Wednesday, May 17, 2006

Catatan Harian
A DAY THAT INSPIRED ME...

Saya lahir dalam sebuah gereja mainstream, dibesarkan di sekolah teologi berwarna injili (meski berlabel interdenominasi), lalu melayani di gereja pentakosta-kharismatik. Di sekolah teologi, saya bertemu dengan banyak teman dari berbagai latar belakang gereja. Setelah melayani pun saya berkesempatan untuk melihat berbagai macam gereja. Ada yang tahu sedikit-sedikit, ada pula yang mencoba menengok ‘dapur’nya.

Terakhir saya mengikuti seminar ‘Relevant Leadership’ di Jakarta Praise Community Church dan digembalakan Pastor Jeffrey Rachmat. Meski dikelola orang-orang yang relativ masih muda, tetapi gurat-gurat kedewasaan nampak dalam perjalanan pelayanannya. Bagi saya, ini adalah potret gereja modern yang menginspirasi banyak hal kepada saya.

Pertama, saya tertarik dengan kejamakan kepemimpinannya. Ps. Jose Carol adalah ‘co-driver’ yang mendampingi Ps. Jeffrey dalam mengemudikan gereja ini. Lalu ada Ps. Sydney Mohede dan Ps. Jussar Badudu yang menjaga gawang Oxygen, komunitas anak muda di JPCC. Salah satu nilai yang ditanamkan dan dihidupi sejak awal adalah ‘bersama kita bisa!’ Slogannya, “As a team, you can make a hard work easier.” Mereka tidak ribut dengan siapa yang paling ‘terkenal’ di antara mereka.

Kedua, kedewasaan jemaat dalam memberi. Gereja ini tidak memiliki kantong persembahan, seperti yang digunakan gereja kebanyakan. Tapi mereka menyediakan beberapa kotak Persembahan di sudut-sudut ruang ibadah dan jemaat bebas memberi kapan saja mereka mau. Jemaat yang memberi persembahan dengan debit card pun disediakan fasilitasnya. Dalam liturgi, tidak ada waktu khusus untuk memberi persembahan. Mereka dibiasakan untuk memberi sesaat setelah mereka datang ke gereja. Atau yang belum sempat, bisa memberi setelah selesai ibadah.

Ketiga, antusiasme jemaat untuk terlibat dalam pelayanan. Pernah membayangkan pimpinan bank atau manager sebuah perusahaan menjadi tukang parkir? Rasanya hanya ada di cerita sinetron. Di JPCC hal ini terjadi. Status tak menghalangi siapapun untuk melayani dalam bidang pelayanan apapun. Mereka memandang bahwa semua jenis pelayanan adalah setara levelnya di hadapan Allah. Yang berkhotbah tidak lebih tinggi nilainya dari yang memarkir mobil. Yang memimpin pujian tidak lebih rohani dari operator lift. Pekerjaan terbaik bisa dipersembahkan kepada Tuhan dalam bidang apa saja. Sebuah pemahaman yang mendalam terhadap konsep tubuh Kristus.

Gereja ideal? Mungkin. Tapi belum tentu nilai-nilainya bisa diterapkan di konteks yang berbeda. Setiap jemaat memiliki karakter berbeda. Dan perlu cara berbeda juga untuk mendekatinya. What a mature church...

Friday, May 05, 2006

John Peter Simanungkalit
MENGGALI POTENSI DARI TUMPUKAN SAMPAH


Bagi kebanyakan orang, sampah adalah barang menjijikkan dan patut dibuang. Tidak begitu buat John Peter. Ia malah menemukan potensi dirinya melalui sisa-sisa barang yang dipulungnya itu.
Berangkat dari pelayanan sosial yang dikembangkan gerejanya, John mengumpulkan dan membina para pemulung sampah di Bandung Timur. Bukan hanya melayani mereka secara rohani, pria berdarah Batak ini juga membekali mereka dengan ketrampilan mengelola sampah.
Semuanya berawal pada tahun 1989. Ia mendapat informasi bahwa harga gabah waktu itu Rp. 600,- per kilogram, sementara harga sampah plastik Rp. 1000,- per kilogram. “Saya melihat nilai ekonomi yang tinggi dari sampah itu,” ujarnya. Ide briliannya ini kemudian mengantarnya menjadi pengusaha biji plastik yang sukses. Kisah suksesnya telah menarik banyak perhatian stasiun televisi. Di antaranya adalah program ‘Maestro’ di Metro TV yang ingin mengeksposnya. John sendiri menolak tawaran itu. “Ah, saya ini kan bukan maestro,” ungkapnya.

