Wednesday, April 12, 2006

MENYALIB DAN MENYIKSA DIRI;
DENGAN CARA ITUKAH KITA MEMERINGATI PASKAH?

Dalam kebiasaan gereja Kristen, PASKAH selalu dirayakan dengan sederhana dan tak semeriah NATAL. Alasannya bisa bermacam ragam. Bisa jadi karena alokasi keuangan yang telanjur dihabiskan Desember tahun lalu. Atau mungkin karena tradisi di bangsa kita yang tidak terbiasa atau bahkan menabukan ‘perayaan’ kematian. Kematian hendaknya ditangisi dan diratapi, bukan dirayakan. Paskah adalah peristiwa kematian penuh cucuran darah, sedangkan Natal adalah peristiwa kelahiran yang nuansanya gembira.

Di Philipina, seperti yang sering kita saksikan di layar kaca, Paskah sering dirayakan dengan cara yang unik. Ada beberapa orang yang menyediakan diri untuk disalib dan disiksa menyerupai Yesus. Mereka benar-benar dicambuk, diarak ke sebuah tempat. Kaki dan tangan mereka benar-benar dipaku. Ini bukan sebuah adegan film, tetapi realita. Dengan begitu mereka mengaku bisa lebih menghayati penderitaan dan pengorbanan yang dilakukan Kristus. Sesudah itu, iman percaya dipertebal.

SUBSTITUSI
Dalam ajaran Kristen, kesengsaraan Kristus adalah tindakanNya untuk mensubtitusi kita, orang-orang berdosa, agar terlepas dari hukuman karena dosa. Ini memang rancangan Allah sejak manusia jatuh ke dalam dosa. Penderitaan Kristus sepanjang Via Dolorosa hingga kematianNya di bukit Golgota, adalah puncak karya keselamatan Allah yang dikerjakan Kristus.
Sebenarnya kitalah yang harus memanggul salib itu. Tetapi oleh kasih karuniaNya, kita telah dibebaskan dari setiap tuntutan hukuman. Markus mencatat bahwa Anak Manusia datang untuk melayani dan menyerahkan nyawaNya menjadi tebusan (substitusi) bagi banyak orang (10:45).

Jika kita kemudian menyerahkan diri untuk disalibkan kembali, sebagai ganti siapakah penderitaan kita itu? Tidakkah kita justru menganggap remeh pengorbanan Kristus dan merasa bahwa pengorbananNya belum cukup?

PERJAMUAN KUDUS
Alkitab menandaskan bahwa satu-satunya hal yang diperintahkan Kristus untuk memperingati penderitaan dan kematianNya adalah dengan Perjamuan Kudus. Makan roti sebagai lambang tubuhNya yang disalib dan minum anggur sebagai simbol darahNya yang tercurah, kemudian dinamakan sakramen dalam gereja. “…perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku,” kata Yesus (Luk. 22:19, dan ayat-ayat sejajar). Hal yang sama juga ditegaskan Paulus kepada jemaat di Korintus (1 Kor. 11:23-25).

Itulah sebabnya kebanyakan gereja Kristen mengadakan Perjamuan Kudus setiap Jumat Agung. Bahkan secara periodik melaksanakan Perjamuan Kudus sebagai kehidupan bergereja. Ada yang seminggu sekali melakukannya, sebulan sekali atau juga tiga bulan sekali. Semuanya dilakukan dengan semangat yang sama: menjadi peringatan akan sengsara Kristus sampai kematianNya sebagai karya penyelamatan. Bukankah begitu?
MARTIR: MATI SYAHID ATAU MATI KONYOL?

‘Syahid’ adalah istilah dalam bahasa Arab untuk seorang martir atau seseorang yang mati dalam perjuangan demi membela keyakinan atau imannya. Kadang istilah syahid juga dikenakan pada para pejuang yang gugur untuk kejayaan bangsa dan negara semasa perang.

Kata ‘martir’ sendiri berasal dari istilah Gerika ‘martur’ yang berarti ‘saksi’ atau ‘orang yang memberi kesaksian’. Jadi orang Kristen mengambil ungkapan martir atau syahid dalam nuansa ‘kesaksian’ untuk sebuah tindakan, penderitaan dan pengorbanan diri mereka yang teraniaya karena memberi kesaksian tentang Yesus.

Martir yang pertama sesudah kematian Kristus dalam Perjanjian Baru adalah Stefanus (Kis 7-8). Biasanya dia disebut sebagai protomartir. Sesudah itu, orang-orang Kristen pada abad pertama – ketiga, banyak yang disalibkan oleh kekaisaran Romawi atau dijadikan mangsa bagi singa di depan umum. Ini adalah akibat kesetiaan mereka mempercayai Yesus di tengah tekanan penguasa. Mereka diakui sebagai martir karena atau syahid karena mereka tetap mengikuti ajaran Yesus dan tidak menyangkal iman mereka. Tertulianus, seorang penulis Kristen pada abad mula-mula, menyatakan bahwa, “Darah para martir adalah benih Gereja!”
Ketika Kaisar Konstantin memeluk Kristen dan seantero Roma diwajibkan mengikutinya, keadaan berubah. Orang justru dianggap mati syahid jika menolak Kaisar Roma yang memerintahkan untuk berpindah agama ke Kristen.

