Wednesday, November 29, 2006

TIDAK PERLU GENGSI

“Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya” (Galatia 5:24)

Tergiur iklan yang dilancarkan produsen Jepang, orang Eskimo terpikat untuk membeli lemari es. Awalnya mereka menertawakan orang Jepang, “anda jualan lemari es, kami gudang esnya.” Orang Jepang menjawab, “Anda mau disebut sebagai bangsa yang maju dan beradab? Salah satu ciri bangsa yang maju dan beradab adalah memiliki lemari es di rumahnya.” Karena tersinggung, akhirnya orang Eskimo memborong produk lemari es buatan Jepang. Pertanyaannya, untuk apakah orang Eskimo membeli lemari es? Untuk menyimpan sandal dan sepatu!

Demikianlah orang Eskimo itu membeli kulkas, bukan karena kebutuhan, tetapi karena gengsi. Mereka terhina disebut bangsa yang terbelakang jika tidak memiliki lemari es. Kitapun kadang-kadang melakukan hal yang sama, meskipun dalam konteks yang berbeda. Demi memenuhi tuntutan gengsi, tak jarang kita mengorbankan nilai-nilai kebenaran.

Melihat tetangga membeli barang baru, nafsu tak mau disaingi kita muncul ke permukaan. Kita langsung berkata, “Memangnya dia saja yang bisa membeli barang itu? Aku juga bisa membeli dan memiliki barang yang lebih baik.” Segala upaya, termasuk berhutang, lalu kita kerahkan. Bukannya bahagia, akhirnya kita malah terjebak hutang.

Mari kita kembangkan kebiasaan mengucap syukur untuk apa saja yang Tuhan percayakan kepada kita. Kalau memang batas kemampuan kita hanya segitu, tak perlu gengsi. Lebih baik hidup sederhana tetapi menikmati, daripada hidup mewah tetapi dikejar perasaan bersalah. [from: RA]
TAK KENAL MENYERAH

“…aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang ada di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah…” (Filipi 3:13-14)

Philipus Raturuhit adalah seorang guru honorer di Manokwari Papua. Ia telah mengabdikan dirinya selama 15 tahun. Rasa cintanya kepada dunia pendidikan telah membuatnya betah mengabdi di pedalaman Papua meski hanya Rp. 250.000,- honor tiap bulannya. Dengan honor itu, ia harus mencukupi kebutuhan pribadinya setiap bulan.
“Uang itu tidak cukup. Untung sejak masuk di sini saya tanam pisang dan membuka ladang yang tidak terlalu luas untuk menanam sayur dan umbi-umbian. Masyarakat di sini menerima saya seperti saudara sendiri, sehingga saya betah. Kalau tidak betah pun tidak ada pilihan lain. Sekali datang ke sini, sulit sekali ke luar,” ujarnya kepada wartawan. Kasih sayang kepada anak didiknya membuat Philip tetap bertahan dan tak menyerah dalam keadaan serba kekurangan itu.
Dunia pelayanan di ladang Tuhan sangat membutuhkan orang-orang seperti Philip. Pribadi yang tangguh menghadapi tantangan dan terus maju meski banyak rintangan. Ia berfokus kepada masa depan anak-anak didiknya.
Pelayanan yang dipercayakan kepada kita membutuhkan orang-orang dengan tanggung jawab besar. Pekerjaan ini sungguh mulia untuk ditukar atau dihargai dengan uang. Adalah anugrah kalau kita yang tidak ada apa-apanya ini terlibat di dalam pekerjaan Tuhan. Jangan menyerah dan berhenti di tengah jalan. Bukankah begitu? [JP]
MASIH ADA HARAPAN

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” (Yeremia 29:11)

Dalam “Cast Away”, aktor Tom Hanks berperan sebagi Chuck Noland, seorang pegawai jasa pengiriman barang FedEx. Dalam sebuah ekspedisi, pesawat yang ditumpanginya mengalami gangguan mesin. Pesawat nahas itu akhirnya terjatuh di tengah laut. Noland sendiri terdampar di sebuah pulau kecil dan terpencil seorang diri.
Untuk mengusir kesepiannya, selama berhari-hari ia berusaha mengisi hari-harinya dengan berbagai kegiatan. Tentu saja hal utama yang dirindukannya adalah keluar dari pulau itu dan berkumpul kembali dengan keluarganya. Meskipun sudah lama terdampar di pulau itu, Noland tak kehilangan harapan. Karena harapan itu juga, ia tak putus berusaha sampai akhirnya mendapatkan pertolongan dari sebuah kapal yang melintas di pulau itu.
Kehidupan Kristen sering diperhadapkan dengan masalah yang sama. Iblis berusaha menghancurkan harapan kita sehingga kita berputus asa. Iblis menanmkan sebuah nilai bahwa sudah tidak ada pertolongan lagi. Tidak perlu kita berharap banyak. Akhirnya, menyerah adalah jalan terakhir yang diambil.
Tentu saja Alkitab tidak mengajarkan demikian. Apalagi kalau kita melihat bahwa janji Tuhan adalah janji kemenangan. Karena itu, singkirkan sedikit apapun keinginan dan rencana untuk menyerah. Masih ada harapan di depan sana. [JP]

