Tuesday, August 14, 2007

WAKTUNYA AGUSTUSAN...

Merah-Putih harus dikibarkan, umbul-umbul dinaikkan. Tapi, masihkah perayaan kemerdekaan ini punya makna bagi kita?

Setidaknya sejak National Prayer Conference (NPC) 2003, orang Kristen terlihat mulai intens mendoakan Indonesia. Dikoordinir Jaringan Doa Nasional (JDN), gerakan doa ini kemudian juga merambah skala yang lebih kecil dengan dibentuknya JDS, Jaringan Doa Sekota. Bahkan, NPC kembali digelar 2005 lalu. Inti permohonannya seragam: agar bangsa ini dipulihkan dan mengalami transformasi. Dan hingga kini, kita masih terus menunggu.

Belajar dari Nehemia
Cukupkah hanya doa-doa yang dinaikkan? Nehemia segera duduk dan menangis serta berkabung demi mendengar Yerusalem yang porak poranda (Neh 1:4). Ia menjadi wakil yang menghadap Tuhan untuk memohonkan transformasi bagi kotanya. Dan, di Yerusalem belum terjadi apa-apa setelah Nehemia berdoa. Kota itu bertahap berubah ketika Nehemia menggalang solidaritas untuk mulai melakukan sesuatu.

Koordinasi dan networking segera dilakukan. Deskripsi kerja dibagikan kepada orang-orang yang tepat. Delegasi tugas dinyatakan dengan jelas. Pekerjaan segera dimulai. Bukan tanpa tantangan, proyek itu ternyata tak berlangsung mulus. Ada usaha-usaha untuk menggagalkannya. Tetapi niat untuk mempersembahkan yang terbaik bagi kotanya telanjur membuncah di dada. Nehemia maju tak gentar.

Seberapa Berartikah?
Tidak semua kita dipanggil untuk pelayanan ‘pembangunan tembok’ seperti Nehemia. Namun bukan berarti bahwa kita tidak bisa berbuat sesuatu bagi bangsa ini. Agar air mata kita tak sia-sia tercucur ketika menangisi bangsa ini, kita perlu memikirkan langkah-langkah praktisnya. Tak perlu muluk-muluk, sebab perbuatan sekecil apapun lebih berarti daripada bualan pidato.

Bangsa ini kelewat besar. Populasinya telah menembus angka 220 juta. Ribuan pulau-pulau yang menyusunnya. Banyak suku yang menghuni wilayahnya. Tapi kenyataan pahit sedang dialami. Prestasi jarang diraih, malah bencana, teror, dan kemiskinan yang terus didapat. Tak mungkin segala persoalan ini diselesaikan segelintir orang di pemerintahan Jakarta.

Nah, bukankah ini sebuah kesempatan bagi kita? Kita tidak hanya mengisi bulan kemerdekaan ini dengan ‘makan kerupuk’ dan ‘panjat pinang’. Bendera yang kita kibarkan mustinya seiring dengan semangat yang kita kobarkan untuk membangun kembali Indonesia.

Doa-doa harus terus dilanjutkan. Permohonan kepada Allah agar berbuat sesuatu musti terus dijalankan. Tentu ditambah dengan karya nyata yang kita lakukan. Kita tidak rindu tepuk tangan atau penghargaan. Bukan juga sebuah podium sebagai bukti ketenaran. Motivasinya satu: agar nama Bapa di Surga dipermuliakan melalui perbuatan baik yang kita lakukan. Waktunya untuk berhenti dari banyak bicara, saatnya untuk mulai bekerja. Merdeka!!!***

Wednesday, August 08, 2007

SALAH KAPRAH

Tempo hari saya nonton sebuah debat publik di salah satu stasiun TV. Ada sebuah kalimat menggelitik yang terlontar, "Hal itu sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, jika calon kepala daerah itu bla...bla...bla..." Sepintas mungkin kalimat itu tidak janggal, tetapi jika dicermati mendalam akan membuat kita mengernyitkan dahi. Mungkin yang dimaksud adalah "sudah bukan rahasia lagi" alias "sudah menjadi rahasia umum." Kalau sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, jadi rahasia siapa donk?

