leo menjadi lebih intens ketika musim demo tiba. Kami sering mondar-mandir Bundaran UGM dan Gejayan yang waktu itu menjadi pusat demonstrasi mahasiswa Jogja.

Kini Leo bermukim di negeri seribu pura dan mengabdikan diri bagi Injil di sana. Sampai hari ini, kebiasaan nyentriknya belum hilang. Salah satu hal yang selalu dilakukannya adalah membawakanku oleh-oleh yang lain dari biasanya. Sebuah mug Bali berbentuk ...tiitttt... (sensor), lalu kacang Bali, kopi dan pasta gigi dari Korea.

Leo, terima kasih untuk waktu yang telah kita lalui bersama...

Monday, March 10, 2008

BERKAT DI BALIK PERGUMULAN

Ingat Takeshi Castle? Games asal Jepang ini mengajarkan unsur-unsur positif dalam kehidupan sesungguhnya. Untuk mendapatkan hadiah, setiap pesertanya harus melewati serangkaian rintangan. Terdapat banyak jebakan yang muncul di setiap sesi perlombaan. Semakin dekat kepada hadiah, semakin berat tantangan yang harus dihadapi. Jika peserta tak berhati-hati, teledor dan asal-asalan bermain, bisa dipastikan bahwa hadiah tak akan mereka bawa pulang. Apalagi bagi yang menyerah di tengah jalan.

Dalam dunia nyata, Tuhan acap ‘menyimpan’ berkat-Nya di balik pergumulan-pergumulan hidup. Maksud dari semuanya adalah agar kita sebagai orang percaya tidak meremehkan pemberian itu. Sesuatu yang kita dapatkan secara gampang, biasanya cenderung tidak kita hargai. Kalau Tuhan mengijinkan pergumulan-pergumulan hidup mendahului berkat-Nya, maksudnya adalah agar kita menghargai berkat Tuhan, bukan sebaliknya, menyepelekannya.

Sahabat, nilai berikutnya dari apa yang Tuhan lakukan tersebut adalah agar kita bertekun. Tuhan mau agar kita menjadi orang percaya yang tak gampang menyerah. Ketika menghadapi permasalahan lantas ‘melempar handuk putih’ tanda menyerah. Alkitab berkali-kali menegaskan bahwa kita harus menjadi orang percaya dengan daya juang dan semangat tinggi. Musuh tidak pernah mengendorkan intensitas serangan, demikian pula perjuangan kita haruslah tanpa henti.

Ketika pergumulan datang, tak sedikit orang percaya yang menyalahkan Tuhan. “Tuhan, kapan berhentinya? Koq terus-terusan begini pergumulannya? Kapan Tuhan menyatakan berkat?” protesnya. Apakah ini yang sering kita tanyakan pula? Jika ya, sabarlah untuk sementara waktu, karena pergumulan-pergumulan itu pada gilirannya akan berubah menjadi berkat bagi kita. Tetaplah bertahan, hadapi setiap pergumulan, dan raihlah berkat-Nya.*** (joko prihanto)
MURID SEJATI

Hubungan kita dengan Allah memang digambarkan dengan berbagai macam analogi di dalam Alkitab. Ada hubungan Bapa-Anak, Tuan-Hamba, Guru-Murid, dan juga hubungan persahabatan. Masing-masing gambaran hubungan memiliki penekanannya masing-masing. Hubungan Bapa-Anak misalnya, memberi penjelasan tentang dalamnya relasi kita dengan Tuhan. Kita yang berdosa dan layak dimurkai, malah diangkat dan dianggap layak menjadi anak-anak-Nya. Relasi Tuan-Hamba adalah pelajaran berharga tentang pelayanan yang harus kita berika kepada Allah.

Bagaimana dengan hubungan Guru-Murid? Kebenaran mendasar yang ingin ditegaskan di sini adalah bagaimana kita sebagai murid bisa mencapai keserupaan dengan Sang Guru Agung itu. Jika demikian, menjadi murid adalah sebuah perjalanan hingga kita benar-benar sampai pada titik di mana Sang Guru menganggap kita layak ‘diwisuda’ dan menerima 'gelar’ serupa dengan Dia. Apa panggilan seorang murid sejati?