Sunday, November 26, 2006

DOA MENGATASI KEMUSTAHILAN

“Aku akan memperpanjang hidupmu lima belas tahun lagi dan Aku akan melepaskan engkau…” (2 Raja-Raja 20:6)

Menghitung hari menghadapi eksekusi mati, bukanlah sebuah hal yang menyenangkan. Pengalaman itu pastilah menegangkan dan membuat depresi. Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus Da Silva yang mengalami hal itu, akhirnya meregang nyawa di hadapan regu tembak, 22 September 2006. Segala upaya sudah mereka lakukan untuk terhindar dari hukuman mati ini. Mulai dari naik banding hingga meminta grasi kepada presiden. Tetapi hasilnya nihil.
Hizkia hampir mengalami peristiwa serupa. Nabi Yesaya bin Amos memvonisnya bahwa ia akan mati. Kalau nabi yang berbicara, pastilah hal ini merupakan kebenaran yang tidak bisa dibantah. Tetapi Hizkia memiliki keputusan lain. Ia berseru kepada Tuhan, menangis dan memohon agar terbebas dari vonis itu. Ia memilih jalan doa daripada berusaha dengan kekuatannya sendiri.
Alhasil, Tuhan mengabulkan permohonannya. Usianya bahkan diperpanjang lima belas tahun lagi. Ditambah lagi dengan bonus bahwa kota yang didiaminya akan dilindungi dari serangan musuh.
Sahabat, doa yang dinaikkan Hizkia telah menerobos kemustahilan. Sebagai orang percaya kita diberi hak istimewa untuk hidup dalam mukjizat Allah. Mukjizat memang tidak terjadi begitu saja, tetapi selalu diawali dengan doa orang percaya. Setebal apakah tembok yang menghadang kita? Setinggi apakah benteng yang harus kita lalui? Serumit apakah masalah yang harus kita selesaikan? Kunci utamanya adalah doa yang dinaikkan dengan hancur hati dan iman yang sungguh-sungguh. Dan doa kita akan mengatasi kemustahilan. [JP]
KETULUSAN SEBUAH DOA

“Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu.” (Yakobus 4:3)

Alkisah, seorang anak kecil sedang bermain di pinggiran hutan. Ia tak sadar kalau seekor singga lapar sedang mendekatinya. Begitu singa itu mendekat, tidak ada hal lain yang ia lakukan kecuali berdoa. Dan doanyapun keliru. Ia hanya hafal satu-satunya doa yang diajarkan guru Sekolah Minggunya. Ya, seuntai doa anak kecil sebelum makan. Iapun berseru kepada Tuhan dalam doa di tengah bahaya yang mengancamnya. “Tuhan Yesus, terima kasih untuk berkat-Mu ini. Haleluya, Amin!” serunya. Sejurus kemudian, si singa pergi menjauh. Sungguh ajaib. Bahkan doa yang salah dinaikkan pun bisa mendatangkan mukjizat. Tentu saja Tuhan mengetahui ketulusan dan kepolosan anak itu.

Tidak jarang kita menaikkan doa yang ‘politis’ sifatnya. Kalau kita sedang berdoa di depan orang yang kita hormati, tiba-tiba saja doa kita menjadi puitis. Kita selipkan juga di dalam doa itu, kalimat-kalimat yang sedikit menyanjung-puji. Sayangnya bukan Tuhan yang dipuji, tetapi orang yang kita hormati itu.

Doa yang benar, diarahkan kepada tujuan yang benar. Doa yang berkuasa adalah doa yang disertai dengan ketulusan. Dijauhkanlah kiranya doa-doa kita dari hanya sebatas ucapan bibir semata. Biarlah doa kita lahir dari sebuah ketulusan. [JP]
KEMENANGAN SEJATI

“Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya.” (Yakobus 1:14)

Dengan satu contekan kecil, sebenarnya Paolo Di Canio bisa mengantarkan West Ham United memenangi pertandingan melawan Everton di laga England Premier League. Ia berdiri bebas di depan gawang karena kiper Everton yang bertabrakan dengan pemain lawan tengah mengerang kesakitan. Saat itu pertandingan memasuki masa injury time dengan skor 1-1.

Bukannya menendang bola ke arah gawang, Di Canio malah memungut si kulit bundar dan berlari ke arah wasit. Ia meminta sang pengadil menghentikan pertandingan karena cedera kiper itu. Dari erangannya yang keras, dia yakin bahwa cederanya serius. Bagi sebagian orang, ini mungkin perbuatan naif dan sok sosial. Tetapi itulah Di Canio. Dengan sportifitas tinggi, ia lebih mementingkan manusia daripada sebuah kemenangan.

Pertandingan di atas mungkin berakhir imbang. Tetapi sesungguhnya kemenangan sejati telah diraih oleh Di Canio. Setidaknya ia menang atas egoismenya sebagai seorang pemain sepak bola yang haus kemenangan. Ia menang atas nafsunya untuk menari dan bergembira di atas penderitaan orang lain. Sebuah sikap fair play yang dimiliki pemain profesional sekelas Di Canio.