Seorang pemimpin ibadah suatu kali mengucapkan kalimat undangan bagi seseorang untuk menutup kebaktian. "Dengan hormat, kami undang Ibu Ilsye untuk menutup kita dalam doa." Saya yang sedang khusyuk jadi sedikit terganggu karena mendengar frase yang saya cetak tebal itu. Sampai selesai ibadah saya masih berpikir bagaimana caranya Ibu Ilsye menutup kita dalam doa. Bukankah lebih pas kalau undangan itu berbunyi, "Dengan hormat, kami undang Ibu Ilsye untuk menaikkan doa penutup dalam ibadah ini."?

Salah kaprah lain yang masih sering terdengar adalah tentang "waktu dan tempat, kami persilakan." Mustinya, "waktu dan tempat, kami serahkan." Ah, masih banyak daftar yang bisa dibuat tentang hal itu. Apa mau dilanjutkan? Cape deh....!***

Tuesday, August 07, 2007



Nak...
Terima kasih untuk senyum lebarmu
Tahukah kau, itu menghapus memori biru
beberapa bulan yang lewat berlalu
Saat kabel dan selang-selang itu membelitmu

Nak...
Terima kasih untuk tajam tatapmu
Yang menusuk menembus kalbu
Meluruhkan penat menepiskan bebanku

Nak...
Terima kasih untuk lantang tangismu
Membangunkan buai lelap tidurku
Menuntunku untuk menjagamu s'lalu

Nak...
Kini aku menantangmu
Teruslah tumbuh dalam hari ceriamu
Meniti indah masa depanmu

Sunday, August 05, 2007

ADA CINTA DI MAPIA

“…tetapi kepada siapapun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi, dan apapun yang Kuperintahkan kepadamu, haruslah kausampaikan.” (Yeremia 1:7)

Charles Faidiban (53) adalah potret seorang pendidik yang penuh pengabdian. Ia tak pernah membayangkan jika harus menjadi seorang kepala sekolah sekaligus guru yang hanya memiliki satu murid. Ya, Anda tidak salah baca: hanya satu murid! Ia adalah seorang guru di Kepulauan Mapia, sebuah gugus kepulauan terluar di atas wilayah Manokwari, Papua. Awalnya memang ada lima orang murid yang diajarnya, namun keempat diantaranya ‘mengundurkan diri’ karena ikut pindah orang tuanya ke luar pulau itu. Tinggalah Alen (6), satu-satunya murid yang ia ajar kini.
Hari-hari Charles pun menjadi sepi. Tapi ia tak hendak meninggalkan profesinya itu. Segala upaya untuk tetap bisa mengabdi di dunia pendidikan ia jalani. Ia membujuk masyarakat yang menyekolahkan anaknya di luar Mapia untuk mempercayakan pendidikan anak-anaknya kepada Charles. Bagi Charles sekolah itu adalah masa depan Mapia. Makanya ia mati-matian mempertahankan kelangsungannya.
Dalam dunia pelayanan kepada Tuhan, kiranya kisah di atas adalah sebuah cermin bahwa untuk mengabdi, ada harga yang harus dibayar. Tak jarang harga yang mahal yang musti diberikan. Nabi Yeremia misalnya. Bertahun-tahun ia mengabdi untuk menyelamatkan Israel bangsanya. Tetapi tak satupun orang yang mau mendengar nubuatannya. Semuanya dianggap angin lalu. Tetapi karena sudah terpanggil, Yeremia tetap setia di jalur pengabdiannya.
Dalam bentuk dan wilayah yang berbeda, kita masing-masing terpanggil untuk melayani dan mengabdikan diri kepada Tuhan. Ada pertanyaan yang menggelayuti kita: pengabdian macam apakah yang sudah kita berikan bagi-Nya? [JP]
KEDISIPLINAN BUNG HATTA

“Inilah yang kami megahkan,… bahwa hidup kami di dunia ini, khususnya dalam hubungan dengan kamu, diwarnai ketulusan dan kemurnian dari Allah…” (2 Korintus 1:12)