Sejarah terus bergulir. Dalam perjalanannya, sejarah menorehkan catatan tentang Ratu Mary I dari Inggris. Ia memerintahkan penganiayaan dan pembunuhan terhadap hampir 300 orang Protestan karena menolak untuk menyangkal iman reformis dan kembali ke Katholik Roma. Peristiwa ini dicatat dalam buku Foxe’s Book of Martyrs.

Pada abad ke-20, kembali terjadi kesyahidan orang Kristen karena berbagai sebab. Orang bukan Kristen yang meminjam tangan penguasa politik yang antipati terhadap kekristenan, telah mengakhiri hidup banyak orang percaya. Sebutlah penganiayaan di Uni Sovyet dan Republik Rakyat Cina (RRC) yang telah menimbulkan martir-martir baru. Juga rezim Taliban di Afghanistan yang telah melakukan gelombang penganiayaan, meskipun skalanya tidak terlalu luas. Di Indonesia, orang mengenal Pdt. Ishak Christian yang hangus terbakar dalam kasus pembakaran gereja di Situbondo, Jawa Timur, medio 1996. Ia dan beberapa anggota keluarganya ‘ditahbiskan’ sebagai martir menyusul peristiwa yang sering disebut ‘Kamis hitam’ kala itu.

Sebagian orang menganggap bahwa darah mereka yang mati karena membela iman telah ditumpahkan secara sia-sia. Mati konyol katanya. Tetapi sebagian lagi menganggapnya sebagai kematian yang heroik dan terhormat.

Menilik kisah Stefanus dalam sejarah gereja mula-mula, kita bisa menyimpulkan bahwa adalah sebuah karunia jika kita dipilih untuk mati dengan cara sedemikian. Dengan penuh ketulusan, Stefanus menyerahkan nyawanya sembari memohon ampun dosa-dosa para penganiayanya. Alkitab bahwa Yesus ‘berdiri’ di sebelah kanan Allah (sesuatu yang tidak lazim menurut para penafsir, karena biasanya Yesus dicatat ‘duduk’ di sebelah kanan Allah) untuk menyambut hambaNya yang setia (Kis. 7:56). Menurut tradisi, kebanyakan murid Yesus juga tidak mati ‘enak’, tetapi kebanyakan meregang nyawa setelah dipenggal, disalib terbalik, digoreng hidup-hidup, dan dengan cara mati menyakitkan yang lain.

Meski tidak semua kita dipanggil untuk mati dengan cara ini, adalah sebuah kehormatan bila kita diberi kesempatan untuk tetap mempertahankan iman sampai putus nyawa, meski penganiayaan mendera. Mari kita kembalikan kepada Dia, Pemilik hidup kita. Bahwa bagaimana cara kita mati, tidaklah terlalu menjadi soal. Kematian hanyalah sebuah jalan untuk mendapatkan kebangkitan dan memulai sebuah hidup yang baru lagi dalam kekekalan. Selamat PASKAH! (sumber: http://id.wikipedia.org)

Tuesday, April 04, 2006

Renungan
TANGAN ALLAH

Duduk mengamati Mbak Par membatik, membekaskan kenangan tersendiri bagiku. Sesudah meniup canthing, tangannya meliuk-liuk mengikuti pola yang telah disiapkannya. Berhati-hati sekali dan dengan ketelitian yang tinggi. Sesekali ia terdiam sambil ‘ngeluk boyok’. Mengamati kalau-kalau ada yang kurang sempurna pada pekerjaan tangannya. Setelah pegel-pegel bisa diatasi, ia melanjutkan lagi membatik.

Aku mulai menerawang. Jauh menembus kain sutra yang sedang ditorehi Mbak Par dengan cairan malam. Membayangkan bagaimana ALLAH menjadikanku. TanganNya yang sangat terampil mulai merealisasikan konsepNya yang Mahasempurna. Apakah Ia juga perlu berhenti sebentar untuk memikirkan bagian mana yang kurang? Entahlah…

Seperti kata Denmas Marto, kita ini diciptakan dalam sebuah tarian Ilahi. Sebagai ciptaan, kita ini makhluk yang muncul sebagai hasil citarasa seni Sang Khalik. Tangan ALLAH yang terampil itu telah menciptakan kita.

Lho, tapi kulitku koq hitam begini? Bibirku juga seperti terlalu tebal dan kurang proporsional. Gigi-gigiku tak teratur rapi. Berat dan tinggi badan tidak ideal. Orang-orang sering memanggilku ‘genter’ karena tinggi kurusku. Apa ini yang disebut sempurna itu? Bernilai seni tinggi? Segambar dan serupa denganNya?

Ya. ALLAH memandangnya begitu. Kita sempurna di pemandanganNya. Nilai dan citra diri kita tidak bergantung pada apa kata orang. Bukan pada kondisi fisik kita. Tetapi pada apa kata ALLAH, yang membentuk kita.