Belajar dari kisah di atas, mari kita raih kemenangan sejati dengan terlebih dahulu ‘mengalahkan’ diri sendiri. Mengontrol ego dan hawa nafsu dengan menyelaraskannya sesuai dengan kehendak Tuhan. Jangan sampai egoisme kita malah menghancurkan kehidupan kita sendiri. [JP]

Wednesday, November 08, 2006

MENJEBOL KEMAPANAN

Masih ingat slogan iklan sebuah produk meubel, “Kalau sudah duduk lupa berdiri?” Realitas inilah yang kini tengah dihadapi gereja. Reformasi yang dipelopori Marthin Luther abad ke-XVI itu barangkali hanya pemantik awal dari gerakan pembaharuan yang akan terus berlangsung di dalam gereja selama berabad-abad.

Kita sepakat dengan Hieraclitus yang mengatakan bahwa tidak ada yang konstan di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri. Ya. Hanya perubahanlah satu-satunya hal yang tidak berubah di dunia ini. Dan ini adalah sebuah peringatan. Bahwa kemudian ada orang yang tidak setuju dan tidak mau berubah, itu masalah yang berbeda.

Allah yang Dinamis
Berbeda dengan konsep kepercayan paganisme (penyembah berhala), Allah dalam kekristenan adalah Pribadi yang dinamis. Ia bukan Allah yang tinggal diam sebagaimana patung atau benda sesembahan lainnya. Tuhan kita adalah Allah yang dinamis.

Karena Ia Allah yang dinamis, ia menyukai proses. Kehidupan manusia sebagai ciptaan termulia pun merupakan sebuah proses. Dibentuk di dalam kandungan, dilahirkan, menjadi kanak-kanak, remaja, pemuda dan seterusnya sampai dewasa. Allah tidak menghendaki umatNya berhenti pada satu titik dan berkata ‘cukup’ atau ‘puas’ kemudian tidak mau bertumbuh lagi.

Lihatlah bahwa Ia menuntut kita untuk, “Berubahlah oleh pembaharuan budimu…” (Roma 12:2). Itu berarti Ia adalah Allah yang tidak menghendaki stagnasi. Kemandegan dalam penjara kemapanan bukanlah ide yang berasal dari Allah.

Gereja dan Reformasi
Tanpa bermaksud menghakimi, ada banyak gereja masa kini yang puas dengan apa yang telah dialami dan dihasilkan. Pada titik tertentu, kepuasan itu memang penting untuk mensyukuri pertolongan Tuhan. Eben Haezer. Tetapi jika kepuasan itu membuat gereja berhenti, pada gilirannya kepuasan itu justru akan menjadi mesin penghancur yang efektif bagi gereja sendiri. Kehancuran, boleh jadi, bukanlah sebuah usaha sistematis dari luar. Tetapi justru sebuah proses pembusukan yang datangnya dari dalam.

Itu sebabnya gereja perlu mengikuti pergerakan Tuhan. Apa yang menjadi kehendak dan rencanaNya bagi gereja harus terus-menerus dicari. Goal akhir menjadi seperti Kristus akan dilewati dalam babak demi babak oleh gereja. Jika bagian demi bagian itu tak diikuti, bukan mustahil gereja akan menjadi institusi yang tidak saja ketinggalan zaman, tetapi juga akan ditinggalkan pengikutnya.

Seberapa Cepat Prosesnya?
Jawaban untuk pertanyaan ini tentu relatif. Cepat atau tidaknya akan bergantung pada respon gereja itu sendiri. Semakin gereja memahami ‘kehendak Allah pada zamannya’, semakin cepat pula proses pertumbuhan ke arah kedewasaannya.

Sebagian orang mungkin menjadi tidak sabar dan menghendaki revolusi. Entahlah, apakah kerinduan ini akan terwujud atau tidak? Agaknya Tuhan memang memiliki waktu tersendiri untuk melakukannya. Kita tidak punya kuasa apa-apa untuk mengusiknya.

Yang perlu dipersiapkan gereja, --dalam pengertian ‘orang’, bukan hanya institusi— adalah sikap sedia untuk menghadapi setiap perubahan. Kesiapan itu meliputi pemahaman seutuhnya mengenai kehendak Allah. Bukan sekedar ‘latah’ mengikuti arah angin tanpa memahami latar belakang permasalahannya. Kerinduan berubah yang berasal dari sekedar ‘latah’ dan dibumbui suasana emosional belum tentu berasal dari Tuhan. Salah-salah malah akan membuktikan bahwa gereja memang tidak siap berubah.

John Stott, seorang teolog Inggris mengatakan, “Yang paling penting dalam kehidupan ini adalah mengetahui kehendak Tuhan dan berjalan dalam kehendakNya itu!” Pemahaman kita akan kehendak Tuhan sangat dipengaruhi oleh hubungan yang kita bangun denganNya. Semakin intim dengan Tuhan, semakin kita mengenal kehendakNya.

Itu sebabnya, daripada Tuhan membongkar kemapanan kita, ada baiknya kita yang lebih dulu menyelaraskan diri dengan pergerakanNya.***