Bung Hatta, proklamator kemerdekaan RI, dikenal sebagai negarawan dan pendiri bangsa yang yang berwatak jujur dan disiplin. Ialah yang pertama-tama memperkenalkan koperasi kepada masyarakat, sehingga ia dijuluki Bapak Koperasi Indonesia. Menurutnya sebuah perkumpulan akan berjalan lancar jika ada iuran anggotanya. Selanjutnya, sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin itulah yang menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta. Konon, Hatta rela tak membeli sepatu baru demi kelancaran membayar iuran lembaga yang dirintisnya.
Kedisiplinan amat berkaitan dengan konsistensi. Orang yang disiplin adalah orang yang konsisten terhadap apa yang telah disepakati bersama. Ia memegang teguh setiap aturan, meskipun tidak selalu harus berarti kaku (sakleg). Apalagi kalau sudah berbicara tentang aturan yang ditetapkan Tuhan.
Harus diakui bahwa kita hidup dan tinggal di tengah-tengah masyarakat yang tingkat kedisiplinannya sangat rendah. Ketidakdisiplinan itu telah membudaya. Inilah yang kemudian semakin memperparah keadaan. Kalau kita mengambil pilihan untuk mendisiplin diri, malah menjadi bahwan tertawaan. Aneh rasanya kalau tak melanggar lampu lalu-lintas. Aneh rasanya menyeberang di zebra cross atau jembatan penyeberangan. Dan sekian lagi keanehan-keanehan yang lain…
Adalah sebuah masalah besar jika ‘budaya’ itu kita bawa-bawa ke dalam ladang pelayanan. Alih-alih memperbaiki keadaan, kita malah akan mengulang dan menyebarluaskan kejelekan itu dalam pelayanan. Bukankah seharusnya sebaliknya Sahabat? Di tengah dunia yang benkok ini, kedisiplinan Bung Hatta layak kita teladani. [JP]
SALAH INVESTASI, RUGI MENANTI

“Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga.” (2 Korintus 9:6)

Sahabat, salah satu cara untuk mengelola keuangan dengan baik adalah dengan memilih investasi yang tepat. Cara ini pulalah yang dipilih banyak orang untuk mengamankan masa depan dengan uangnya.
Menurut Eko Endarto, seorang konsultan perencana keuangan, ada banyak jenis investasi yang bisa dipilih. “Dalam hukum investasi dikenal adanya perbandingan lurus antara risiko dan hasil yang dijanjikan. Jadi jika janji hasil yang diberikan sangat tinggi, biasanya risiko yang menyertai investasi itu juga tinggi,” ungkap Eko. Selanjutnya, pengelola situs http://www.perencanakeuangan.com/ itu mendorong agar setiap kita berhati-hati berinvestasi.
Seorang kerabat baru saja mendapat uang hasil penjualan rumah. Sedianya ia akan menggunakannya untuk mencicil rumah baru di tempat yang lebih strategis. Dalam prosesnya ia kemudian berubah pikiran. Sekali waktu ketika berjalan-jalan, ia tertarik dengan seperangkat home theater seri terbaru yang sedang didiscount harganya. Iapun memutuskan untuk membelinya dan segera memajang di rumah kontrakannya. Dan hingga kini, ia tak juga bisa mencicil rumah idamannya.
Memiliki uang dan membelanjakannya untuk kesenangan pribadi tentu tak salah. Hanya saja ia telah salah memilih berinvestasi. Jika kelak dijual, harga barang elektronik cenderung mengalami penurunan yang cukup drastis dari harga belinya. Tuhan melimpahkan berkat agar kita bisa mempertanggungjawabkannya. Investasikanlah berkat itu secara benar agar dengan cara demikian kita dapati sebagai penatalayan yang setia. [JP]
TERTIPU AJARAN PALSU

“Pada waktu itu jika orang berkata kepada kamu: Lihat, Mesias ada di sini, atau Mesias ada di sana, jangan kamu percaya.” (Matius 24:23)