MEMIKUL KUK
Ada dua lambang penyerahan diri dalam kekristenan: salib dan kuk. Kuk melambangkan sebuah penyerahan diri terhadap ‘aturan’ atau ‘ketentuan’ yang ditetapkan. Pada kerbau atau sapi yang digunakan untuk membajak, kuk adalah beban pengatur agar mendapat hasil bajakan yang prima. Demikian juga dengan kemuridan kita di hadapan Tuhan. Kristus sendiri telah menentukan bahwa sebagai murid, kita harus mau memikul kuk-Nya. Semua itu bukan untuk memberatkan kita, tetapi untuk mengarahkan kita kepada tujuan yang tepat.

MERENDAHKAN DIRI
Bagi murid sejati, tidak ada tempat sedikitpun untuk kesombongan di relung hidupnya. Seorang murid akan menundukkan diri sepenuhnya kepada Gurunya. Segala keinginan dan kehendak ditundukkan kepada otoritas Sang guru. Kalau seorang murid memiliki kemampuan tertentu, sumbernya jelas bukan dari dirinya sendiri. Sebaliknya, hal itu adalah karena Sang Guru telah mengajarkannya.

Inilah panggilan kita sebagai murid sejati. Menjalani sebuah proses dan menjalani serangkaian disiplin agar Sang Guru berkenan kepada kita.*** (joko prihanto)
MENJADI PRIBADI BERPRESTASI

David Beckham dikenal orang di seantero jagad karena prestasinya di lapangan hijau. Ruth Sahanaya menjadi diva pop ternama karena suara emas yang dimilikinya. Siapa juga yang tak kenal Agnes Monica? Artis remaja berbakat itu berkali-kali mengukir prestasi di dunianya. Mereka adalah sedikit di antara banyak orang-orang terkenal yang menunjukkan prestasi dalam hidupnya.

Tetapi, adilkah membandingkan diri kita dengan mereka? Apakah prestasi harus selalu berkaitan dengan lomba-lomba, penghargaan dan mungkin juga polling sms? Mereka berkesempatan mengikuti kompetisi ini dan itu sehingga peluang untuk menjadi yang terbaik terbuka lebar. Sedangkan kita jarang sekali, atau bahkan hampir tidak pernah sama sekali. Habiskah kesempatan kita untuk menjadi pribadi berprestasi?

Jangan minder dulu. Prestasi bukanlah sesuatu yang hanya bisa ditorehkan dan didapat dalam dunia olah raga dan selebritas. Jika saja kita memperluas kaca mata pandang yang kita pakai, kemungkinan berprestasi dalam bidang apapun terbuka lebar.

Mungkin Anda seorang karyawan dengan gaji pas-pasan. Atau mungkin Anda seorang ibu rumah tangga. Bahkan jika Anda sudah lanjut usiapun, prestasi adalah sesuatu yang bisa Anda tunjukkan. Kunci untuk mendapatkan semua itu adalah kesukaan dan ketekunan. Kesukaan seseorang kepada sesuatu, entah itu hoby, pekerjaan atau apapun, akan membawanya kepada ketekunan. Ruth Sahanaya suka bernyanyi dan karena kesukaannya itu, ia menekuni dunia tarik suara. Beckham suka si kulir bundar, lalu ia tekun berlatih dan menjadi pemain top dunia.

Awalilah semuanya dengan mencintai apa yang Anda kerjakan, lalu tekunilah apa yang Anda kerjakan itu dan pada akhirnya raihlah prestasi yang Anda dambakan.*** (joko prihanto)

Wednesday, March 05, 2008

UNTUNG WIYONO

“Salam kepada Persis, yang kukasihi, yang telah bekerja membanting tulang dalam pelayanan Tuhan.” (Roma 16:12)

Tidak terlalu mudah mengubah wajah sebuah kabupaten. Tetapi Untung Wiyono, Bupati Sragen, telah melakukan lompatan kecil untuk mengubah tanah kelahirannya itu. Dengan usaha kerasnya ia membuat sebuah sistem manajemen satu pintu di kabupaten yang akhir tahun lalu sebagian wilayahnya dilanda banjir Bengawan Solo.