Low Profile
Meski sukses, John tetaplah sosok yang sederhana. Kantornya yang berada di dekat tumpukan sampah tak dilengkapi pendingin ruangan. Dindingnya terbuat dari triplek. Agar tak menimbulkan suara berisik ketika tertiup angin, pintu kantor diganjalnya dengan sebongkah bata. Ia mengaku bahwa semuanya ini hanyalah masalah perhitungan, bukan karena faktor ketidakmampuan. Pelajaran ini didapatnya semasa ia tinggal di sebuah keluarga keturunan Tionghoa di Cirebon. Dengan ‘perhitungan’ itu pula, ayah dua anak ini lebih memilih untuk mengontrak rumah daripada memiliki rumah sendiri. Ia juga merelakan 16 mobil dan truk bagi karyawannya.
Dengan begitu, ia tak lagi perlu mengeluarkan gaji sopir, ongkos pemeliharaan, bahan bakar dan pajak kendaraan. Sopirnya yang senang memiliki mobil baru, diharapkan semakin bersemangat menyuplainya sampah. “Buat istri dan anak-anak, Anvanza cukuplah,” imbuhnya.
“Saya hanya tinggal 8 jam sehari di rumah. Kebanyakan waktunya juga dipakai istirahat. Sayang sekali kalau punya rumah sendiri dengan biaya yang mahal, tetapi tak dinikmati,” papar jemaat GKKD Bandung ini. John bukan tak mampu beli rumah. Ia sendiri adalah seorang developer yang telah membangun ratusan unit rumah di beberapa kompleks perumahan di Bandung. Di bilangan Cipamokolan Bandung, ia tengah membangun kompleks perumahan Batu Karang Residence dan Batu Karang Sentosa.

Keuletan Kunci Sukses
Sebagai pengusaha, John terkenal ulet. Berkali-kali ia dicurangi karyawannya. Barang-barangnya dicuri. Bahkan suatu kali kebakaran hebat menghabiskan barang dan tempat kerjanya. John bergeming. Ia meyakini betul bahwa potensinya adalah menjadi pengusaha sampah. Pelan-pelan ia merintis lagi usahanya ini sampai menuai sukses berikutnya. Ia percaya bahwa semua ini adalah visi Tuhan yang diberikan kepadanya. Ia lalu mengutip sebuah ayat dalam Amsal, “Berkat Tuhanlah yang menjadikan kaya, susah payah takkan menambahinya.”
Kisah suksesnya tak lepas dari peran keluarganya. Niniek Maryani, istrinya yang asli Karanganyar – Jateng, diakuinya telah memberi banyak kontribusi bagi keberhasilannya. Hubungan harmonis yang terjalin di rumah, telah memberinya ide-ide cemerlang bagi pengembangan pekerjaannya. Sejak pacaran, keduanya telah memahami apa arti sebuah kesepakatan.
Meski telah berada di puncak sukses, John mengaku belum puas dengan pencapaiannya. Bukan berarti tak mengucap syukur, tetapi ia percaya bahwa Tuhan belum menyuruhnya berhenti. Ia memiliki obsesi agar lebih banyak pengusaha berpotensi seperti dirinya yang mengasihi Tuhan. Dengan begitu akan lebih banyak angkatan kerja yang diberkati melalui apa yang dilakukannya. Ia juga ingin membantu pelayanan hamba-hamba Tuhan di daerah dengan lembaga Forum Positiv yang dikelolanya bersama beberapa rekan. Begitulah John Peter yang menggali potensinya dari timbunan sampah. (Dimuat di BAHANA, Juni ’05).

Tuesday, May 02, 2006

Yonas Pasiran Adi Prayitno, S.PAK.
MENDISIPLIN DIRI,
MENGENCANGKAN IKAT PINGGANG


Demi penghematan, ia menjual ikan dan burung kesayangannya. Anak-anaknya tak pernah jajan. Istrinya tak bisa menggunakan ponsel.