Masa depan Reno menjadi tak jelas gara-gara terlibat dengan aliran miring yang menyatakan tentang kedatangan Kristus pada 10 November 2003. Daripada melanjutkan sekolahnya, Reno lebih memilih bergabung dengan 280an orang yang lain di Baleendah, Bandung Selatan untuk diangkat Tuhan. Ketika hari yang ditunggu tiba, Reno memang benar-benar diangkat. Sayangnya bukan oleh Tuhan Yesus, tetapi ‘diangkat’ polisi ke sebuah truk dan dibawa ke panti rehabilitasi. Tragis betul nasib pemuda yang belum juga menyelesaikan SMU-nya itu.
Peristiwa penyesatan yang berhubungan dengan kedatangan Yesus adalah ‘sejarah yang berulang.’ Sudah puluhan kali banyak nabi palsu yang muncul dan menubuatkan hari kedatangan Tuhan. Tak satupun diantara nubuat itu yang menjadi kenyataan, semuanya meleset. Memang mengherankan jika kemudian masih ada orang yang mencoba meramalkannya lagi. Anehnya lagi, selalu saja ada orang yang percaya dan tersesat. Rapuhnya iman dan minimnya pemahaman terhadap Kitab Suci adalah faktor utama mengapa penyesatan terjadi. Orang yang rapuh imannya dan tak banyak mengerti kebenaran mudah sekali diombang-ambingkan angin pengajaran yang sumbang.
Untuk itulah sikap dan pemahaman yang benar tentang kedatangan-Nya kedua kali menjadi penting. Berkali-kali Yesus sendiri mengungkapkan bahwa kita harus berjaga-jaga terhadap penyesatan yang akan mendahului kedatangan-Nya. Pada bagian lain Dia mengisyaratkan perlunya pelayanan terbaik dari kita agar pada waktunya ‘gelar’ sebagai hamba yang setia itu melekat pada kita. Tak perlu pusing dan sibuk mengutak-atik waktu kedatangan-Nya. Lebih baik waktu yang ada digunakan untuk memberikan persiapan terbaik dalam menyambut-Nya. Setuju? [JP]
MENGHUNUS PEDANG ROH

“Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pedang bermata dua manapun;...” (Ibrani 4:12)

Senjata yang sangat familiar bagi para pejuang di era penjajahan adalah bambu runcing. Kelengkapan perang tradisional ini kemudian menjadi simbol heroisme di tanah air. Di beberapa tempat diabadikan menjadi monumen, mengisi koleksi pajangan ruang-ruang musium dan ‘digunakan kembali’ pada peringatan kemerdekaan RI pada bulan Agustus.
Sahabat, kita sudah bisa membayangkan apa jadinya jika seseorang masuk dalam medan pertempuran tanpa senjata. Kemungkinan terbesar adalah dia akan menjadi bulan-bulanan musuh dan tewas mengenaskan. Kita tahu bahwa senjata, sekecil dan sesederhana apapun itu, adalah piranti yang tidak boleh ditinggalkan dalam berperang. Jadi, dalam peperangan, senjata adalah hal yang wajib hukumnya.
Alkitab menyebut sebuah senjata yang sangat ampuh dalam peperangan rohani. Senjata itu adalah pedang Roh; firman Allah. Bahkan keampuhannya telah dibuktikan sendiri oleh Tuhan Yesus saat menghadapi pencobaan iblis. Dia tidak menggunakan senjata lain kecuali rangkaian kata, “Ada tertulis…” Tiga kali pencobaan datang, tiga kali pula Yesus menggunakan ‘jurus’ yang sama itu.
Bagaimana agar kita bisa menggunakan senjata itu? Tidak ada cara lain kecuali kita memiliki ketekunan untuk mendalami dan menelitinya. Bukan itu saja, firman itu harus hidup dan kita hidupi. Dengan cara itu kita memiliki kesiapan dan kelengkapan untuk menghadapi musuh dalam peperangan rohani. [JP]
MENJADI HAMBA SETIA

“Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu, hai hambaku yang baik dan setia;…” (Matius 25:21)