Untuk memangkas birokrasi yang kompleks dan rawan korupsi, Untung melayani warga Sragen dengan kebijakan kantor terpadu. Program lain yang dilakukannya adalah menciptakan sebuah ‘pemerintahan elektronik’. Tadinya di kantor kabupaten Sragen hanya ada tiga unit komputer, tetapi Untung lantas menyiapkan sumber daya manusia untuk membenahi hal ini. Kini, Sragen bahkan punya website sendiri. Untung juga menetapkan denda 100 juta atau penjara 10 tahun untuk mereka yang menangkap ikan dengan racun dan 50 juta atau kurungan 5 tahun untuk penembak burung.

Apa yang dilakukan Untung itu membuatnya menyabet penghargaan Citra Pelayanan Prima 2004 dari Presiden RI. Kabupaten Sragen pun ‘kecipratan berkah’ dengan mendapat 34 penghargaan dalam berbagai bidan dari berbagai instansi. Masyarakat Sragen khususnya, dan juga Indonesia secara umum, beruntung memiliki sosok Untung. Ia memelopori pelayanan yang menginspirasi orang lain.

Sahabat, Untung adalah cermin yang baik bagi kita yang berkecimpung dalam dunia pelayanan. Dalam tanggung jawab pelayanan yang kita emban, hendaknya semangat memberikan yang terbaik sehingga menjadi berkat kita miliki. Orang lain, dan tentu saja Tuhan yang kita layani, akan merasa puas dengan apa yang kita lakukan. [JP]
PEDANG BERMATA DUA

“Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita.” (Ibrani 4:12)

Pada dekade 80-an pendengar radio di tanah air akrab dengan sandiwara bertajuk ‘Saur Sepuh’. Demam sandiwara radio itu menjangkiti seluruh lapisan masyarakat dari anak-anak hingga orang tua. Kisah sandiwara itu sendiri bertutur tentang Kerajaan Madangkara yang coba ‘dicangkokkan’ ke dalam sejarah beberapa kerajaan yang pernah ada di nusantara seperti Majapahit dan Pajajaran. Kerajaan itu dipimpin oleh Brahma Kumbara sebagai rajanya.
Tokoh utama lain yang mewarnai cerita sandiwara itu adalah Mantili, yang tidak lain adik Brahma. Senjata ampuh yang dimiliki oleh Mantili adalah Pedang Setan. Musuh-musuhnya dibuat kelimpungan bukan hanya oleh karena ketajamannya, tetapi juga karena bau busuk yang keluar dari pedang itu setiap kali dihunus. Dengan pedang itu, Mantili menjadi sosok wanita yang ditakuti.
Dalam ranah kehidupan rohani, setiap orang percaya terpanggil untuk menghadapi peperangan. Peperangan rohani orang percaya, seperti yang dituliskan Paulus, adalah untuk menghadapi penguasa-penguasa di udara. Ketika memerintahkan kita masuk dalam peperangan, Tuhan menyertakan juga senjata-senjata rohani yang bisa kita pergunakan. Salah satu senjatanya adalah pedang roh: firman Allah.
Penulis Ibrani juga menegaskan bahwa firman Allah ibarat pedang yang bermata dua. Dengan firman jugalah Yesus mengalahkan pencobaan iblis. Yesus memakai firman sebagai senjata rohani. Untuk menggunakan sebuah senjata tertentu, kita harus tahu persis bagaimana caranya. Demikian pula dengan senjata rohani ini, kita harus semakin mendalami Firman, tertanan di dalamnya, sehingga kita tidak salah menggunakannya. [JP]