Panggilan hidup kadang memang menuntut pengorbanan dan kesetiaan. Untuk alasan itulah Yonas menekuni profesinya sebagai guru agama Kristen, meskipun secara finansial tak menjanjikan. Selama belasan tahun ia mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan Kristen di sebuah SMU Negeri di Bandung.
“Ya, memang saya ini tenaga honorer. Tapi bisa mengajar saja sudah syukur di Jawa Barat ini. Prosesnya panjang sekali sampai saya bisa diterima di sekolah ini,” ungkap pria berkumis asal Pati ini. Hingga kini masih banyak teman-teman seperjuangannya yang tidak bisa mengajar di dalam sekolah. Biasanya jika ada siswa yang beragama Kristen, untuk mendapatkan nilai, sekolah mewajibkan memintanya di gereja. Kegiatan belajar-mengajar pun tak bisa berlangsung di sekolah. Sudah menjadi rahasia umum jika diskriminasi masih terjadi dan menimpa guru agama Kristen.
Beruntung Yonas mendapat ‘fasilitas’ yang lebih baik. Ia bisa mengajar di ruang kelas dengan jadwal reguler seperti pelajaran agama yang lain. Iapun berhak menjadi anggota koperasi di sekolah tempatnya mengajar dan mengenakan setelan safari selayaknya pahlawan tanpa tanda jasa.

PENGHASILAN PAS-PASAN
Honor? Jangan ditanya. “Sebetulnya kalau berbicara masalah uang , guru agama, apalagi di (sekolah) negeri, itu kan istilahnya hanya ‘kerja bakti.’ Kalau ada honorpun hanya cukup untuk mengganti uang transport. Berbeda dengan guru swasta yang nasibnya mungkin lebih baik,” papar suami Eko Aprilianti Purwaningrum ini. Selain mendapat honor dari sekolah, Yonas juga mendapat ‘berkat’ tambahan yang jumlahnya hampir sama dari PGPK, sebuah wadah persekutuan gereja-gereja di Bandung, yang diterimanya rutin setiap bulan. Dengan uang itu praktis ia tak bisa mencukupi kebutuhan istri dan kedua anaknya.

USAHA SAMPINGAN
Dibantu istrinya yang juga lulusan pendidikan agama Kristen, Yonas merintis sebuah bimbingan belajar di rumah kontrakannya. “Usaha ini kan masih bergerak di bidang pendidikan juga, jadi saya nikmati lah,” paparnya. Ia kemudian menamai bimbingan belajarnya dengan “YONEKO.” Nama ini merupakan gabungan nama pasangan ini, Yonas dan Eko. Tak hanya dari lingkungan perumahan tempatnya tinggal, peserta bimbingan belajarnya berasal dari daerah-daerah lain di Bandung. Yonas pun menyempatkan diri untuk mendatangi rumah-rumah jika yang ada siswa yang ingin diajar secara privat.
Yonas meyakini bahwa usaha ini adalah cara lain yang Tuhan sediakan untuk memelihara kehidupan mereka. Ayah dari Maya Citra Dewi (13) dan Marzella Paskalia Singer (8) inipun percaya bahwa apa yang ia nikmati sekarang adalah campur tangan Tuhan sebagai buah dari kesetiaannya untuk tetap eksis di jalur pendidikan Kristen. Tuhan punya banyak cara untuk menolong umatNya. Itulah keyakinan Yonas.

BERTANGGUNG JAWAB MENGELOLA BERKAT
Mengingat penghasilannya tidak berlimpah, Yonas menerapkan disiplin yang ketat dalam masalah keuangan di dalam keluarganya. Hal ini dilakukannya sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap berkat Tuhan yang diterimanya. Selain untuk kebutuhan keluarga sehari-hari, alokasi keuangannya diprioritaskan kepada pendidikan kedua putrinya. Apalagi sesudah BBM naik Oktober silam, pengeluaran menjadi bertambah sedangkan pemasukannya tetap. “Semua burung dan ikan kesukaan saya sudah saya jual untuk menghemat pengeluaran. Saya tak pernah jalan-jalan dan makan di luar,” lanjutnya. Hingga kini, istrinya tak bisa mengoperasikan HP. Bukan karena tidak mampu membeli, alasan satu-satunya adalah demi penghematan. Sejak dini, kebiasaan berhemat sudah ia ajarkan kepada anak-anaknya. Ia melarang mereka jajan dan menggantinya dengan bekal makanan kecil dari rumah.Berkat kedisiplinan dan keuletannya, Yonas kini mampu membeli rumah yang dulu dikontraknya. Pun sebuah motor yang setia mengantarnya mengajar. Bahkan kuliah adiknyapun ia yang membiayai. Sebuah teladan dan pelajaran berharga bagi kita yang selama ini selalu berkata tidak cukup. (dimuat di BAHANA, Februari '06)

Monday, May 01, 2006

Pdt. dr. Rebekka Loanita Zakaria
SEBERKAS HARAPAN DARI BALIK JERUJI PENJARA

Vonis kontroversial yang dijatuhkan PN Indramayu, Jabar, tak membuatnya patah arang. Meyakini bahwa keyakinan iman kadang-kadang membutuhkan pengorbanan. Dari balik jeruji penjara yang memisahkannya dengan profesi, keluarga dan jemaat, ia masih melihat seberkas harapan untuk menjalani hari-hari sulitnya.