Tersebutlah seorang profesor di Jepang yang memiliki seekor anjing kesayangan. Hubungan pemilik dan hewan peliharaan itu sudah terjalin cukup lama. Profesor itu tinggal sendiri dan tak memiliki keluarga lagi. Hanya anjing itulah yang menjadi teman hidup mengisi hari tuanya.
Setiap hari, profesor itu tugas mengajar di kampus yang terletak di kota lain. Karena jarak yang cukup jauh, ia selalu menggunakan jasa angkutan kereta api. Pagi-pagi benar ia sudah berangkat dari rumahnya diantar anjingnya itu. Hingga sore hari ketika sang profesor pulang, anjing itu tak beranjak dari stasiun. Ia setia menunggu tuannya di sana. Begitulah kejadian itu selalu berulang setiap hari.
Hingga suatu hari, sang profesor mendapat serangan jantung mendadak ketika mengajar. Meski sudah dilarikan ke rumah sakit, namun nyawanya tak tertolong. Meninggallah profesor tua itu. Anehnya, anjing kesayangannya masih menunggunya di stasiun. Sampai berhari-hari, bahkan berbulan-bulan mondar-mandir di stasiun itu untuk menunggu kedatangan tuannya. Akhirnya, anjing itupun mati di stasiun. Tentu ini sebuah pelajaran berharga tentang kesetiaan bagi kita. Konon, di stasiun itu lalu dibangun patung anjing untuk mengingatkan harga kesetiaan kepada setiap pengunjungnya.
Kadang memang kita ‘diberi pelajaran’ oleh binatang. Salah satunya ketika berbicara mengenai kesetiaan. Anjing dalam kisah di atas tak mudah berpaling dan berubah setia. Ia setia meskipun sebenarnya harapan untuk bertemu tuannya sudah tidak ada lagi. Bagaimana kadar kesetiaan kita sebagai hamba kepada Tuhan, Sang Pemilik hidup? [JP]
PECEL LELE

“Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, …” (Pengkhotbah 9:10)

Karena gemar dengan pecel lele, makanan khas Jawa Timur itu, saya kerap berkeliling di seantero kota untuk berwisata kuliner. Saya mencoba membandingkan masakan dan cara penyajian makanan yang murah meriah ini dari masing-masing warung tenda yang saya sambangi. Hasilnya? Tidak terlalu jauh berbeda menurut saya. Rasa dan cara menyajikannya pun terkesan begitu-begitu saja, hampir tidak ada variasi sama sekali.
Namun dari sekian banyak warung pecel lele yang pernah saya datangi, ada satu yang cukup berkesan. Sampai hari ini saya masih menjadi salah satu pelanggannya. Apa pasal? Jawabnya singkat: karena pelayanan terbaiknya. Penjual warung itu selalu menuruti permintaan setiap pembelinya, termasuk saya. Ada kalanya saya ingin sambel yang lebih pedas dari biasanya. Di waktu lain, saya ingin bumbu yang agak asin. Di warung itu saya selalu mendapatkan apa yang saya minta. Pokoknya 'mak nyuusus...' Sementara di warung yang lain, tak jarang omelan penjual yang saya terima. Pemilik warung itu tak pernah terlihat mengeluh karena keinginan saya. Yang selalu dia lakukan adalah melayani, melayani dan melayani. Itu saja. Barangkali ia memegang teguh prinsip dalam dunia dagang bahwa pembeli adalah raja. Tak heran kalau warung itu menjadi begitu laris.
Bagaimana dengan pelayanan kita, Sahabat? Godaan untuk melayani sekenanya memang sering muncul dan menggangu. “Ah, begini saja sudah cukup. Untuk gereja dan sesama yang biasa-biasa saja lah…” demikian kita sering bergumam dalam hati. Tak pelak banyak jemaat yang menjadi kecewa karena aksi tidak simpatik tersebut. Kita acap melayani setengah hati dan tanpa persiapan matang. Sudah waktunya kita memberi pelayanan terbaik di dalam gereja, agar setiap orang (terutama jiwa-jiwa baru) menjadi kerasan untuk beribadah di dalamnya. Kalau tukang pecel lele saja bisa, mengapa kita tidak? [JP]