Hari-hari dr. Rebekka kini dilalui di dalam pengapnya lembaga pemasyarakatan Indaramayu, Jawa Barat. Bersama dua rekan sepelayanan yang lain, Eti dan Ratna, ia harus meringkuk di hotel prodeo itu tiga tahun lamanya. Karena masalah kriminalitas? Bukan. Ketiga ibu rumah tangga itu mengajak anak-anak, beberapa diantaranya bukan beragama Kristen, untuk mengikuti kegiatan Minggu Ceria yang melatih anak-anak dalam mengerjakan pelajaran-pelajaran sekolah. Akhirnya mereka dituduh melakukan kristenisasi, diseret ke pengadilan dan dijebloskan ke dalam penjara.

Teror dan Penjara
Selama persidangan, Rebekka terus mengalami teror dan intimidasi massa. Teriakan, “bakar dan gantung Rebekka” telah menjadi ‘menu harian’ selama menjalani sidang. “Saya sendiri tidak terlalu surprise dengan vonis ini. Demonstran terus-menerus menekan proses persidangan. Saya sudah memperkirakan kalau vonisnya akan demikian, jadi saya tabah menerimanya,” paparnya melalui ponsel Linda, putrinya. Ia mendengar dari pengacaranya bahwa hakim dan jaksa pun sudah tidak bisa berbuat banyak. Hakim yang sebenarnya tidak menemukan kesalahan apapun dalam dirinya, terpaksa menjatuhkan vonis itu di bawah tekanan massa. Persidangan selalu berjalan tidak fair karena ancaman demonstran yang memenuhi ruang sidang PN Indramayu yang sempit.
Harapan untuk mendapatkan keringanan hukuman ditempuh dokter yang melayani di Kecamatan Haurgeulis, Indramayu ini dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jabar dan juga ke Mahkamah Agung. Namun semuanya kandas. Kedua lembaga peradilan di tingkat propinsi dan pusat itu menolak bandingnya. “Yang paling sedih memang waktu di MA, karena itu harapan saya yang terakhir,” ungkap hamba Tuhan yang melayani di GKKD ini.
Dalam beberapa hari Rebekka berjuang untuk menyaput kesedihannya. Ia menyadari bahwa apa yang dialaminya berada di dalam kerangka rencana Tuhan. Iapun menguatkan kedua temannya yang terlihat shock karena tidak dikabulkannya tuntutan mereka. “Waktu saya berdoa, Tuhan memberi saya kekuatan secara khusus melalui Ibrani 6:10. Saya tahu bahwa Tuhan bukannya tidak adil. IA mengerti apa yang saya kerjakan,” tegasnya.

Dukungan Keluarga
Dalam kamus hidup Rebekka, keyakinan iman bukanlah sesuatu yang sekedar diucapkan, melainkan membutuhkan pengorbanan. Dukungan dari luar terus mengalir untuk menguatkan ibu tiga putri ini. Jemaat yang setia mendoakan dan mengunjunginya. Apalagi dari suami dan ketiga putrinya. “Mereka mendampingi saya sedemikian rupa, sehingga saya tidak down. Jemaatpun dikuatkan dan tidak mundur rohaninya. Mereka tetap setia,” ujarnya.
Rebekka menandaskan bahwa bukanlah sesuatu yang aneh jika orang Kristen harus menderita. “Saya sendiri tetap berpedang teguh dan melekat kepada Tuhan. Hanya Dialah yang memberi saya seberkas harapan, meskipun saya mengalami pengalaman pahit ini. Hidup kekal yang saya terima nanti, lebih mulia dari penderitaan badani yang sekarang saya jalani,” tandasnya.
Bagi sebagian orang, penjara bisa menjadi akhir dari sebuah cerita hidup. Tetapi bagi Rebekka, ini adalah sebuah babak yang harus dimainkan sampai ceritanya memang benar-benar selesai. (dimuat di BAHANA, Mei ’06)